14. Trouble Maker

Masalah seringkali muncul bukan hanya karena kita sedang diuji. Tapi sebagai konsekuensi dari apa yang kita pilih untuk dihadapi

"Anti dari mana aja, Nid? Ana udah panik mau lapor Pak Fuad kalo anti ngilang di masjid agung Bandung." Dari suara dan kata-katanya, sih kayaknya cemas gitu yah si Riza.

Padahal ekspresinya .... ugh asli minta dijitak. Nida memutar mata sebal. Meski ia tahu pasti, Riza bakal jadi orang pertama yang mencarinya kalau-kalau jika seluruh kontingen sudah pulang ke hotel ia belum juga terlihat.

"Lebay. cuma muter-muter bentar di alun-alun depan. Lagian nggak enak ngejeda diskusi para k-popers tadi," pungkas Nida dengan nada menyindir.

Riza memang sedang asyik ngobrol tentang k-pop dengan beberapa teman satu kontingen mereka tadi. Tidak tertarik memasang wajah 'kurang paham' miliknya, Nida memutuskan untuk keliling di sekitar alun-alun. Ya, dia juga butuh waktu sendiri, kan?

Memasang cengiran sok polos, Riza bergegas membereskan tasnya. "Eh, Nid. Cari makan, yuk. Laper nih. Sekalian jalan-jalan juga mumpung di Bandung."

"Ayo, Za. Ane yang traktir. Suka sate ayam, nggak?" Nida baru saja ingin mengatakan sesuatu saat suara familiar tadi menyambut ajakan Riza. Baguslah, ia jadi tak perlu repot-repot menjelaskan tentang ajakan Fatih tadi.

Menjentikkan jari, wajah Riza semringah otomatis mendengar tawaran traktir dari Fatih. "Nah, pas nih Kang Qori'. Kita bertiga aja, nih?" sahut Riza antusias sambil memanggil Fatih dengan panggilan khusus darinya.

"Ya, yang lain udah pada punya agenda masing-masing, sih. Batas balik ke hotel juga masih lama, kan."

"Ya udah, yuk. Ntar keburu rame. Malming soalnya nih," tukas Nida menanggapi.

"Eh, tunggu. Ane ganggu kalian berdua nge-date dong kalo gini?" potong Riza seolah menyadari sesuatu.

Mendengkus sebal, Nida menyahut. "Apaan sih, Za. Orang Fatih ngajakin anti juga."

Sosok ber-hoodie biru tua di sampingnya malah tersenyum geli. "Nggaklah. Siapa yang mau nge-date juga. Ana emang pengen traktir kalian berdua, kok. Nebus janji tahun lalu, masih pada inget nggak?"

Ah ya, pantas saja Fatih luwes sekali menawarkan traktiran pada mereka. Menepati janji tahu lalu rupanya. Saat olimpiade provinsi tahun lalu, Fatih memang berjanji kalau ia bisa masuk ke tingkat nasional. Ia ingin mentraktir mereka berdua.

"Oh ... kirain dalam rangka apa tiba-tiba traktir kita," tanggap Riza lagi.

Senyuman terbentuk sempurna di wajah Fatih. "Ya udah, yuk. Ntar kemaleman lagi."

Lantas Fatih bergegas memimpin jalan mereka menuju tempat yang ia maksud. Tak sampai duapuluh menit, tiga utusan kontingen Cikarang itu telah sampai ke tempat tujuan. Warung yang dimaksud Fatih cukup ramai. Namun sesampainya mereka di sana, Fatih berbicara pada salah satu pelayan dan mereka diantarkan ke bagian dalam warung yang cukup lega.

"Ini warung punya paman ana, sebenernya. Beliau lagi nggak di sini tapinya. Oh ya, ana udah pesenin masing-masing sate ayam satu porsi. Kalo mau tambah-tambah menu lagi, boleh. Atau mau ganti juga gak apa," jelas Fatih saat mempersilakan Nida dan Riza duduk di salah satu meja.

