13. Pengetuk Hati

Hati kita, perasaan kita punya Allah.
Dan satu-satunya cara untuk membuatnya tenang ya, hanya dengan mengingat Allah.

Nida hanya bisa mematung saat melihat motor yang dikendarai Bang Hilmi menghilang di ujung jalan. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang. Yang jelas, firasatnya tidak enak.

Dengan tak bersemangat Nida menaiki tangga menuju lobby Al-Mulk. Perhatiannya teralihkan saat mendengar intro petikan gitar yang amat familiar di telinganya.

Ternyata Akhilla' Nasyid sedang berlatih di saung paling ujung yang terletak dekat dengan penginapan. Entah memang mereka terbiasa latihan di sana, atau sengaja sekali menarik perhatian santriwati pondok putri yang kini tinggal di gedung Al-Mulk. Nida tak ingin ambil pusing soal betapa modusnya anak-anak nasyid. Ia punya hal yang lebih penting sekarang.

Dengan jantung yang berdegup kencang karena gugup, gadis yang masih membawa tas kamera itu berjalan menghampiri saung. Ia perlu berbicara dengan Dzaki saat ini. Nida semakin canggung saat ia berjarak satu meter dari anak-anak nasyid, mereka semua seperti serentak menghentikan aktifitasnya.

Aduh, tolong. Nggak usah begini banget bisa, nggak? keluh Nida dalam hati. Untung saja Dzaki sigap meninggalkan saung dan bergegas menghampirinya.

"Ada apa, Nid?" tanya Dzaki saat sudah berada di hadapannya. Nida menghela napas pelan, sudah mulai rileks karena anak Akhilla' sudah kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Uum, antum tahu barusan ana ada urusan apa bareng Bang Mi di luar?" Pertanyaan yang diajukan Nida membuat Dzaki mengerutkan dahi.

"Nah, itu. Ana aja kaget lihat anti balik-balik dianter Bang Mi dari luar." Jawaban Dzaki membuat Nida sedikit bernapas lega. Berarti special trip mereka aman dari pengetahuan santri biasa. Tapi kenapa bisa sampai ada anak angkatan mereka yang berkeliaran sesore ini di luar pondok? Padahal keamanan sudah ditingkatkan hampir di semua gerbang.

Menghela napas pelan, Nida menceritakan apa yang ia lihat saat dalam perjalanan pulang. Juga kecurigaan dan kekhawatirannya saat melihat respon Bang Hilmi. Melihat mimik muka serius dari Dzaki, semakin membuat Nida khawatir.

"Ki, itu siapa?" tanya Nida lagi setelah menjelaskan ciri-ciri seseorang yang ia lihat. Nida tak banyak mengenal anak-anak putra. Hanya beberapa yang dekat dengan Bang Hilmi atau Dzaki, serta beberapa rekan kerjanya di Tsaqofah. Nida hanya tahu sosok tadi adalah salah satu dari angkatan mereka.

Dzaki menghela napas berat, "Kayaknya itu Yudha cs, Nid. Anti ingat geng 'rusuh' yang bikin ana misuh-misuh sehari sebelum pelantikan Bang Mi?"

Takut-takut, Nida mengangguk mengiyakan. "Itu mereka. Kayaknya tuh orang memang nggak pernah ridho Bang Mi mimpin. Ada aja tingkah resenya yang bikin panas," jelas Dzaki yang semakin membuat Nida merasa bersalah.

"Tenang aja, Bang Mi bakal bisa ngatasin masalah ini, kok. He is the best leader ever," ujar Dzaki menenangkan. Nida hanya bisa berharap masalah yang terjadi karena permintaannya tidak terlalu parah.

*---*---*

Gadis berparas manis itu mendesah frustrasi. Ia menyandarkan kepala pada lipatan tangannya yang bertumpu di atas lutut. Ingin rasanya memejamkan mata sejenak. Sembari berharap saat membukanya kembali nanti, semua hal memberatkan ini ternyata hanya mimpi belaka. Nida harap apa yang ia dengar di ruang guru tadi hanya ilusi.

