Part 1-Patah


Assalamualaikum Sahabat Pembaca.
Aku bawa Cerita baru nih.

Yuk Ramaikan.

Doakan ide lancar, mood baik terus ya.😊

HAPPY READING

💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗

Belum juga jerit luka hati ini membisu, malah datang tawaran cinta yang baru.

💗FIKA💗

Sepasang raja dan ratu tampak begitu serasi duduk bersanding di pelaminan. Bibir ini sudah kudesak untuk menyungging senyum. Namun, terasa bergetar dan kaku. Kuhela napas cukup panjang, berusaha melonggarkan dada yang masih saja sesak.

Ya Allah ... ternyata mengikhlaskan itu tak mudah. Tapi aku harus kuat, dalam hati tak henti-hentinya aku terus menyemangati diri.

Sahabat yang telah lama kucinta, kini tengah bersanding dengan wanita pujaan hatinya. Aku harus ikut berbahagia, meski bersembunyi dalam luka. Biarlah luka ini aku merasakannya sendiri jangan sampai dia tahu.

Aku diam termenung, mengingat kejadian tempo hari.

"Fik ... Fika. Kamu suka nggak sama cincin ini?" tanya Kevin yang saat itu menemuiku di taman kampus.

Mataku sontak melotot, terpaku dalam kekaguman saat mendapati sebuah cincin dengan permata biru yang sangat menawan. "Su-suka banget, Vin."

"Alhamdulillah." Kevin tampak tersenyum bahagia, helaan napas keluar dari mulutnya.

Aku terdiam dengan penuh banyak tanya dalam pikiran. Kenapa respon Kevin demikian? Mungkinkah cincin ini untukku? Hah ... apa mungkin Kevin mau melamarku? Apakah itu berarti dia memiliki perasaan yang sama? Huaaa! Aku menjerit dalam hati, pasti akan bahagia banget kalau itu semua benar adanya.

"I-ini cincinnya buat aku, Vin?" tanyaku ragu-ragu. Lalu aku menggigit bibir bawah, menunggu jawaban Kevin.

"Hehehe bukanlah. Ini tuh, buat Hani. Kalau kamu suka, pasti dia bakalan suka, kan?"

Bagai tersambar petir di siang bolong. Harapan yang telah menjulang tinggi, kini serasa dibanting hingga sehancur-hancurnya. Hatiku remuk, perih menyayat dari kesakitan yang sangat.

Sampai sekarang luka itu masih saja menyayat hati. Apalagi melihat dua insan yang tampak begitu mesra. Ingin sebenarnya aku berlari untuk pulang sekarang.

"Woi! Malah melamun."

"Astaghfirullah. Firman!" bentakku pada laki-laki berkaca mata yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Hehehe. Mau enggak kayak mereka?" Firman mengkode dengan pandangannya ke arah Kevin dan Hani.

"Maksud kamu?"

"Aku akan datang nanti malam untuk melamar kamu, jika kamu mau."

"Nggak lucu, Fir."

"Aku serius, Fik."
Aku pun akhirnya menoleh, menelisik wajahnya yang memang kini menatap serius ke arahku.

Lagu "ketika cinta bertasbih" mengalun merdu. Menyadarkanku dari saling pandang dengan laki-laki yang tiba-tiba mengutarakan keseriusannya.

🎶🎵🎶🎵

Bertuturlah cinta mengucap satu nama
Seindah goresan sabda-Mu dalam kitabku
Cinta yang bertasbih mengutus hati ini
Kusandarkan hidup dan matiku pada-Mu

Bisikan doaku dalam butiran tasbih
Kupanjatkan pintaku pada-Mu Maha Cinta
Sudah di ubun-ubun, cinta mengusik rasa
Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit

Ketika cinta bertasbih, nadiku berdenyut merdu
Kembang-kempis dadaku merangkai butir cinta
Garis tangan tergambar, tak bisa aku menentang
Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta

Akankah aku mampu mengisi dengan cinta lain? Disaat hati ini masih perih oleh luka kecewa atas harap yang tak mungkin menjadi nyata?

Saat ini, aku tak lagi bisa melontar satu kata pun untuk menjawab. Dengan bibir yang masih mengatup rapat, aku berusaha tak menghiraukan kata-kata Firman yang berhasil mengusik pikiran. Kaki ku pun memilih pergi, tak pedulikan laki-laki itu yang terus memanggil.

---***---

Di bawah naungan pohon besar, aku memilih duduk di bangku panjang seorang diri. Memang, aku di tempat ini tak murni sendirian. Banyak teman-teman yang lain bergerombol di tempat-tempat tertentu. Meneduh dan bercengkrama di taman kampus, memang menjadi favorit kebanyakan mahasiswa di sini.

Ungkapan Firman kemarin, sukses mengusik hati. Tanpa kujawab, aku menghindar darinya. Chat dan telepon dari dia pun tak kuhiraukan. Terkejut dan bingung, itulah yang aku rasakan sampai sekarang.

