Part 2 - Ujian Hati
💗💗💗💗💗
Saat takdir tak sesuai dengan apa yang diharap. Bersabarlah, yakinkan pada hatimu jika takdir Allah itu penuh rahasia yang pasti akan membawa kebaikan untuk hamba-Nya.
💓💓💓💓💓
Meskipun raga berada di dalam kelas, pandangan tertuju pada papan putih yang telah berisi tulisan. Sepertinya tiada berguna, ketika pikiran malah melalang buana meratapi nasib hati. Suara apapun tak terdengar, karena telinga seakan tuli dan juga membutakan mata untuk melihat sekitar.
Sembilan puluh menit berlalu begitu cepat. Lamunan tersentak oleh bulpoin yang jatuh tepat di tanganku. Aku menoleh ke kanan, benar saja telah berdiri seseorang yang membuatku terkejut. Kok, nih anak udah main nongol di sini? Aku memandangnya heran hanya sebentar. Lalu Mataku menyisiri ruangan. Loh, pada ke mana? Kok udah sepi gini?
"Udah pada pulang. Kayaknya ngelamunnya asyik banget, tuh. Sampai-sampai nggak nyadar kelas udah berakhir. Belajar di mana?"
"Ish, apaan, sih. Pertanyaan nggak bermutu," ucapku seraya memasukkan buku dan alat tulis ke tas.
"Emmm lebih bermutu ngelamun dong dari pada belajar."
"Bisa diam, nggak?" Aku menoleh ke arah Firman dengan kesal lalu menghentakkan kaki saat posisiku telah berdiri sempurna, barulah setelahnya aku melangkah keluar kelas.
"Udah sadar, Fik?"
Langkahku yang tadinya cepat dan telah mendahului beberapa mahasiswa, langsung menghentikan langkah. Menoleh ke arah sarah yang tampak cengar-cengir. "Ish, kamu nih, Sar. Tega amat ama temen sendiri. Malah ditinggal sendirian di kelas."
"Hehehe sorry, Fik. Aku nggak tega mau bikin kamu terkejut. Keliatan mendalami gitu dalam lamunan yang indah. Emm, tapi sebenarnya aku juga agak takut, sih. Waktu liat kamu senyum-senyum sendiri. Tak lama setelahnya, raut wajahmu berubah sedih. Aneh, kan? Makanya begitu dosen keluar aku langsung ngacir."
Kakiku seakan menempel kuat di lantai. Mendengarkan penjelasan Sarah yang sulit kupercaya. Benarkah aku sampai seperti itu? Kenapa aku jadi seperti orang gila? Ah, ini semua gara-gara kamu Keviiin.
Tanpa minat mengatakan sepatah kata pun, aku langsung melanjutkan langkah. Gara-gara keasyikan mengingat kenangan sama kamu sejak pertemuan pertama kita hingga kejadian kemarin. Rasanya aku seperti orang tak waras. Iiihhh, sebel, sebel, sebel, gerutuku dalam hati seraya semakin mempercepat langkan.
"Fik, Fika!" Aku menoleh ke belakang saat mendengar ada yang memanggil, padahal aku baru akan memakai helm.
Tanganku yang tadinya siap terangkat, urung. "Ada apa, San?"
Laki-laki berkaca mata dengan rambutnya yang panjang sebahu tampak mendekat.
"Rumah kamu dekat, kan dengan rumah Kevin?"
Aku mengangguk ragu. Mendengar nama Kevin disebut saja, mendadak hati berdebar kencang. Meski debarannya tak sekencang dulu, tetap saja menjadi pertanda jika hatiku belum move on darinya.
"Aku nitip ini, ya. Berkas penting, nih. Sebenarnya aku tadinya mau langsung ke rumah Kevin. Tapi, aku harus ke rumah sakit sekarang."
Keningku sontak berkerut mendengar kalimat Ahsan. "Siapa yang sakit?"
"Mamaku minta anter chek up."
