10 - Resto

Usai mengobati luka di tangan Olivia, Mahendra melirik sekilas. Kalau dipikir-pikir, penampilan Olivia sangat tidak cocok untuk dibawa ke restoran. Celana panjang longgar kusut dengan pakaian atas yang juga lusuh dan kotor. Meski paras dan kulitnya bersih nan cantik, tetapi berpakaian demikian juga tak enak dipandang.

Oleh karenanya, Mahendra mengemudikan mobil hingga berhenti di sebuah Mall terdekat. Memarkirkan mobil di area yang telah disediakan, lalu membukakan pintu mobil untuk Olivia serta menggandengnya saat berjalan masuk ke dalam.

Olivia dibuat tercengang, ada banyak orang berlalu lalang di sana, keramaian dan banyaknya benda-benda aneh yang sama sekali tak dikenal olehnya. Beberapa tempat, berkotak-kotak dengan patung yang mengenakan pakaian khas dunia ini. Ada juga pakaian dengan style yang biasa Hesti gunakan. Celana pendek longgar serta kaos putih saja.

Mata Olivia menatap kagum pada sebuah patung yang mengenakan gaun berwarna merah terang, ada pernak-pernik berwarna perak menempel pada bagian pinggang serta tampak hiasan permata di bagian dada. Lengan dari gaun tersebut juga pendek, tidak akan membuat penggunanya kerepotan dalam beraktivitas.

Tanpa disadari, langkah kaki Olivia sudah berhenti di tempat. Di depan patung yang mengenakan gaun tersebut dengan tatapan menginginkan. Mahendra yang menyadari itu ikut diam, melirik pada benda di pandangan si wanita.

"Itu gaun pesta, tidak cocok untuk dipakai ke restoran." Suara Mahendra membuat Olivia mengerucutkan bibir. Ia cemberut.

"Ya." Jawaban singkat dari bibir manis Olivia membuat Mahendra tak tega. Wanita itu menunduk dengan tatapan kecewa.

"Baiklah, aku bisa membelikan itu sebagai hadiah." Mendengar Mahendra mengatakan demikian, Olivia terkesiap. Menoleh ke arah Mahendra dan menatap pria itu dengan bahagia.

Lalu, ketika Mahendra kembali menggandeng tangannya untuk masuk membeli gaun tersebut, Olivia tidak menolak. Proporsi tubuh Olivia dibuat sangat mirip dengan manekin di toko, tampaknya Hesti sengaja demi membuat sang protagonis tampil sempurna secara fisik. Dengan sekali percobaan, gaun itu terlihat sangat pas di tubuh Olivia.

"Kau cantik sekali." Mahendra memuji dengan tulus.

Sedangkan Olivia, ia tertunduk dan tersipu karena malu. Niat hati, ia ingin memakai itu saat keluar dari toko. Ketidaktahuannya tentang beli membeli di sebuah Mall mengundang gelak tawa dari Mahendra. Dari pada dianggap sebagai seorang Ratu yang dewasa, kali ini Olivia lebih terlihat layaknya seorang gadis polos biasa.

Selain satu gaun, Mahendra juga memilihkan pakaian santai untuk Olivia yang jelas mendapat penolakan. Mahendra pikir, setiap wanita akan mau dibelikan celana pendek dengan kaos atau sweater seperti yang biasa adiknya pakai. Rupanya, tidak dengan Olivia. Hidup di keluarga kerajaan sebagai seorang Putri kemudian melompat menjadi Ratu membuat dirinya selalu berpakaian formal dan mengenakan gaun kecuali ketika dalam acara berburu. Mahendra baru tahu setelah dirinya teringat pada novel adiknya pada season satu.

Maka dari itu, Mahendra pun memilihkan sebuah mini dress santai dengan motif floral dan bagian lengan bahu mengembang. Olivia tampak menyukainya, ia mengangguk saat Mahendra menawari baju itu.

Terakhir, Mahendra berdiri di depan kasir dan menyerahkan barang yang menjadi pilihan. Membayar sejumlah uang lalu menerima dua gaun tersebut dalam sebuah bungkusan.

"Berapa koin emas yang harus kuserahkan padamu untuk baju-baju itu?" Olivia bertanya ketika mereka telah keluar dari area Mall.

"Memangnya kau memiliki koin emas?" Pertanyaan Mahendra membuat Olivia menggeleng pelan.

"Bukan tidak punya, tapi belum." Olivia menjawab, ia menampilkan wajah sedihnya.

Mahendra menghela napas. "Sudahlah. Lagipula koin kerajaanmu itu tidak akan berlaku di dunia ini. Ini hadiah untukmu," kata Mahendra sembari membukakan pintu mobil saat mereka telah tiba di area parkir.

"T-tapi ... mengapa kau memberiku hadiah?" Olivia tak segera masuk ke dalam mobil. Ia masih berdiri di samping Mahendra dan menatap pria itu untuk menuntut jawaban.

Sedangkan si lawan bicara, pria itu justru menggaruk tengkuk leher yang sesungguhnya tidak gatal. "Entahlah," jawabnya.

"Entahlah?" Olivia masih menanggapi dengan pertanyaan.

"Sudah-sudah, cepat masuk ke dalam. Perutku juga sudah lapar." Mahendra mengalihkan topik.

Keduanya kembali ke dalam mobil. Di perjalanan, Mahendra mampir ke sebuah kamar mandi umum; tadi lupa untuk mengganti pakaian Olivia di ruang ganti Mall. Sehingga memilih kamar mandi umum untuk berganti pakaian.

