12. Kesalahan Seorang Pemimpin

Tak ada yang sempurna di dunia ini.
Tapi senantiasa berusaha menuju kesempurnaan adalah suatu keharusan.

Akhyar selalu saja meledeknya perfeksionis tiap kali melihat quote berukuran postcard yang tercetak di halaman depan agenda Hilmi. Biasanya, Hilmi hanya tersenyum geli menanggapi. Dijelaskan pun sahabatnya itu tetap saja bersikeras dengan pemahamannya. Padahal quote itu hanyalah representasi dari bahasa Jepang, Kaizen.

Satu dari tigabelas jurus terlarang versi Ippho Santosa itu, Hilmi ketahui dari blogger favoritnya. Mengejar kesempurnaan, memang arti secara harfiah dari Kaizen. Tapi pemaknaannya tak hanya sampai disitu. Kaizen juga berarti terus menerus memperbaiki diri agar bisa meraih kesempurnaan.

Ia tidaklah perfeksionis, Hilmi hanya sedang mengingatkan dirinya untuk tidak gampang berpuas diri dan terus memperbaiki kemampuannya. Bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Wa fawqo kulli dzi ilmin aliim. Seperti sosok seumuran adiknya yang kini sedang menghanyutkan seisi aula lewat suaranya dari atas mimbar.

Sosok itu membuatnya sedikit menyesal juga iri pada waktu yang bersamaan. Hilmi sedikit menyesal tidak memulai menghafal semuda sosok itu, juga iri pada kerendahan hati luar biasa yang dimilikinya. Sayangnya selama hampir dua tahun terakhir mengikuti MTQ, ia belum punya kesempatan berdiskusi panjang lebar dengan salah satu penerima beasiswa Huffazh provinsi itu.

Hilmi sempat menangkap sosok itu tersenyum dan mengangguk pelan ke arah barisan akhwat. Apa ada seseorang spesial yang sedari tadi menyimaknya?

Ah, Hilmi jadi ikut gugup karenanya. Biasanya ia hanya cukup fokus pada pertanyaan dan dengan mudah melupakan audiens sebanyak apapun itu. Tapi kali ini tidak, kesadaraannya tak bisa semudah itu melupakan kalau saat ini ia tengah tampil di aula pondoknya. Dengan tiga perempat audiens yang mengenal baik siapa dirinya.

Menghela napas, cowok berkacamata itu segera bersiap saat Akhyar memanggil namanya. Bismillah, semoga kesempatan terakhir ini tak membuatnya mengecewakan siapapun.

*---*---*

Manusia, diambil dari bahasa arab yang jika diterjemahkan artinya 'apa-apa yang dilupakan'. Kata al-insan sendiri dalam bahasa arab jika dirunutkan akan bertemu dengan nisyan, yang berarti lupa. Itulah kenapa pepatah 'manusia tempatnya salah dan lupa' menjadi amat familiar. Karena ternyata asal kata dari dua bahasa berbeda itu ternyata bermuara pada maksud yang sama.

Bukan, Hilmi bukannya sedang duduk manis menyimak kelas metodologi tafsir yang diampu Ustadz Niam hingga benaknya berkelana menghubungkan akar-akar kata di atas. Ia justru sedang menunggu Ustadz Syam yang tengah rapat bersama beberapa juri resmi pada perlombaan MTQ.

Cowok berlesung pipi itu melirik jam tangannya gelisah. Seharusnya ia sudah menghadap Ustadz Syam sedari tadi, tepat setelah sholat zuhur dilaksanakan. Qadarullah, Allah membuatnya lupa. Hingga terlalu sibuk mempersiapkan lomba Fahmil dan menyimak acara itu sampai akhir.

Dan begitu ia sampai di depan kantor Ustadz Syam, pintu ruangan beliau sudah tertutup. Bahkan cowok berlesung pipi itu sudah sempat ashar berjamaah dan kembali lagi ke tempat ia duduk saat ini. Hilmi hanya bisa bersholawat dalam hati, semoga kepala pengasuhan itu tidak berubah pikiran karena kelalaiannya.

Hilmi segera bangkit dari duduk saat akhirnya pintu ruangan di hadapannya membuka. Setelah membalas beberapa sapaan dari juri-juri yang mengenal baik dirinya, Hilmi segera menghadap pada sosok paling disegani di pondok ini.

