1. Perbandingan Langit

Apalah arti bintang-bintang yang telah susah payah kuraih, jika pesonanya akan luntur oleh cahaya purnama milikmu?


Malam baru saja memulai tugasnya. Langit yang terbentang tanpa tepi nyaris tak dihiasi awan sedikit pun. Gemerisik daun dimainkan angin terdengar begitu tenang. Sayangnya setenang apapun simfoni alam yang ada di sekeliling, tampaknya tak memberi pengaruh berarti pada Nida. Airmatanya tak mau berhenti mengalir, sesekali ia menghela napas mencoba meredakan tangisnya. Tak pernah habis pikir kenapa orang-orang senang sekali mencari jurang perbedaan antara ia dan abang kandungnya.

Padahal, secara fisik aja kita udah beda. Bang Mi cowok, aku cewek! rutuk Nida dalam hati lantas mendengkus sebal. Seharusnya ia baik-baik saja dengan semua ini. Bukannya sejak dahulu memang begitu? Bukannya bertahun-tahun yang lalu juga sama seperti ini?

Jelas nggak, kali ini Buya kelewat kejam, sahut benaknya lagi pada pemikiran yang berusaha menjernihkan hati. Perkataan Kakeknya tadi entah bagaimana membuat benaknya kalut seperti ini. Nida mengayun-ayunkan kakinya yang menggantung di tepi gazebo.

"Dek,"

Suara lembut itu membuat Nida menundukkan wajah, berusaha menutupi sisa airmata di pipinya. Nida tahu abangnya sekarang sudah duduk di sampingnya. Hanya saja, entah kenapa rasanya begitu kelu meski hanya sekadar menyahut panggilan dari abang kandungnya itu.

Nida terkesiap saat sebuah tangan menyusut airmata yang tanpa sadar kembali membasahi pipi, "Sssh, udah. Nggak usah dipikirin, Nid. Kayak nggak tahu Buya aja," ujar Bang Hilmi sambil merangkul pundaknya.

Tanpa bisa ditahan lagi, Nida kembali terisak di bahu Bang Hilmi. Ia sungguh tak tahu kenapa malam ini terasa lebih perih dari sebelumnya. Rasanya, apa yang ia usahakan dua tahun belakangan hanya sia-sia. Persis seperti debu ditiup angin. Tak bersisa, apalagi berbekas.

"Tapi, Bang-" belum sempat kalimat utuh Nida ucapkan, airmata telah mengalahkannya. Bang Hilmi mempererat rangkulannya pada bahu Nida.

Nida menghela napas gemetar. Entah bagaimana, rasanya ucapan Buya tadi menggores sisi hatinya terlalu dalam. Buya berkomentar tentang pencapaian hafalan Nida yang amat-sangat-terlambat. Sekali lagi, menurut kacamata bijak Buya tentunya. Nyatanya, Nida masih menempati urutan tiga teratas pencapaian hafalan di angkatannya. Dan juga, pencapaian hafalannya sesuai target. Ya, sayangnya hanya sesuai, bukan melampaui.

Target itu pencapaian paling rendah dari sebuah prestasi. Kalo pas-pasan target, bukan prestasi namanya, tapi menghindari hukuman! celetukan Buya kembali terngiang di benak Nida. Ia memang tak terlalu menonjol seperti Bang Hilmi. Bahkan rapor SD-nya jauh dari peringkat-peringkat atas. Tapi, bukankah semua telah berbeda? Bukannya Nida juga telah berusaha semampunya?

"Harusnya, yang kayak gitu tuh ... kamu jadiin motivasi, Dek. Kan keren kalo kamu dapet piala dari Fahmil Qur'an misalnya. Kepintaran akademis kamu yang di atas rata-rata jadi lebih teruji nilainya."

Sebuah pukulan ringan Nida berikan pada bahu abangnya atas celetukan menyebalkan itu. "Terserah, tapi yang jelas Bang Mi belum pernah tembus olimpiade sampe provinsi, kan?" balas Nida sebal, mendorong bahu yang tadi ia jadikan tempat bersandar.

Bang Hilmi hanya tertawa kecil menanggapi perkataan Nida. Kerlip simpati di mata coklat itu selalu memancarkan ketenangan bagi siapa saja yang memandangnya. Nida mengalihkan pandangan pada hamparan bintang yang terlihat jelas dari tempat mereka duduk.

"Sebentar lagi purnama ...."

