01 - Beginning
Tangisan mewarnai di sepanjang perjalanan Olivia Elizabeth Remessis, seorang Ratu di Kerajaan Wisteria yang harus lari dari kerajaan miliknya sendiri. Menunggangi kuda sembari menulikan telinga pada para pengikut setia yang bertarung mati-matian di belakang demi memberikan jalan kabur untuknya. Pengkhianatan yang dilakukan oleh sang adik tiri dalam konflik merebut tahta berujung pada perang saudara. Suami tercinta yang baru saja dinikahi dua bulan lalu pun turut menjadi korbannya.
Beberapa bangsawan juga banyak yang memihak pada sang adik -Raymond Veledic Remessis-, membantu melakukan pemberontakan untuk membuat pria itu naik tahta.
Olivia meringis, menangis, meraung di atas tunggangan sang kuda putih. Sambaran petir dan lebatnya hujan menjadi saksi pilu atas duka tak tertahankan dalam dada sang Ratu.
"Akh!" Ratu Olivia memekik kesakitan. Dadanya telah tertembus oleh panah dari belakang. Tak luput juga si kuda putih yang ikut terkena anak panah membuat si kuda meronta kesakitan. Olivia terjatuh dari atas punggung kuda yang tak bisa diam. Terbaring tak berdaya di atas hamparan tanah luas dengan kudanya yang telah berlarian.
"Cukup sampai di sini, Olivia."
Suara itu, suara yang benar-benar sangat Olivia kenali.
"K-kau biadab!" Olivia berseru patah-patah. Yang didapati oleh wanita itu justru adalah suara tawa menggelegar dari si lawan bicara.
"Malang sekali nasibmu, kakak tiriku yang manis." Lelaki itu berjongkok, memposisikan diri di samping Olivia yang tampak sekarat. "Kandunganmu sepertinya juga tidak baik-baik saja." Seringai yang ditunjukkan oleh Raymond membuat Olivia ngeri.
Benar. Jatuh dari atas punggung kuda dan menghantam tanah dengan kuat juga berakibat pada kandungannya. Apalagi panah yang sampai tertembus dari belakang ke bagian depan dada. Rasa sesak akibat kesulitan bernafas, rasa sakit akibat perutnya yang terasa seperti diremas, pendarahan yang membuat gaun putih kebesaran kerajaan itu berubah warna menjadi merah di bagian paha. Semua itu benar-benar membuat batin Ratu Olivia tersiksa.
Bugh!
Satu tendangan Olivia dapatkan. Dirinya tak mampu untuk membalas selain hanya meringkuk tak berdaya sambil memegangi perutnya yang menjadi incaran.
Sedangkan Raymond, pria dengan wajah jahatnya itu tengah menyeringai lebar sambil berdiri dan memandang rendah pada wanita yang tengah kesakitan tersebut. Raymond menikmati bagaimana dirinya kembali memberikan tendangan hingga sang kakak tiri terus berteriak memohon untuk dihentikan.
Raymond mana sudi untuk berhenti. Kematian dari janin yang dikandung oleh sang kakak adalah incaran. Jika Olivia sampai berhasil kabur dengan membawa anaknya, bisa-bisa rencana untuk menguasai kerajaan dan menghapus darah asli keturunan raja sebelumnya tidak akan berhasil sempurna. Maka dari itu, Raymond terus menyiksa Olivia. Memberikan tendangan demi tendangan, pukulan demi pukulan di wajah, dan siksaan dengan cambukan yang entah sejak kapan ia bawa.
Maka tepat ketika Olivia telah memejamkan mata karena kehilangan kesadaran, Raymond memerintah pada prajurit yang ikut bersama dengannya untuk membuang tubuh Olivia ke tebing yang berlokasi tak jauh dari sana.
Pada waktu itu, Olivia merasa bahwa ketika berhadapan dengan Raymond adalah akhir dari hidupnya. Kenyataannya tidak. Olivia hidup, tetap hidup dengan kondisi yang ... dirinya sendiri tidak dapat untuk menjelaskan.
Cahaya putih menyilaukan, ruangan yang aneh, dinding dan ubin dengan warna senada serta selang pada bagian tangan. Olivia merasakan ada sesuatu yang menempel pada bagian hidung. Itu seperti tutup toples kaca tempat menaruh manisan. Setengah bulat, tetapi ringan. Olivia bergerak, meraba benda itu dan melepasnya dengan perlahan. Tidak hanya pada bagian tangan, Olivia menyentuh philtrum yang di sana juga ada sebuah selang.