"Dari mana aja, antum Mi?" Suara tenang itu meluncur bersamaan seberkas senyum di wajah beliau yang teduh.

"Tadi sibuk di venue Fahmil, Ustadz. Alhamdulillah adek masuk final," jawab Hilmi tenang. Ia lega sekali begitu melihat ekspresi pimpinan pondok pusat di depannya ini.

Sosok di hadapannya mengangguk maklum. Lantas mengisyaratkan dirinya untuk ikut masuk ke kantor beliau. Ustadz Syam langsung mengambil buku tasrih –surat izin- dan menuliskan sesuatu di atasnya.

"Gerbang belakang, sebelum jam 6 ya, Mi," ucap beliau sambil menyobek dua kertas tasrih dan memberikannya pada Hilmi.

Ketua Imarah Thullab itu mengangguk mengiyakan. "Na'am, Ustadz."

Hilmi bergegas naik ke motor yang ia pinjam dari salah satu ustadz muda. Ia memutar jalan menuju bangunan penginapan yang terletak persis dekat gerbang belakang.

"Duh, adek kesayangan mah beda yah, Bang. Lulus provinsi langsung deh, semua request dikabulin." Suara celetukan Riza menyambutnya saat sudah sampai di lobby depan Al-Mulk. Hilmi hanya tersenyum kecil, sedangkan Nida melotot sebal ke arah sahabatnya.

"Makanya, Za. Kalo mau special trip begini, punya abang di pusat, dong," balas Hilmi menanggapi. Riza hanya ber-huu ria membalas perkataannya.

"Berapa lama izinnya ke Ustadz Syam, Mi?" tanya Afra dengan nada ledekan dalam suaranya.

"Dua minggu." Hilmi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tahu jelas, Afra sedang mencari-cari bahan olokan terbaru untuk rapat redaksi. Tatapannya bersirobok sesaat dengan pemilik sepasang mata bening yang sedari tadi hanya diam. Hilmi langsung mengalihkan pandangannya.

"Udah, Bang. Ayo," ujar Nida agak keki karena ikut sadar akan jadi bahan bully-an anak-anak Tsaqofah nanti. Dalam hati Hilmi bersyukur karena tak harus terjebak lebih lama di sana. Ada hal yang akan mengganggu pikirannya berminggu-minggu jika berada di tempat itu lebih lama lagi.

Cowok berkacamata itu mengantarkan adiknya ke pinggiran danau buatan di kompleks elit dekat pesantren mereka. Itu spot pertama dalam hunting foto sore ini. Kelopak mata Nida mengerjap antusias. Lantas langsung bergegas mencari view yang bagus dalam bidikan kameranya.

Hilmi hanya mengamati adiknya yang begitu bersemangat sore ini. Ia membuka agenda yang sengaja ia bawa. Benaknya terasa agak penuh belakangan ini. Sepertinya ia butuh rehat setelah kepadatan dua minggu belakangan. Hilmi menghela napas. Ia kembali teringat sepasang mata bening yang tadi tak sengaja bertemu tatap dengannya.

Lagi-lagi, tanpa bisa ia cegah memori dalam benaknya mengembara pada proses editorial majalah Tsaqofah bulan lalu. Ia menemukan gaya tulisan khas blogger favoritnya dalam tulisan sosok tadi. Persis. Dan sama sekali tidak terkesan meniru atau terinspirasi. Bahkan tulisan itu terasa begitu alami. Ingin sekali rasanya Hilmi menanyakan langsung pada sahabat adiknya itu. Tapi, tampaknya itu menjadi hal yang mustahil sekarang.

Suara bidik kamera menyadarkan Hilmi yang tengah asyik menuliskan prosa. Senyum Nida melebar saat melihat hasil bidikannya.

"Kalo yang ini kamu masukin pinterest, abang beneran minta honor nih, ya," ancam Hilmi main-main saat melihat kilatan jahil di mata adiknya.

"Dih, sama adek sendiri pelit, masa," cibir Nida sambil menghampiri dirinya yang masih duduk di atas motor. "Ih, tapi ini keren, Bang. Sayang kalo nggak dipajang. Boleh, ya?" bujuk gadis berkerudung coklat itu dengan tatapan memelas.

Dahi Hilmi berkerut, "Coba liat dulu, sini."