"Kita pesen minum aja kali," usul Nida sambil melihat daftar menu.

Sambil menyusuri deretan minuman beserta harga, Riza bergumam lirih. "Ini minumnya bayar masing-masing nih?"

"Udah, terima beres aja pokoknya," tanggap Fatih lagi sambil membawa sebuah bon pesanan dan pulpen ke sisi lain meja tempat Nida dan Riza duduk.

"Wah Tih, ngerepotin dong. Jadi enak," celetuk Riza usil yang disambut oleh sikutan peringatan Nida pada pinggangnya.

Beberapa saat setelahnya Fatih malah sibuk mondar-mandir menyiapkan pesanan mereka. Dan baru benar-benar duduk setelah semuanya siap. Makan malam eksklusif mereka kali ini diwarnai sedikit diskusi tentang olimpiade dan MTQ.

Setelah hampir satu tahun yang lalu mengenal Fatih, Nida menemukan banyak fakta yang baru diketahui olehnya malam ini. Termasuk juga fakta bahwa ternyata sosok cowok di hadapannya ini adalah penerima beasiswa Huffazh dari pemerintah daerah.

"Ngajuin gituan susah nggak sih, Tih?" tanya Riza penasaran.

"Kurang paham, deh. Bukan ana yang ngurus sendiri soalnya. Tapi kalo udah sering ikut MTQ sih, harusnya ada jalur."

"Antum mulai ikut MTQ sejak kapan?" Nida ikut bertanya.

"Huum, SD. Dari sekitar kelas 5-an. Awalnya memang dari cabang tilawah dulu, baru waktu udah ngafal pindah ke hifzil."

Obrolan mereka bertiga semakin cair. Kecanggungan yang pernah terasa satu tahun yang lalu kini seakan lenyap tak bersisa. Nida menatap lekat sosok di hadapannya. Tatapan teduh itu, senyuman manis itu, tutur kata lembut itu ... rasanya ada sesuatu yang meleleh di sudut hatinya.

*---*---*

Setelah makan malam yang menghangatkan di Bandung, Riza tak henti-hentinya menggoda Nida. Oh, ayolah bisa tidak bersikap biasa saja? Ia juga tidak mengerti, kenapa senyuman kini terlalu mudah terbit di sudut bibirnya.

Entahlah rasanya hanya ... hangat. Terlalu hangat hingga sudut hatinya seperti senantiasa membuncah oleh kebahagiaan. Seperti ada sebuah energi positif yang memotivasinya untuk terus melakukan kebaikan. Apapun itu.

Godaan Riza malah semakin bertambah saat mereka sudah kembali ke pondok. Ulya sampai merasa perlu memperingati Riza yang sudah dalam tahap mengganggu.

"Za, jangan disebut-sebut mulu Fatihnya. Kasian kalo tiba-tiba dia keselek gara-gara anti omongin terus," tegur Ulya. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju pusat perbelanjaan yang berada cukup dekat dengan pondok.

"Tahu nih. Udah sering dibilangin juga," sahut Nida menimpali. Setiap satu hari dalam sebulan, ada waktu khusus bagi mereka untuk berlibur sejenak. Bagi beberapa santriwati yang rumahnya cukup dekat, biasanya banyak yang memilih untuk pulang ke rumah.

Santriwati lainnya yang berdomisili di luar kota, ada yang dijenguk orang tuanya dan izin keluar pondok. Atau hanya izin rekreasi sebentar ke beberapa tempat di sekitar pondok. Mereka menyebut hari ini dengan, Minggu Perpulangan Thalibah.

Kali ini mereka bertiga izin khusus ke luar pondok untuk menyiapkan beberapa keperluan yang akan dibawa selama MTQ tingkat provinsi nanti. Ya, sambil sedikit refreshing dari tekanan persiapan lomba yang tinggal dua minggu lagi.