"Kau sudah sadar, Nona?"
Suara itu ... asing. Sama asingnya dengan orang yang bertanya.
Seorang pria dengan pakaian hitam berompi putih dan sebuah pipa panjang melingkar di leher memiliki dua batang besi di ujung.
Benda yang aneh.
Olivia hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Nona tidak seharusnya melepas alat bantu oksigen." Pria itu mengatakan hal yang tidak-tidak.
Alat bantu oksigen? Mungkinkah itu setengah bola yang mereka tempelkan pada bagian wajahnya?
"Saya perlu tahu keadaan Nona saat ini. Jadi, saya akan menanyakan beberapa hal." Si pria aneh terus berbicara sedangkan Olivia hanya mengangguk dalam diam.
"Apa yang Nona rasakan saat ini?" tanya si pria tersebut.
"Sakit."
"Di bagian mana?"
"Perutku."
"Bolehkah saya tahu keluarga Nona?"
Olivia terdiam. Raja dan Ratu Remessis sebelumnya telah wafat sejak lama. Suami tercinta pun tewas dalam perang saudara. Adik tiri yang merupakan saudara satu-satunya pun tak ada. Tidak, bukan tak ada, melainkan dianggapnya tak ada. Olivia tak sudi lagi menyebut pria jahat itu sebagai adik baginya.
"Aku ... sebatang kara." Olivia menatap kosong ke arah langit-langit ruangan.
"Kalau begitu saya akan memberitahu Nona bahwa ... kandungan -"
"Aku tahu!" Olivia buru-buru memotong. Tangisnya menetes mengingat kembali bagaimana dirinya mencoba melindungi sang buah hati dalam kandungan dari tendangan kuat Raymond yang kejam.
Olivia tahu bahwa dirinya memang tak memiliki harapan.
Seiring dengan kepala Olivia yang dipenuhi dengan banyak pemikiran, segerombolan pria pun datang, masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk dan tampak tergesa. Salah seorang di antara mereka, ketika telah tiba di samping brangkar Olivia yang terbaring, ia menunjukkan sebuah benda persegi, tipis dan licin. Mata Olivia membulat saat melihat adanya wajah berukuran kecil yang sama persis dengan wajah yang menunjukkan. Itu, lukisan mini.
"Kami dari departemen kepolisian. Dan saya adalah Detektif Mahendra yang akan menangani kasus Anda."
Kasus?
Olivia tak mengerti.
Pria bernama Mahendra di hadapannya itu dengan berani berbicara tegas terhadapnya. Lagi, ia juga tak mengerti dengan apa yang dimaksudnya.
"Siapa namamu, Nona? Kau tampak seperti orang asing." Hanya pertanyaan ini yang bisa Olivia cerna.
"Olivia Elizabeth Remessis."
Mahendra terkejut. Mulutnya menganga dan terdiam untuk beberapa saat. Tetapi berikutnya, Mahendra ke wajah semula. Tenang.
"Dari mana asalmu, Nona?"
"Kerajaan Wisteria."
"Jangan bercanda!"
Olivia terkejut dengan bentakan tersebut.
"Aku adalah seorang detektif dan rekan-rekanku di sini dari departemen kepolisian. Aku harap kau bekerja sama dengan kami dan mengatakan yang sejujurnya." Mahendra berkata, suaranya sedikit meninggi dibandingkan dengan tadi. Ia juga telah kehilangan formalitas.
"Aku Ratu Olivia Elizabeth Remessis dari Kerajaan Wisteria. Aku tidak berbohong dan telah mengatakan segalanya. Satu hal yang harus kau tahu, Tuan Detektif atau apalah itu. Raymond adalah pelaku dibalik percobaan pembunuhan terhadapku."
Mahendra tertawa. Apakah ia menganggap Olivia sedang bercanda?
"Nona, jangan membohongi kami karena ka-"
"Aku tidak berbohong," potong Olivia.
Mahendra tampak kesal, melempar beberapa lembar kertas di pegangan ke atas paha Olivia yang sedang terbaring. Lalu, pria itu berdiri dengan tegap, kemudian menunduk sedikit. Menatap tepat ke kedua mata Olivia dengan amat serius.
"Olivia Elizabeth Remessis tidak nyata. Ratu dari Kerajaan Wisteria hanya ada dalam novel berjudul Never Happy Queen karya Hesti Ratu."
Tidak nyata?
Dirinya tidak nyata?
Pada detik itu, Olivia diam termangu.
.
.
.
See you in the first chapter, soon.
🌹❤️🌹
- Resti Queen -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top