Nida memberikan kameranya. Sosok berkacamata itu mengamati hasil jepretan adik semata wayangnya. "Tuh, kan. Belum Nida edit aja, udah perfect gini komposisi warnanya. Sayang kalo cuma disimpen di memori, Bang."

"Iya, boleh. Di pinterest aja tapinya, ya. Jangan di-upload ke instagram, apalagi pake segala tag abang," sahut Hilmi mengalah. Nida bersorak senang lantas kembali sibuk dengan kameranya.

Hampir satu jam setelahnya Nida baru puas mengabadikan sekitar danau dalam bidikan kameranya. Hilmi menawarkan diri membawakan tas kamera adiknya yang tampak berat. "Masih ada satu jam lagi. Mau ke mana habis ini?"

"Depan komplek aja, Bang. Mau take beberapa kali di sana," jawab Nida. Hilmi mengangguk sambil menutup agendanya.

"Eh, bentar. Itu agendanya tolong buka lagi, Bang."

Meski heran, Hilmi tetap melakukan permintaan Nida.

"Tak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi senantiasa berusaha menuju kesempurnaan adalah suatu keharusan. Hum, Kaizen. Pengejar Kesempurnaan," tutur Nida saat menurunkan kameranya.

"Continual improvement to get something better. Kamu tahu penjelasannya seperti itu. Nggak usah kebawa-bawa translation majas begitu, deh," tanggap Hilmi dan menutup agendanya.

Nida hanya memamerkan giginya tanpa bersalah. "Iya, sih. Tapi kadang ya, Bang orang-orang tuh suka bikin standart sendiri untuk mengukur pantas nggaknya seseorang. Misal nih, ada yang bilang kalo mau hijrah itu kudu baik dulu hatinya. Mau nikah harus mapan dulu. Dan keharusan-keharusan lain yang kadang bikin orang mundur duluan sebelum melakukan."

Hilmi hanya mengangguk sambil mulai menjalankan motornya. "Sebenernya itu cuma stigma-stigma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sih, Dek. Padahal ya, kuncinya cuma sesimpel dua kalimat di quote tadi. Terus berusaha apapun keadaan yang kita alami."

"Dari semua stigma tadi, abang paling sebel sama yang mana?" Hilmi berpikir sejenak. Sebenarnya ada satu pemikiran skeptis yang begitu mengganggunya belakangan ini. Tapi Hilmi takut keluhannya itu hanya sekadar pikiran negatif.

"Tentang pemimpin. Pemimpin itu harus bijak, nggak boleh gegabah juga harus bisa jadi contoh buat anggotanya. Pemimpin harus ahli beretorika, merangkai kata-kata. Harus tegas, nggak boleh mudah nyerah, nggak boleh patah semangat—"

"Ciye, ada yang curhat."

"Apa?"

"Nggak."

Hilmi mendengkus sebal. "Bukan curhat. Yang bikin sebel bukan yang abang sebutin tadi, sih. Meski ya, emang udah seharusnya pemimpin punya kriteria-kriteria begitu, tapi kan nggak semua orang bisa."

"Faktanya, memang nggak semua orang bisa jadi pemimpin, kan?"

Hilmi mengangguk, "Iya. Stigma yang paling abang benci dalam kriteria seorang pemimpin, pemimpin itu nggak boleh salah." Ia mengendikkan bahunya. "Padahal kan, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Sekali-kali khilaf kalo nggak fatal harusnya dapat pemaafan, dong."

Wajah adiknya yang terpantul lewat kaca spion tampak berpikir keras. "Ya, adanya stigma itu biar pemimpin nggak asal-asalan kali, Bang. Supaya amanah juga sama apa yang dipimpinnya."

"Iya, tapi seringkali jadinya begini, Nid. Pemimpin itu nggak boleh salah. Titik. Bukan koma, apalagi titik koma. Final stop. Dan ujungnya kalo ada pemimpin salah langkah, sukanya pada nge-bully bukannya ngoreksi." Kali ini Hilmi tak lagi bisa menyembunyikan jengkel pada suaranya. Nida yang duduk di belakangnya tampak menyembunyikan senyum geli.

Mematikan mesin, Hilmi berhenti di spot terakhir mereka sore ini. Diwarnai beberapa perdebatan kecil lainnya, ia menemani Nida memotret. Tak berapa lama motor pinjaman yang mereka kendarai sudah melaju kembali ke pondok pusat.