"Kita ke mana dulu, nih?" tanya Ulya begitu mereka sampai ke tujuan.

"Ke ATM dulu, ana nggak megang uang cash nih," sahut Riza yang disambut tatapan malas Nida.

Dan setelah sedikit keribetan di mesin ATM, Nida bergegas masuk ke toko buku mendahului kedua sahabatnya. Oh, tidak. Jejeran buku fantasi terbaru dari Tere Liye sudah menghadang di rak paling depan. Kalau begini Nida mana kuat.

Seseorang menepuk pundaknya pelan, "Inget prioritas, Nid. Kalo beli juga, belum sempat dibaca udah nyampe ke kantor keamanan duluan. Kan sayang," nasehat Ulya lembut.

"Satu aja, Ya," pinta Nida dengan nada memelas. Sebenarnya bukan serial terakhir Bumi yang membuatnya penasaran setengah mati. Tapi sekuel dari novel action milik Tere Liye yang membuatnya tak sabar untuk segera membeli.

Ulya menggeleng tegas. Itulah kenapa ia ada di grup ini, sebagai rambu peringatan kalau-kalau kedua sahabatnya ingin melanggar batas. "Nggak ada, bentar lagi juga libur, kan. Nanti aja belinya. Ujungnya malah ngeganggu persiapan MTQ lagi."

Nida menghela napas tak rela saat sosok Riza menghampirinya sambil membawa sebuah buku. "Nid! Hexotic Cafe-nya Bunda Ary udah terbit!"

"Mana, mana?" Percayalah, Guys. Yang menyambut perkataan Riza dengan antusias tadi bukanlah Nida, tapi ... Ulya! Nida menepuk jidatnya pelan lalu tertawa kecil. Mereka bertiga memang bookworm khususnya untuk fiksi bergenre fantasy dan romance. Hanya saja, Ulya punya pilihan jenis buku lain yang jauh lebih 'lurus' dibanding kedua sobatnya. Maka jangan heran kalau urusan hunting buku, mereka bertiga suka heboh sendiri.

"Belinya nanti, Ya. Jangan sekarang, sayang kan kalo bukunya cuma numpang transit dan berakhir di sitaan keamanan?" sindir Nida iseng mengingatkan.

Kali ini Ulya yang mendesah sebal. "Lama banget sih IBF," keluh Ulya setelahnya.

"Gini aja, kita bagi-bagi belinya. Masing-masing satu, ana beli HC, Nida beli Pergi, Ulya—"

"Nggak, nggak." Ulya lagi-lagi menggeleng tegas. "Ini bukan waktu IBF, Za. Nggak usah cari masalah. Bentar lagi mau MTQ juga kita."

Nida mengendikkan bahu pelan. Peredaran buku-buku akan lebih mudah di pondok saat selama dan setelah Islamic Book Fair berlangsung. Meski tetap ada batasan, namun novel-novel di luar genre romance masih diperbolehkan. Kalau sekarang? Jangan harap bisa membawa novel-novel dengan selamat ke dalam gerbang.

Saat IBF juga biasanya mereka membuat list buku yang ingin dibeli bersama. Membaginya secara adil lalu membacanya secara bergilir. Cara ini lebih hemat dan efisien di kantong.

"Kalo gitu, satu aja deh. Hexotic Café aja, please ...." bujuk Riza dengan tatapan melas.

Ulya mendesah kalah. "Terserah. Ana angkat tangan sama apa pun risikonya nanti." Lantas bergegas menuju ke rak buku yang ia cari.

"Yes!" bertos ria, kali ini mereka berdua berhasil memenangkan argumen. Soal nantinya buku ini akan berakhir ke tangan keamanan atau tidak, itu urusan belakangan.

Pada akhirnya mereka benar-benar hanya membawa satu buku 'terlarang' dari sekian banyak buku materi yang mereka beli. Ulya benar, tak sampai dua bulan lagi mereka akan liburan. Novel-novel yang lain bisa menunggu, saat ini ada hal yang harus mereka prioritaskan.

