11. Autofocus

Jalanilah hidupmu bersamanya
Bersama Qur'an dan menghafalnya
Bertingkah laku dengan ayatnya
Generasi Qur'ani

Napas Nida terasa tertahan saat grup acapella paling hits se-Raudhatul Huffazh beraksi di atas panggung. Ia benci mengakui ini, tapi sungguh Akhilla' tak pernah tidak berhasil membuat audiens berdecak kagum dengan penampilan mereka.

Apalagi kali ini, dengan intro menghentak dan sedikit sentuhan suara petikan bass yang klimaks di akhir membuat suara lead vocal mereka terdengar amat jernih dan menyentuh. Belum lagi suara koor yang begitu harmoni di bait akhir tanpa sadar membuat kulit meremang.

Masa depan ada di tangan kita
Berbenahlah hingga tiba masanya
Mewujudkan mimpi-mimpi mulia
Generasi Qurani ...

Nida tersadar dari ketakjubannya saat menemukan lead vocal Akhilla' mengerlingkan mata menggoda ke arahnya. Okay, enough. Wajahnya pasti terlihat sangat terpesona tadi, menilik dari senyum geli yang terlihat jelas di wajah Dzaki yang ada di atas panggung sana.

Nida mendengkus sebal. Sepupu menyebalkannya itu pasti akan menggodanya habis-habisan setelah ini. Ia segera mengangkat kamera dan berpura-pura sibuk memotret kemeriahan pembukaan Musabaqoh Tilawatil Qur'an di aula Al-Fath pondok pusat Ruha.

Gadis berkerudung hijau itu menghampiri Bang Hilmi yang sedang berjaga di dekat pintu aula. Nida menarik napas jeri. Ia jarang sekali menghadapi Bang Hilmi dengan raut wajah angker seperti ini. Tak urung nyalinya agak ciut melihat ekspresi dingin tak tersentuh yang ditampilkan Bang Mi.

"Bang," bisik Nida pelan agak takut.

Bang Hilmi mengalihkan perhatiannya dari mushaf biru di tangannya, memandang Nida masih dengan ekspresi tak terbaca. Tanpa suara, Bang Hilmi hanya menaikkan alisnya menyuarakan tanya.

Nida menelan ludah gugup, "Izin ngeliput ke depan, sekalian buat mading putri ini," ujarnya takut-takut.

"Bawa ID Tsaqofah, nggak?" Bang Hilmi menanyakan tanda pengenal pers milik klub jurnalistik.Tak hanya ekspresinya yang dingin, suara Bang Hilmi juga tak kalah membekukan.

"Eh, ada." Nida menjawab takut-takut. Ekspresi Bang Hilmi sungguh jauh lebih menyeramkan dari mode tegasnya Kak Afra.

"Dipake. Udah izin sama pembimbing dan Afra?"

Nida hanya bisa mengangguk menanggapi pertanyaan Bang Hilmi.

"Ya udah, sana."

Nida menghela napas pelan. Mencoba mengurangi ketegangan yang sempat mengudara di sekitarnya. Sekarang Nida paham kenapa Bang Hilmi agak 'dibenci' di kalangan santri putra. Mode biasanya saja sudah segitu angkernya. Apalagi jika Bang Hilmi sedang dalam mode tegas menghukum. Nida sendiri tak yakin bisa menghadapi Bang Hilmi tanpa gemetar seperti tadi.

Setelah serangkaian seremonial pembukaan, Nida agak menepi ke depan menunggu kerumunan santri putra keluar aula.

"Ciye yang ikut MFQ," celetuk Bang Akhyar yang tengah membereskan gulungan kabel di depan panggung.

Nida tersenyum usil mendengar ujaran sahabat abangnya itu. "Dih, kata siapa. Cuma ngeliput doang Nida ke sini. Ini aja jadi kuli kamera, nih," sahutnya sambil memegang kamera yang tergantung di pundak. Ia cukup akrab dengan beberapa sahabat Bang Hilmi di pondok pusat.

"Ana panitia kali, Nid. Masa panitia mau diboongin." Bang Akhyar menyahut dengan nada meledek.

Nida tersenyum kecil. Berpamitan singkat dengan Bang Akhyar, ia bergegas bergabung dengan rombongan kontingen putri. Atmosfer perlombaan langsung kental terasa. Semua orang sepertinya sibuk mempersiapkan diri untuk lomba yang akan diadakan hari ini dan besok. Sedangkan Nida hanya menjadi pendengar setia diskusi seru antara Ulya dan Kak Afra.