Suara di sampingnya kembali terdengar. Nida menoleh pada sorot mata berbinar Bang Hilmi yang tengah mengamati bulan dengan kagum. Ia lantas mengikuti arah pandangan jernih itu, menatap bulan yang belum sempurna sinarnya. Mereka berdua selalu senang berlama-lama menatap langit malam seperti ini.

Bagi Nida, bintang-bintang yang bertebaran masih jauh lebih memesona dibandingkan bulan penuh purnama. Dan sayangnya, saat bulan purnama bertengger manis di atas sana, kerlip bintang-bintang yang mengawalnya akan terabaikan begitu saja. Persis seperti prestasinya di hadapan Buya. Karena Bang Hilmi adalah purnama, sebanyak apapun bintang yang Nida kumpulkan tampaknya tak terlihat ada bagi Buya.

Nida menghela napas bergetar. Sesak itu menyelimuti hatinya, lagi. Ia tahu pencapaiannya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan prestasi milik Bang Hilmi. Dan, hei! Bukankah itu wajar? Abangnya telah menghabiskan tiga tahun penuh di sana. Dua tahun pertama Bang Hilmi menyelesaikan hafalan Qur'annya. Sedang satu tahun terakhir telah mewakili pondok mereka dalam ajang-ajang bergengsi. Dan apakah sebanding pencapaian abangnya yang amat luar biasa itu disandingkan dengan ia yang bahkan belum mencapai setengah kitab?

Sebuah tangan hangat mengelus sisi lengan baju Nida perlahan, "Apa sih, Dek? Kok kamu baper banget malem ini?" ujar Bang Hilmi heran sambil mengerutkan dahinya.

Ingin sekali Nida mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, tapi akhirnya ia hanya menggeleng enggan. Kesunyian mulai merambati mereka berdua.

"Udah, jangan diem-diem nangis lagi. Ntar kalo ketahuan Dzaki kena bully, loh," celetuk Bang Hilmi santai sambil menyandarkan badannya ke dinding gazebo.

Dahi Nida mengernyit. Bukan, ia bukannya heran dengan nama yang disebutkan Bang Hilmi barusan. Tapi apa korelasi Dzaki dan tangisannya? Memangnya si biang kerok itu tahu?

"Oy, Bang! Ngapain mojok di gazebo malem-malem?" Suara melengking khas sepupunya itu menjawab semua pertanyaan di benak Nida.

Sambil mendengkus sebal, Bang Hilmi menyahut, "Berisik amat sih, Ki!"

Nida ikut memutar matanya mendengar suara menyebalkan sepupunya itu, "Kapan si biang kerok nyampe, Bang?" tanya Nida dengan suara rendah.

"Tadi, abis sholat isya. Untung dia nggak ngelihat kamu kabur ke sini. Abis diinterogasi Buya dia. Gara-gara surat cinta kemaren," jawab Bang Hilmi ringan.

"Bang! Masih lama, nggak? Mau pinjem Nida-nya bentar nih." Si biang kerok itu. Sudahlah mood Nida sedari tadi berantakan, tambah kacaulah dengan kemunculannya.

"Mau ngapain, Ki? Seenaknya berduaan sama Nida. Emang mahrom?" ujar Bang Hilmi setengah meledek. Bang Hilmi tentu saja tak sungguh-sungguh mengatakannya, hanya saja tampaknya pergerakan si pembuat onar itu harus lebih diawasi sekarang. Dan pembicaraan rahasia dengan Nida, biasanya berakhir dengan segenap detensi yang menunggu di pondok nanti.

"Rahasia kecil, Bang. Ketua Imarah Thullab* nggak usahlah ngurusin urusan receh begini," tukas Dzaki santai.

Mengabaikan nada menyebalkan Dzaki yang berasal dari teras belakang, Bang Hilmi mencondongkan tubuhnya ke arah Nida, "Nid, sekali-kali kamu buang ke mana kek, surat-surat titipan si Dzaki. Capek tahu, ngadepin dia mulu di ruang sidang," bisik Bang Hilmi sebal.

"Bang tahu nggak, surat-surat dia tahun lalu tuh nggak ada yang nyampe ke anak putri. Aman terkendali sama Nida. Tapi sekarang ... tahu sendiri dia pacaran sama siapa."

"Ya, bisa kamu hasut, kan--"

"Hah? Hasut apaan Bang?" Si biang kerok tahu-tahu sudah muncul di hadapan Nida dan Bang Hilmi.