Sehabis dari toko buku, mereka bertiga lanjut membeli pernak-pernik di toko aksesoris. Tak lupa juga stok cemilan untuk dua minggu ke depan. Mereka baru saja sampai di foodcourt saat alarm azan dari jam tangan Riza berbunyi.

"Kalian makan duluan aja, ana mau Zuhur dulu," pamit Riza setelah membenahi barangnya di bangku. Nida dan Ulya yang memang sedang tidak solat mengiyakan.

Memecahkan keheningan yang mulai terasa mencekam, Nida mencoba menegur Ulya yang tampaknya masih sebal pada keputusannya dan Riza. "Ya, jangan marah. Nggak lagi-lagi deh kita ngelanggar."

Tatapan Ulya akhirnya fokus pada sosok di hadapannya. "Walau cuma satu buku, meski sekali, yang namanya pelanggaran tetap pelanggaran, Nida. Ya, terserah. Pokoknya ana nggak mau ikut-ikut kalau ada masalah nanti."

"Iya deh, iya. Tapi jangan ngambek lagi, please ...." pinta Nida memohon. Ia tak akan tahan berlama-lama diacuhkan oleh sahabatnya satu ini.

Menghela napas mengalah, Ulya mengangguk samar. Nida bersorak pelan melihatnya. Obrolan mereka berlanjut menjadi sesi curhat setelah makanan yang mereka pesan datang.

Nida melirik jam tangannya cemas. Sudah lebih dari setengah jam Riza pamit dan belum juga kembali. Sedangkan mereka bertiga sudah harus sampai ke pondok sebelum solat Ashar.

"Riza mana, sih?" keluh Nida tanpa bisa menyembunyikan nada khawatirnya.

"Iya, ya. Masa solat aja lama banget. Udah mau jam 2 ini," sahut Ulya cemas.

Nida memutuskan menunggu sebentar lagi sebelum memanggil temannya lewat meja informasi. Ia baru akan beranjak dari duduknya saat melihat sosok yang ditunggu-tunggu berjalan bergegas menuju tempat mereka duduk.

"Dari mana aja, Za? Lama banget, ngapain aja emang?" sungut Nida sebal.

Riza hanya memamerkan cengiran polos miliknya dan menjelaskan apa yang membuatnya begitu lama tadi.

"Ya udah, buruan. Ini kita udah harus nyampe pondok sebelum asar, loh," tutur Ulya mengingatkan yang membuat Riza segera memakan makan siangnya.

Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa taksi yang mereka tumpangi telah sampai di depan gerbang. Setelah menyerahkan uang dan berterima kasih, Nida menyusul dua sahabatnya yang tengah membereskan barang-barang mereka.

Semua terasa baik-baik saja hingga mereka bertiga mendekati meja pengawas di samping gerbang utama. Hanya perasaannya saja atau apa, tapi Nida merasa semua orang yang berada di sekitar gerbang saat ini tengah mengawasi mereka dengan seksama.

Firasat Nida terbukti, saat mereka bertiga sampai di depan meja pengawas dan Kak Afra langsung berdiri dari duduknya.

"Chairiza Ilmy Fakhrani, ila ghurfatil mahkamah mubasyarotan!*"

___________________________________

Catatan: *ila ghurfatil mahkamah mubasyarotan: Segera ke ruang sidang sekarang juga.

A/N : I'm Back! belom sebulan kan, ya *dijitak masal 😅

Oh iya, kalo ada yang make instagram boleh follow akun @adzkyaa_ di IG. Bakal ada ulasan lebih jauh tentang DPC, karakter-karakternya juga beberapa quote kece tentang Penghafal Quran. Nggak menutup kemungkinan juga akan ada giveaway atau sedikit spoiler tentang sekuel(?) See you there, Guys!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top