"Oh iya, iya."
"Boleh, kan titip?"
Bibirku tersenyum lalu menganggukkan kepala. Meski sebenarnya untuk sementara aku tak ingin bertemu dengannya. Namun, apa boleh buat, takdir sepertinya belum sesuai dengan harapan hati.
Sepeninggal Ahsan, aku menghirup napas cukup dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Melihat ke arah dokumen bersampul biru yang harus aku serahkan kepadanya. Dia, laki-laki yang sukses membuat hatiku porak poranda. Dia, laki-laki yang membuat pikiranku sering hanyut dalam lamunan.
Cinta, oh cinta. Kenapa kau hadir? Jika nyatanya bukan dialah yang ditakdirkan untuk hidup bersamaku? Lagi dan lagi pikiranku bertanya-tanya tanpa bosan. Padahal tak pernah ada yang menjawabnya.
"Belum pulang?"
"Huh, kamu lagi. Kamu lagi. Bisa nggak, sih muncul tanpa ngagetin. Tiba-tiba nongol aja. Kayak hantu kecoak."
Tawa Firman langsung pecah memekik telinga, membuatku tanpa pikir panjang memukul mulutnya dengan dokumen yang sejak berada di tanganku.
Tawa Firman pun seketika lenyap. "Cewek, kasar amat. Untung sayang," ucapnya menggerutu kemudian berlalu dari hadapanku.
"Apa kamu bilang?"
Firman tampak tak pedulikan omelanku. Ia terus melangkah, tanpa sekalipun menoleh ke arahku.
Kalau kamu memang cinta sama aku, kamu akan noleh ke arahku, Fir, batinku seraya melihat punggung Firman yang gagah, harap-harap cemas dengan tebakan yang serupa dengan komunikasi batin.
Benar saja, beberapa detik kemudian ia menoleh. Aku pun langsung menunduk dan tiba-tiba merasakan kehangatan di pipi.
---***---
Begitu sampai di depan rumah Kevin, aku turun dari motor dan langsung menuju gerbang yang masih tertutup rapat. Ketika berniat akan memencet bel, tangan seketika terhenti saat netraku melihat sesuatu yang mencubit hati.
Huh, pemandangan inilah yang ingin kuhindari. Kenapa yang ada malah melihatnya secara jelas? batinku kesal saat melihat kemesraan sepasang pengantin baru, berhasil memporak-porandakan hatiku yang tadinya adem ayem.
Pandanganku sontak berpaling. Ingin rasanya urung tak menemuinya. Namun, jika aku urung, bukankah akan memberikan peluang lagi untuk hati ini tersakiti.
Sudahlah, Fik. Toh udah terlanjur kelihatan. Udah sono cepetan temuin Kevin, biar cepet beres dan kamu pulang dengan tenang. Hati kecilku memberikan masukan, membuatku langsung menghirup napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.
Setelah merasakan hati ini cukup tenang. Aku langsung menekan bel tanpa menoleh lagi ke arah teras rumah Kevin.
Sengaja aku menunduk saat mendengar ketipak langkah yang semakin keras tertangkap oleh runguku.
"Fika." Laki-laki yang kini tepat berdiri di balik pagar tersenyum, membuatku tak ada pilihan lain untuk tak membalas hal serupa. Meski aku melakukannya dengan memaksa mati-matian agar bibir ini tertarik ke samping.
Gerbang terbuka, aku pun langsung menyodorkan dokumen bersampul biru. "Ini dari Ahsan, Vin. Aku langsung pamit, ya."
"Loh, kok buru-buru, sih. Ayuklah mampir dulu."
"Siapa, Sayang?" Suara wanita terdengar cukup keras.
"Ini ada Fika, Sayang."
Oh Tuhaaan, apalagi ini, batinku berkecamuk. Hatiku semakin tersayat oleh sembilu. Bolehkah aku protes? Jika panggilan sayang itu seharusnya aku yang berucap?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top