"Nggak. Heran aja gitu. Kok ada ya, anak putri yang mau sama cowok petakilan kayak ente," sahut Bang Hilmi mengalihkan topik.

"Cowok baik memang keren, Bang. Tapi badboy lebih memesona." Sosok menyebalkan di depan Nida nyengir lebar.

Mengernyitkan dahi, Nida berseru kesal menanggapi perkataan pede sepupunya."Dih ! Sampe detik ini aja ya, aku masih nggak habis pikir logikanya Riza dia taruh di mana waktu nerima kamu jadi pacarnya, Ki!" Nida membalas sengit.

Hubungan sahabat dan sepupunya ini benar-benar membuat ia susah. Bagaimana jika besok-besok Imarah Thalibah** tahu jika selama ini Nida jadi kurir surat terlarang? Bisa hancur reputasi santriwati berprestasi miliknya.

"Sewot aja sih, Nid. Ngenes jadi jomblo aja bilang."

Nida hanya memutar matanya sebal. Tak pernah ada percakapan yang benar-benar berbobot antara dia dan sepupu petakilannya yang satu ini. "Mau apa, sih? Lagi bete, nih. Kalo mau nitip besok aja, gitu nyampe pondok."

"Oke, oke ... kalo kamu tiba-tiba ngambek nggak mau nyampein juga nggak apa-apa. Aku bisa langsung ketemu --"

"Nggak! Enak aja," potong Nida tegas disertai tatapan sebal.

Dzaki hanya nyengir lebar tanpa rasa bersalah. Ingin rasanya Nida mengguyur sosok menyebalkan di hadapannya ini dengan seember es kristal.

"Udah, udah ... ke dalem, yuk. Ntar Ummah keburu nyariin kita nih," kata Bang Hilmi sambil bangkit dari duduknya. Nida dan Dzaki mengikuti masuk ke rumah.

Bang Hilmi dan Dzaki segera terlibat percakapan seru-entah-tentang-apa. Mungkin soal bola kemarin malam, yang jelas Nida tak paham topik obrolan mereka. Nida masih sibuk dengan pikirannya saat sebuah panggilan dengan suara khas itu membuat obrolan di depan Nida terhenti seketika.

"Mi! Jadi imam witir sini."

Nida melihat tubuh Bang Hilmi menegang sebentar, lantas sekilat jahil melintas di matanya.

"Hilmi tadi udah witir, Ummah. Abis isya," sahut Bang Hilmi dengan ekspresi senyam-senyum. Untung saja Buya tidak ada dan Ummah tidak memperhatikan.

"Oh, ya udah. Dzaki jadi imam witir, ya?" lanjut Ummah masih menyiapkan sajadah di mushola. Keluarga Nida memang membiasakan sholat sunnah witir sebelum tidur. Kalau sedang kumpul di rumah Buya seperti ini, sholat sunnah apapun biasanya dilaksanakan berjamaah, kecuali rawatib tentunya.

Dzaki meringis jeri. Tatapan matanya jelas-jelas tak setuju dengan sikap Bang Hilmi.

"Gantian, Ki sekali-kali," bisik Bang Hilmi lantas berlalu santai.

Nida hanya bisa menahan tawa melihat ekspresi Dzaki yang seperti akan dihukum berat, "Udah sana jadi imam, buruan!" ujar Nida sambil berjalan menuju kamar. Ia sedang dapat izin bulanan kali ini. Cukup menghibur melihat wajah panik Dzaki setelah semua kesesakan yang ia alami.

Langkah Nida terhenti di ambang pintu kamar di mana Bang Hilmi sedang asyik dengan gadget-nya. Nida mendengkus pelan, cowok dan game. Jangan salahkan mereka kalau sudah keasyikan dengan gadget hingga lupa segalanya.

"Oh, jadi udah witir ya, Bang?" sindir Nida. Dia jelas paham abangnya bukan tipe 'serajin' itu.

Bang Hilmi hanya tertawa kecil menanggapi, "Sekali-sekali gantian sama Dzaki, Nid. Masa tiap di rumah Buya abang mulu imamnya."

"Terus kapan witirnya?"

"Ini otewe witir," sahut Bang Hilmi nyengir sambil bergegas menuju kamar mandi yang terletak dalam kamar.

Nida hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah abangnya.

---------------
Catatan :
*Imarah Thullab/ **Imarah Thalibah : organisasi santri semacam OSIS tapi cakupan kepengurusannya lebih luas.

Diunggah pada : 1 Feb 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top