Saat rombongan putri melewati kontingen putra yang sedang melakukan briefing di dekat pintu aula, Nida merasa bahunya dirangkul seseorang. "Nid, kalo bisa jangan terlalu sering ngobrol dengan siapapun yang anti kenal di sini. Nggak enak sama anak-anak." Suara lembut itu berbisik pelan di telinganya.

Itu suara Kak Afra. Setelah melewati sesi tutor dan persiapan MFQ yang panjang, sedikit banyak ia dan Ulya sudah mulai akrab dengan ketua Imarah Thalibah pondok putri itu. Ternyata sosok yang dijuluki Penyihir Putih-nya pondok putri tidak semenyeramkan yang orang lain kira. Hanya saja Kak Afra memang tidak terlalu dekat dengan adik-adik kelas.

Nida refleks mengangguk, "Iya, Kak. Maaf, tadi ke Bang Akhyar juga refleks aja nanggepinnya."

Kak Afra tersenyum maklum. Nida mengedarkan pandangan saat rombongannya melewati pintu aula. Tunggu, sepertinya ada yang kurang dari deretan teman-teman satu kontingennya.

"Ya, Riza mana, deh?" tanya Nida heran. Seingatnya ia masih melihat Riza di dekat Ulya saat hendak bergabung dengan rombongan.

Ulya yang sepertinya juga baru tersadar, segera mencari sosok itu di tengah keramaian. Nida ikut mengedarkan pandangannya. Harusnya tidak sulit menemukan sahabatnya satu itu. Berhubung rombongan mereka memakai jilbab seragam Ruha dengan warna hijau muda yang khas.

Nida bergegas menyelip di antara kerumunan saat menemukan sosok yang ia cari tampak ingin berbelok ke arah yang salah.

Menarik tangan sahabatnya, ia berusaha mencegah Riza yang tampak mencurigakan. "Eit, penginapan kita di Al-Mulk, Za. Bukan Al-Furqon," ledek Nida geli karena Riza memang tampak seperti ingin menuju bangunan asrama putra itu.

Riza berbalik menghadap ke arahnya dengan wajah tertangkap basah. "Hmm, itu--"

"Mau ke mana sih, Cantik? Mau lihat lomba tafsir? Masih ntar abis ashar acaranya. Cottage persiapan kita juga ke arah sana deh, perasaan," lanjut Nida sambil mengisyaratkan ke sederetan cottage bambu yang berderet rapi sampai ke gerbang menuju wisma penginapan.

Riza menghela napas menyerah. Ulya yang baru saja sampai langsung merangkul pundak kiri Riza. "Udah, kita fokus buat lomba aja dulu, Za."

"Nah, iya bener tuh," sahut Nida lalu berbisik usil. "Kalo udah pengumuman, baru deh ntar ketemuan."

"Nida!" tegur Ulya sambil memukulkan kertas materinya ke lengan kiri Nida. Sedangkan Nida hanya tertawa tanpa suara.

"Becanda, Ya. Kita jelas nggak mau ngadep ke ruang sidang abis MTQ ini, kan Za?"

Senyum geli terbit di wajah Riza yang sedari tadi memasang wajah sebal. "Iya, iya. Di sini mah, nggak seru juga lagian. Ntar aja, waktu provinsi ketemuannya," sambung Riza usil yang disambut suara peringatan dari Ulya dan ledekan keras dari Nida.

Ia dan kedua sahabatnya segera saja larut dalam keriuhan obrolan mereka mengomentari banyak hal. Berjalan agak jauh dari pintu aula, Nida menoleh ke belakang. Dugaannya tepat kali ini. Tak begitu jauh dari aula, sosok lead vocal Akhilla' a.k.a sepupu menyebalkannya sedang berdiri menunggu dengan raut wajah sebal. Ia jelas takkan membiarkan Riza dan Dzaki mendapatkan kesempatan emas untuk ketemuan kali ini. Tidak jika keduanya masih berada dalam radar pengawasannya.

*---*---*

Suara khas ustadz Syam terdengar menggema di langit-langit aula. Nida dan timnya baru saja selesai melakukan simulasi terakhir untuk sore ini. Kak Afra mengajaknya dan Ulya untuk melihat penampilan Hifzhil Qur'an. Jadi, di sinilah mereka berada, lengkap dengan Riza yang tak mau ditinggal sendirian di penginapan.

"Sekarang kategori berapa juz, Fa?" tanya Nida pada Hanifa yang sedari tadi memang stand by di aula dengan kamera miliknya. Mereka berdua memang diutus untuk meliput MTQ.

Hanifa menyerahkan kamera pada Nida, "10 juz, nih. Ini peserta terakhir kayaknya. Setelah ini kategori 20 juz."