Cowok berkacamata itu sedang mencari celah di tengah kepadatan jalanan saat tiba-tiba Nida menggoyangkan lengannya. "Bang, itu anak angkatannya Dzaki bukan, sih?" tanya Nida sambil mengisyaratkan pada beberapa anak-anak yang tampak duduk-duduk di depan warnet.

Hilmi menghembuskan napas sebal. Inilah salah satu alasan mengapa ia membenci stigma terakhir tentang kepemimpinan tadi. Ketua Imarah Thullab itu memacu kendaraannya agar lebih cepat sampai ke gerbang belakang.

"Abang duluan. Hati-hati ke kamarnya," pamit Hilmi terburu saat Nida sudah turun dari motor. Ia bergegas putar haluan kembali ke lokasi di mana Nida melihat beberapa anak kelas sebelas yang berkeliaran.

Sudah sejak kemarin Hilmi mengkhawatirkan hal ini. Kondisi anggota yang tidak terkontrol karena banyaknya peserta dan pembimbing yang keluar masuk pondok. Karena itulah ia dan Alvi meningkatkan penjagaan di semua gerbang. Tapi tampaknya sistem yang ia rancang sejak seminggu yang lalu justru rusak oleh ulahnya sendiri.

Cowok berkacamata itu memanggil salah satu wajah yang paling familiar.

"Akhi Hilmi, antum yang daur-keliling untuk penjagaan- sore ini? atau udah beres jalan-jalan sorenya?" Hilmi memejamkan mata sejenak sambil beristighfar. Pertanyaan dengan nada sindiran yang tak lagi ditutup-tutupi itu terlontar begitu lancar dari adik kelas di hadapannya.

"Kalian ada tasrih ke sini? Atau memang kucing-kucingan kabur dari pondok?" balas Hilmi tanpa basa-basi. Beberapa sosok di depannya mulai mengkerut ketakutan. Kecuali satu sosok yang masih menantang tatapannya nyalang.

"Nggak. Kita cuma mau join jalan sore aja, Akh." Yudha menjawab ringkas. Kilatan dendam dalam manik matanya membuat Hilmi beristighfar lirih dalam hati.

Menghela napas, Hilmi berusaha agar amarah tak menguasai benaknya, "Yudha, ana mohon kali ini, kalian jangan cari-cari masalah begini. Balik ke pondok sekarang. Atau nunggu Ustadz Syam yang jemput baru kalian mau pulang?" gertak Hilmi keras. Ia tak yakin sanggup menahan emosi jika berada di sana lebih lama lagi.

Yudha dan teman-temannya berbalik pergi. Hilmi mengawasi dengan sabar hingga mereka masuk ke gerbang utama. Sedang Akhyar sudah menghampirinya sejak ia memarkirkan motornya.

"Kok bisa ketemu mereka, Mi?" Akhyar bertanya heran sambil memerhatikan enam orang yang kini sedang diinterogasi beberapa staf keamanan. Alvi tampak memisahkan diri dan bergegas menghampirinya.

"Pada nongkrong depan warnet tadi mereka itu. Watados pula," sahut Hilmi sambil melepas helmnya.

"Ya, namanya juga Yudha and the Genk, Mi. Muka mereka emang kesetel gitu, kali. Sengak," celetuk Alvi menanggapi.

Hilmi kembali menghela napasnya, "Tapi kali ini mereka nggak kabur satu geng doang, Vi." Ucapan Hilmi membuat Alvi memasang wajah serius.

"Tolong minta staf keamanan dan pengajaran kumpul di kantor sekarang. Kita perlu tahu jelas kasus ini sebelum menghadap atau dipanggil pengasuhan," perintah Hilmi tegas yang disambut anggukan oleh Akhyar dan Alvi.

____________________________________
Author's Note :
1958 kata fiuh 😪 awas aja kalo ada yang masih protes kependekan 😶

Chapter ini harusnya diprivate, sih. Tapi berhubung saya mau buru-buru mudik malem ini, nggak usah private dulu deh 😅

Oh iya, buat yang udah follow tapi chapter 3 dan 10-nya belom juga kebuka, coba hapus dulu work ini dari library. Follow ulang terus add lagi ke perpustakaan. Kalo nggak bisa juga coba logout dan login ulang.

Selamat Membaca 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top