"Nid?" Suara lembut itu menyapanya. Lalu terdengar suara langkah kecil mendekat.

"Kenapa?" tanya Ulya sambil mengelus pundaknya perlahan.

Nida menghela napas. Mencoba menahan gejolak emosi yang semakin menggila dalam benaknya. Ia tak sanggup. Rasanya ingin menyerah dengan semua tekanan tak berakhir yang masih harus ia hadapi dua bulan ke depan. Masa bodoh dengan ekspektasi atau harapan orang-orang. Ia hanya ingin menjalani apa yang ia pilih.

"Ana lolos masuk OSN tingkat Provinsi, Ya." jawabannya malah semakin membuat Ulya keheranan. "Ana nggak sanggup kalo harus nge-handle dua-duanya sekarang," lanjut Nida lagi, suaranya sudah serak karena menahan tangis. Ulya meraihnya dalam pelukan. Bulir bening yang sedari tadi ia tahan lolos sudah.

"I want to get out. Tapi nggak ada jalan keluar. Ana nggak bisa ngundurin diri dari salah satunya," adu Nida dalam sela tangisnya.

"Nid, ana nggak akan maksa anti untuk maju terus. Saat ini, jelas cuma diri anti sendiri yang paham kemampuan anti sejauh mana. Tapi, ana minta anti pertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan untuk menyerah." Ulya memindahkan posisi duduknya agar menyejajari Nida yang bersandar di deretan lemari.

"Nggak semua orang bisa masuk dalam kontingen utusan Ruha sampai ke provinsi. Dan nggak semua santri, bisa mengikuti Olimpiade Sains Nasional sampai tingkat provinsi. Rofi'atun Nida Haytsami, nggak semua orang punya kesempatan sebaik apa yang sudah anti raih sejauh ini."

Perkataan Ulya membuat Nida menghela napas pelan. Ia tahu kalau apa yang ia hadapi ini merupakan kesempatan hebat yang mungkin takkan pernah terulang lagi.

"Memutuskan untuk menyerah pada salah satunya, saat anti bahkan belum mencoba hanya akan menyisakan penyesalan nantinya. Ini bukan lagi tentang ekspektasi orang-orang, Nid. Ini tentang kepercayaan anti terhadap diri sendiri."

Nida hanya bisa terdiam mendengar perkataan sahabatnya. Yah, Ulya benar. Tak seharusnya ia semudah ini menyerah pada keadaan. Ia harus memperjuangkan apa yang ia ingin ia raih.

"Dan, Nid. Nggak semua orang punya abang sebaik Hilmi Mursyid Haytsami," tutur Ulya mengakhiri perkataannya.

Benar saja, Nida langsung teringat pada kasus berat yang saat ini tengah dialami Bang Mi sebagai imbas dari permintaannya waktu itu. Seandainya saja ia tak memaksa abangnya untuk izin special trip saat MTQ mungkin abangnya tidak akan bekerja demikian keras menyelesaikan masalah yang dilakukan anak seangkatannya.

Ah ya, Nida juga punya janji pada Bang Mi sebagai syarat terealisasinya keinginannya itu. Nida mengalihkan pandangan pada dua bundel buku yang khusus dijilid Bang Mi untuk dirinya. Buku pertama berisi kumpulan soal-soal Fahmil Qur'an sampai tingkat provinsi beserta penjelasan jawabannya. Buku kedua merupakan kumpulan soal olimpiade sampai tingkat nasional. Masing-masing buku itu diberikan Bang Hilmi saat tahu Nida mengikuti kedua lomba bergengsi itu tahun ini.

Baiklah, ia tidak boleh mengecewakan Bang Mi kali ini.