Nida masih mengecek foto-foto yang diambil rekannya saat sebuah suara membuatnya tertegun. Tunggu, apa ia mengenal suara ini? Kenapa rasanya familiar sekali? Ia baru saja menurunkan kamera dan mengalihkan perhatiannya ke arah panggung saat Riza berbisik antusias, "Nid, itu Fatih!"

Mengernyitkan dahi, Nida memfokuskan pandangannya ke panggung. Sosok itu terlihat sangat tenang menjawab soal pertama yag diberikan dewan juri. Dan suara itu ... padahal sudah genap setahun yang lalu saat Nida pertama kali tertegun mendengar suara tenang itu dalam sholat. Tapi ternyata suara tenang menghanyutkan itu masih saja berhasil membuatnya tertegun takjub.

Nida mengangkat kamera, memfokuskan bidikannya pada sosok yang masih tertunduk teduh di atas mimbar. Gadis itu memposisikan tripod di depannya, lalu mengalihkan kamera ke mode video.

"Duh gitu tahu itu Fatih, langsung deh auto-video," ledek Riza iseng. Nida hanya mengangkat bahu sambil sibuk mengatur posisi kameranya.

"Fatih siapa, Za?" Tanya Ulya terdengar samar-samar setelah Nida berhasil memosisikan kameranya dengan tepat. Ia seperti terpaku pada sosok yang sedang ia rekam. Ia tak tahu jika suara tilawah seseorang bisa menghipnotis seperti ini. Bahkan sepertinya keriuhan yang sedari tadi bergaung di sekitar aula tak lagi terdengar.

"Shodaqallahul 'Azhim." Fatih mengakhiri bacaannya. Nida refleks mengangkat pandangannya dari layar kamera. Tepat saat ia melihat ke arah panggung, Nida menemukan Fatih yang tersenyum teduh dan mengangguk pelan ke arahnya.

Riza langsung meledek heboh dan menggodanya habis-habisan. Nida hanya bisa menutupi wajahnya yang terasa memanas dengan bundelan materi yang ia bawa.

"Wal musyariku ba'da, lidauri 'isyriina juz'an. Hilmi Mursyid Haytsami min ma'hadi Raudhatil Huffazh, falyatafadhol masykuran. (Dan peserta selanjutnya, untuk kategori 20 juz. Hilmi Mursyid Haytsami dari ponpes Raudhatul Huffazh. Kepadanya, kami persilakan)." Suara jernih Bang Akhyar terdengar yang disambut tepuk tangan meriah dari seisi aula.

Nida menghela napas panjang mencoba menetralisir rasa malu dan tersipu yang sempat menguasainya tadi. Mengabaikan suara ledekan di sekitarnya, Nida bergegas bangkit dan mengambil kamera.

Suara Bang Hilmi terdengar menjawab soal pertama. Juz 12, surat Yusuf. Tepat di halaman favorit Nida pula. Ia mengarahkan kamera mencari fokus. Berbeda dengan pembawaan Fatih yang menghanyutkan, suara Bang Hilmi selalu berhasil memberi kesejukan.

Nida mengamati hasil jepretannya yang fokus pada sosok Bang Hilmi dan mengaburkan latar di sekitarnya. Bang Hilmi layaknya focus of interest, objek yang meski tak menjadi objek utama, tapi bisa menarik perhatian dalam lanskap kamera. Bang Hilmi selalu sukses menarik perhatian orang di sekitarnya.

Autofocus. Nida bahkan curiga jika abangnya memang memiliki bakat penarik perhatian sejak kecil. Pembawaan yang tenang sekaligus tegas, membuat perhatian orang-orang tampaknya hampir senantiasa terpusat pada sosoknya.

Nida terkadang iri pada abang kandungnya itu. Bang Hilmi tidak perlu berusaha keras agar dihargai, apa pun usaha dan hasilnya pasti selalu dengan mudah mendapat apresiasi. Sangat jauh berbeda dengan dirinya, yang masih harus mengejar penghargaan dari orang-orang terdekat.

Gadis berkerudung hijau itu menghela napas pelan saat abangnya menyelesaikan bacaan. Barangkali ia memang harus lebih fokus pada apa yang ia lakukan dan ingin ia capai. Bukannya sibuk membandingkan penghargaan orang lain yang terasa tidak adil terhadap apa yang ia usahakan.

Author's Note :

Alhamdulillah, akhirnya sempet juga nulis bab 11 *sujud syukur. Maaf ya, para Reader setia DPC jadi pada lama nunggunya 🙏. Baru banget ini keluar dari tumpukan kitab dan kertas ujian. Hihi, harap maklum karena baru bisa update ya. InsyaAllah aku bakal luang agak lama, nih. Mohon doanya supaya DPC bisa rampung secepatnya.

Selamat Membaca ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top