"Kau tidak memakai make-up?" Mahendra bertanya saat melihat Olivia sudah keluar dari tempat ganti.

"Apa itu make-up?"

"Riasan wajah."

"Apa yang bisa kau harapkan dari wanita yang baru keluar dari penjara akibat sebuah portal?"

"Ah iya, aku lupa kau dipenjara."

"Memangnya kenapa? Kau mau mengejek wajahku yang kusut dan buruk?"

"Tidak bukan begitu. Ternyata kau benar tak memakai riasan. Meski begitu, kau cantik. Sangat cantik dan terlihat natural."

Olivia terdiam. Lagi-lagi, ucapan Mahendra membuatnya harus memalingkan muka. Tersipu dan entah kenapa Olivia jadi merasa malu.

"A-aku tak akan bersimpati pada adikmu meski kau memujiku." Olivia anggap bahwa perkataan Mahendra adalah untuk mengambil hatinya tentang perkara tadi yang pria itu menginginkan ia untuk memaklumi Hesti atas segala tindakannya.

"B-bukan begitu maksudku. Dibanding di dunia ini di mana wanita cantik karena make-up, kau itu sangat cantik dan-"

"Aku lapar." Olivia memotong.

Benar. Terlalu banyak berdebat hanya akan memakan waktu lama hingga menjadi tak kunjung sampai ke tempat makan bernama restoran yang Mahendra janjikan. Oleh karenanya, mereka tak lagi banyak bicara. Sama-sama kembali ke mobil, masuk ke dalamnya dan melanjutkan perjalanan.

Mahendra menghentikan laju mobil saat sudah tiba di restoran yang sering ia kunjungi. Sekali lagi, mereka turun dan kembali bergandengan tangan saat masuk ke dalam.

Begitu tiba dan duduk di kursi yang Mahendra pilih, Olivia menatap ke sekeliling dan memerhatikan ruangan. Desain mewah dan tidak terlalu berbeda dengan ruang makan istana. Olivia juga jadi teringat bahwa ada bangsawan memiliki usaha yang sama. Tempat makan umum, ia baru tahu jika tempat seperti itu dinamakan restoran.

Satu pelayan pun kemudian datang, memberikan sebuah buku pada Mahendra dan Olivia. Dibukanya buku itu oleh jari lentik Olivia serta pandangannya yang kebingungan. Isi dari lembar demi lembar buku adalah gambar makanan yang terlihat sangat realistis. Bukan tampak seperti gambar dari tinta menggunakan tangan.

Olivia takjub untuk sesaat. Otaknya pun berkelana memikirkan banyak hal. Yang salah satunya adalah kejadian mirip dengan dirinya. Jika manusia saja bisa keluar masuk dimensi, mungkin makanan di dalam buku itu adalah makanan asli.

"Apa makanan ini akan keluar dari buku?" Pertanyaan Olivia mengundang tawa dari Mahendra.

"Tidak, Olivia. Itu hanyalah foto dari makanan yang disediakan oleh restoran ini. Kau harus memilih makanan seperti apa yang kau inginkan dengan menyebut nama makanan yang tertulis di sana." Mahendra menjelaskan dengan rinci. Masih merasa gemas atas kepolosan Olivia dengan raut wajah lucu akibat ketidaktahuannya.

"Foto?" tanya Olivia mengulang. Satu kata dari Mahendra itu tidak ia pahami.

"Kau ingat benda yang kutunjukkan saat pertama kali kita berjumpa?" Mahendra bertanya balik.

Tentu saja Olivia ingat. Mahendra datang memperkenalkan diri seraya menunjukkan sebuah benda kotak dengan lukisan mini yang sangat realistis. Bentuk lukisan kecil itu tampak persis dengan wajah Mahendra. Hal sama seperti buku yang menampilkan gambar makanan secara nyata.

Olivia mengangguk-angguk paham. "Berapa banyak makanan yang boleh aku minta?" tanyanya.

"Sebanyak mungkin yang kau bisa makan," jawab Mahendra dengan senyuman yang tak luntur di wajah.

Tidak diberikan asupan makanan dan minuman selama di penjara membuat nafsu makan Olivia meningkat. Apalagi setelah ia menyamakan pesanan dengan Mahendra dan pelayan menata segalanya di atas meja. Hidangan disajikan dengan cantik di atas piring menampilkan kesan menarik. Pandangan luar tidak menipu rasa. Lezat, itulah kesan Olivia saat pertama kali mencicipi.

Satu dua tiga piring telah habis. Melihat Olivia begitu lahap dan sepertinya belum merasakan kenyang, Mahendra kembali memesan. Suasana makan di tempat Mahendra pun menjadi sorotan pengunjung lain. Bagaimana tidak, ini sudah yang kesekian Mahendra melakukan pesanan.

Sesungguhnya, wajar saja tidak merasa kenyang. Porsi satu piring di restoran sebetulnya hanya setara dengan dua sendok. Mahendra membiarkan Olivia menikmati setiap hidangan dengan lahap. Ia sendiri hanya memerhatikan bagaimana wanita itu tampak sangat bahagia dengan pemberian sederhana darinya.

Setidaknya, sedikit hadiah kali ini mampu mengurangi beban penderitaan yang Olivia alami. Masalah selanjutnya yang harus mereka hadapi adalah ... Hesti.

.
.
.

| T B C |

'Little gift for a little happiness.'

❤️🌹❤️

- Resti Queen -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top