*---*---*

Aroma petrikor yang menguar setelah hujan sedikit banyak bisa menenangkan berbagai pikiran yang bertumpuk di benak Nida sejak pagi tadi. Yah, ia lega akhirnya bisa mengakhiri semua perjuangan keras seminggu terakhir dengan senyuman. Meski tak terlalu yakin apa ia bisa melenggang mulus ke tingkat nasional di Jogjakarta nanti. Tak apa, langkahnya sejauh ini pun sudah cukup baginya.

Gerimis kecil masih turun satu-satu. Nida memutuskan untuk berjalan menyusuri alun-alun kota Bandung yang semakin ramai saja seusai sholat maghrib. Nida selalu suka suasana kota ini pada malam hari. Kalian pernah berada di sekitar keramaian tanpa merasa was-was? Bahkan tidak terasa asing meski kalian baru saja menginjakkan kaki di tempat itu. Seperti itulah Bandung. Keramaian menenangkan yang menyediakan banyak spot menarik untuk disinggahi. Meski setelah matahari terbenam seperti ini.

Namun malam ini, gadis berkerudung biru itu hanya ingin menikmati pemandangan di sekitarnya. Menara masjid agung yang menjulang tinggi juga keramaian warga di alun-alun sebenarnya sangat menarik untuk diabadaikan dalam lanskap kameranya. Tapi entah kenapa, mood-nya tidak terlalu baik untuk memburu foto bagus kali ini.

"Nggak baik jalan sendirian malem-malem begini meski cuma di alun-alun." Menghela napas sebal, Nida mengalihkan pandangannya ke asal suara. Celakanya, ia lupa kalau sosok yang baru saja menegurnya itu memiliki efek samping untuk dirinya.

Benar saja, kehadiran sosok itu membuat Nida tertegun sesaat. Seperti ada tombol pause yang sengaja sekali ditekan agar dirinya memerhatikan sosok yang paling ia hindari sejak awal karantina itu dari dekat.

"Apalagi sambil ngelamun dan bawa kamera," lanjut Fatih yang menyadarkan Nida dari disorientasi sesaatnya. Nida hanya mengangkat bahu sejenak sambil berusaha mengabaikan sosok di sampingnya. Entah ia harus sebal atau bagaimana, tapi Fatih masih saja terus mengiringi langkahnya.

Menyerah, Nida mencoba menebus keheningan yang mengambang di antara mereka sejak lima belas menit yang lalu. "Ada apa?" gugat Nida berusaha terdengar ketus. Ah tidak, ia hanya berusaha agar kegugupan yang sedari tadi menjalar di perutnya tak terlihat ke permukaan.

Sosok ber-hoodie biru tua itu menoleh santai. Masih dengan senyum khasnya, Fatih malah menjawab pertanyaan Nida dengan gendikan bahu. "Nggak, cuma pengen ngikut jalan aja. Lagian, anti nggak bawa hp kan buat ngabarin temen yang lain?"

Tanggapan bernada memastikan itu menyadarkan Nida. Karena terlalu sibuk dengan benak dan perasaannya, Nida sampai lupa bahwa ia tidak sempat mengabari Riza sebelumnya. Apalagi dirinya terkenal paling susah menghafal jalan. Bisa-bisa, ia berakhir menunggu tanpa kepastian di masjid agung sampai seseorang menjemputnya.

"Boleh pinjem kameranya? Sayang kamera bagus begitu dianggurin," celetuk Fatih lagi sambil mengisyaratkan pada tas kamera yang dikenakan Nida di pundak kanannya. Tanpa pikir panjang, Nida menyerahkan kameranya pada Fatih. Bandung dan pesonanya di malam hari memang amat sayang untuk dilewatkan. Apalagi malam ini adalah malam terakhir mereka di sini.

Selanjutnya, Nida hanya mengamati sosok Fatih yang asik dengan kameranya. Ternyata cowok itu cukup luwes memotret. Kali ini, Nida yang bergegas menyusul langkah-langkahnya yang lebar.