"Ehm."

"Allahuakbar," ucapku sedikit berjingkat saat tiba-tiba ada sosok laki-laki berdehem dan berdiri tak jauh dari tempatku duduk.

"Kayaknya asyik banget melamunnya. Ngelamuni aku ya?" tanya Firman lalu terkekeh, tanpa izin langsung duduk di sampingku.

Aku pun bergeser lebih menepi. Meskipun sebenarnya telah ada jarak di antara kami.

"Ish. PD amat," gerutuku sama sekali tak lagi melihat ke arahnya. Entah kenapa, kehadiran Firman kali ini membuatku kesal. Padahal biasanya jika kita bertemu selalu saja bercanda dan membuatku bahagia dan tertawa.

"Maaf, bila apa yang aku utarain kemarin itu mendadak dan membuatmu terkejut. Tapi itu semua beneran, Fik. Aku sudah tak kuat menahan rasa ini lebih lama lagi," ujar Firman terdengar begitu serius.

Aku melirik ke arahnya, tetapi langsung mengalihkan pandangan lagi. Karena melihatnya menatapku intens.

Aku yang merasa rahasiaku terkuak tanpa pernah memberitahu, hanya bisa diam. Tak ingin mengelak, karena itu berarti berbohong. Kurasa tak ada gunanya lagi perasaan ini disembunyikan. Toh, sudah ketahuan tanpa kukatakan.

"Tak usah memaksa untuk bisa move on, Fik. Jalani saja hari-harimu seperti biasa, tanpa beban pikiran dia yang telah kini menjadi ...." Firman sepertinya sengaja memotong ucapannya saat aku menoleh.

"Pelan-pelan tapi pasti. Saat kenangan itu berkelebat, enyahkan dengan kesibukan lain. Bisa dengan istighfar atau zikir yang lain. Konsistenlah menyebut nama dia Sang Pemilik Cinta saat kegelisahan melanda hati. Insya Allah Dia-lah yang akan membantumu keluar dari perasaan yang kini tak pantas lagi bersarang di hatimu. Laa haula wa laa Quwwata illa billahil'aliyyil 'adzhiim."

Di saat tak terdengar lagi Firman berbicara. Setelah menghela napas cukup panjang, aku pun berucap, "Makasih, Fir atas nasihatnya. Insya Allah akan aku laksanakan yang kamu sarankan tadi. Tapi, maaf ya, Fir--"

"Aku tidak akan memaksa perasaanmu terbuka saat ini untuk membalas apa rasaku, Fik. Tapi setidaknya, kamu mau memberikan kesempatan dan jangan halangi aku untuk mencintaimu, Fika. Bisa, kan?"

Kembali kuhela napas, dengan bibir tersenyum kaku aku menganggukkan kepala.

Aku tak berhak melarang seseorang untuk mencintai. Apalagi, Firman adalah sahabat baikku yang selama ini tak segan menasihati ketika diri khilaf, meski dengan nada bercandanya yang khas. Dia adalah laki-laki salih, aku tak pantas jika langsung menolaknya hanya karena patah hati yang masih terasa sakitnya.

Jam di pergelangan tanganku kini menunjukkan angka 08.10. Masih dua puluh menit ada kelas. Kuembuskan napas dari hirupan cukup panjang. Lelah, pikiran ini seakan lelah dengan apa yang telah terjadi. 'Belum juga jerit luka hati ini membisu, malah datang tawaran cinta yang baru.'

Firman telah meninggalkanku sepuluh menit yang lalu. Bosan duduk sendiri, kurogoh ponsel yang sejak tadi tersimpan di tas. Berkelana di dunia maya, menjadi kebiasaanku saat merasa jenuh atau kesepian tanpa hadirnya teman.

Biasanya saat jam kosong begini. Aku duduk bersama Kevin karena memang kami adalah teman sekelas. Sedangkan Firman dan Hani beda kelas, meski kami semua dengan jurusan yang sama.

Setelah bosan stalking medsos. Aku pun menulis sebuah kata.
[[Cinta, membingungkan]]

Langsung aku posting di wallpri. Tak lama status itu terpajang di berada FB yang aku setting hanya kepada teman, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi.

'Ih, tuh anak malah komen. Katanya tadi ada kelas' gerutuku, sedikit jengkel melihat nama Firman yang muncul.

"Apapun tulisan kita, mencerminkan jati diri."

Degh, hatiku sontak tersentil membaca komen laki-laki itu. Tak mau berlarut-larut dengan rasa kesal. Aku pun langsung memasukkan ponsel ke tas, lalu beranjak menuju kelas.

Namun, baru beberapa langkah kaki ini mengayun. Tiba-tiba seseorang memanggil. "Fik, dipanggil Pak Yusuf ke ruangannya."

"Ish, ada apa lagi, sih?" gerutuku pelan lalu mengangguk. Memaksakan bibir tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG

Gimana Part pertama ini?

Pak Yusuf siapa ya?

Lanjut nggak Nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top