Cengiran penuh rasa bersalah muncul di wajah teduh dari sosok di depannya. "Eh, afwan, Nid. Ana jadi keasikan sendiri. Udah lama nggak megang kamera soalnya," terang Fatih.

Nida mengulum senyum melihat ekspresi wajah Fatih. "Nggak apa, Tih. Seneng fotografi juga?"

Sosok ber-hoodie biru itu mengangguk singkat, "Ya ... gitu deh. Cuma sekadar seneng aja, tapi nggak tahu banyak."

Obrolan kecil mereka mulai membahas tentang dunia fotografi. Tentang Nida yang mati-matian izin demi bisa membawa kamera di olimpiade kali ini. Sampai Fatih yang tertarik fotografi karena penggunaan kamera di pondoknya masih terbatas pada guru-guru saja.

"Jadi, ada apa sampe anti jalan sendirian sambil ngelamun di alun-alun begini?" tanya Fatih sambil menatap Nida simpati.

Refleks, Nida menundukkan wajahnya gugup. Rasa panas mulai menjalar di pipinya. Berdeham pelan, ia mencoba menetralisir rasa gugupnya.

"Hmm, nggak. Lagi pengen sendirian aja."

Terdengar helaan napas dari sosok di sebelahnya. "Maaf kalo terdengar lancang atau sok tahu. Tapi kadang, kalo kita lagi beneran galau atau bahkan bingung sama perasaan sendiri, kita itu suka lupa sama Allah. Padahal, harusnya kita cepet-cepet kembali pada-Nya. Entah itu dzikir atau sholat, apa aja deh. Hati kita, perasaan kita itu semua punyanya Allah. Cara supaya bikin dia tenang ya, cuma dengan mengingat Allah. As simple as that," papar Fatih pelan.

Nida hanya bisa memandang sosok ber-hoodie biru itu dalam diam. Ia curiga jangan-jangan fisikawan tingkat provinsi di sampingnya ini juga punya kemampuan telepati. Atau apa Fatih punya kemampuan legilimens seperti professor Snape? Astaga, terlalu banyak berkutat dengan materi lomba membuat otak Nida berimajinasi terlalu tinggi sekarang.

Gadis berkerudung biru itu masih menatap sosok di sampingnya saat tiba-tiba Fatih menoleh ke arahnya dan menatapnya tepat di mata. Oh tidak, detak jantungnya kembali menggila. Nida akhirnya mengalihkan pandangan pada keramaian alun-alun yang semakin padat.

Suara murottal mulai terdengar dari menara masjid menandakan beberapa saat lagi adzan isya akan berkumandang.

"Anti belum mau balik kan, Nid? Intazhiriniy*, ya. Kita makan sate paling enak di Bandung abis isya nanti, InsyaAllah. Ajak Riza juga," ujar Fatih sambil menyerahkan kembali kamera pada Nida.

Nida hanya bisa mengangguk menjawab ajakan Fatih. Sosok ber-hoodie biru tua itu baru akan beranjak dari kursi taman saat Nida mengatakan sesuatu. "Tih, Syukron ya."

Fatih hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Nida. "La syukro 'ala wajib**, Nid."

Lalu sosok yang paling Nida hindari sejak awal karantina itu berjalan menjauh dari tempat mereka duduk. Nida memegang sisi kameranya yang sedari tadi ada di tangan Fatih. Hangat. Sehangat hatinya yang baru saja ditenangkan seseorang.

____________________________________

Catatan :

Intazhiriniy*: Tunggu aku

La syukro 'ala wajib**: Ini sebenarnya jawaban lahjah Mesir untuk menjawab kata syukron atau terima kasih.

A/N: Ada semacam cerpen tentang Nida dan Bang Mi di lapak Coretan Adzkya. Boleh mampit ke sana kalo berkenan ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top