Bab 15. Liburan?
Tuh, yang kemarin minta foto Rayyan. Ze kasih. Kurang baik apa lagi coba? 🤣🤣
Happy reading, gessss!
•
•
•
Savana sedari tadi hanya diam, menatap suami fiksinya yang tengah melahap makanan. Ada banyak pertanyaan yang berkeliaran di benak Savana. Tadi, saat mereka baru tiba di rumah, Jonas mengatakan kalau mereka berdua akan liburan.
Sebenarnya, bukan Savana tidak ingin pergi liburan. Namun, ada hal yang membuat dia enggan pergi dan terus kepikiran. Tentang pantai dan kejadian di dalamnya.
Savana ingat betul, ketika Jonas mengajaknya ke pantai untuk memperbaiki hubungan yang retak karena orang ketiga, mereka berdua kembali mengalami kejadian yang membuat Savana putus asa. Rasanya ia ingin mati saja saat melihat Jonas melakukan hubungan intim dengan Laura.
Lalu, Savana melakukan hal yang membuat Jonas murka. Savana mendorong Laura hingga wanita gila itu terjatuh dan terluka. Bukan hanya sampai di situ. Untuk pertama kalinya, Jonas menampar Savana hanya karena membela Laura.
Savana jadi berpikir, apakah hal itu akan terjadi? Kalau iya, maka Savana harus membuat Jonas selalu bersamanya. Ia tidak boleh membiarkan pria itu pergi tanpa dirinya. Savana harus menjaga hubungan mereka.
Sejak plot cerita ini berjalan tidak sesuai dengan cerita aslinya, Savana sudah berpikir bahwa hal ini terjadi karena ia memang harus memperbaiki hubungan pernikahan antara Jonas dan Savana yang hancur sebelum akhirnya Jonas pergi untuk selamanya karena ulah dua medusa.
"Fan!"
"Eh, iya, Mas?" Savana menatap Jonas dengan kening berkerut.
"Kamu kenapa malah bengong?" Jonas menyentuh permukaan wajah Savana, lalu mengusapnya pelan sebelum kembali berkata, "Apa yang kamu pikirin? Kamu ... enggak suka sama rencana aku yang ngajak kamu liburan ke pantai?"
Savana menatap Jonas, dengan cepat ia menggeleng. "Bukan gitu, Mas." Duh ... Savana jadi tidak enak karena sudah membuat Jonas berpikiran seperti itu. "Aku ... kamu ... kita—"
"Apa, sih?" Jonas terkekeh. Dicubitnya pipi Savana gemas hingga membuat gadis itu meringis meminta dilepaskan. Sakit, Bambang! Memangnya Savana anak kecil? Main cubit-cubit aja. Padahal kan Savana tidak salah apa-apa. Lagian, Savana kan tadi belum selesai bicara.
"Aku belum selesai bicara, ih!" kesal Savana sembari menarik diri, menjauh dari Jonas.
"Aduh, jangan ngambek, dong, Yang." Jonas menarik Savana hingga ia masuk ke pelukan pria itu.
Kening Savana berkerut, siapa yang ngambek, sih? Dia itu kesal, yah. Bukan ngambek. Ya jelas Savana kesal. Bagaimana tidak kesal coba? Dia belum selesai bicara, terus pipinya dicubit. Apa pria itu tidak memikirkan bagaimana perasaan pipinya yang imut bin cute ini?
"Aku gak ngambek, Mas. Aku itu kesel sama kamu. Orang aku belum selesai bicara malah main potong terus nyubit pipi aku. Mana keras banget pula. Dasar enggak berperikepipian!"
"Loh? Kenapa malah bahas pipi, sih?" Jonas terbahak. "Kamu ada-ada aja."
Lagi, Jonas mencubit kedua pipinya, lalu mengecupnya. "Boleh gigit pipi kamu, gak?"
GILA!
"Pipi aku bukan donat, Mas!" Savana menatap Jonas horor. Kayaknya mata Jonas ini perlu diperiksa, deh. Masa pipinya mau digigit? Dia kelaparan atau gimana? "Mas mau makan?" Savana jadi khawatir kalau Jonas memang lapar, terus menjadikan pipinya sebagai santapan.
Bukannya menjawab, Jonas justru terbahak. "Yang, aku, tuh, gemes sama kamu. Bukan mau makan pipi kamu."
Oh, begitu? Jadi Savana hanya salah paham? "Gitu, yah? Aku pikir kamu mau makan pipiku."
"Aduh, istrinya Jonas ini kenapa lucu sekali, sih?" Jonas berujar sembari mengacak rambut Savana. "Oh, iya, kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu kenapa daritadi bengong?"
Ah, iya! Nah, kan. Gara-gara perihal pipi Savana jadi lupa mau menanyakan hal yang ingin ia tanyakan sejak tadi. Berdehem pelan, kemudian Savana berucap,
"Kita liburan ... cuman berdua, 'kan?" Savana bertanya hati-hati, takut kalau membuat Jonas marah. Kalau dia marah, nanti Savana harus mengeluarkan air mata lagi, terus dipeluk lagi, dicium lagi. Kan mereka tidak punya hubungan apa-apa karena Savana bukan tokoh aslinya. Dia hanya seorang gadis pemalas yang bertransmigrasi ke tubuh Savana Payoda.
Jonas mengangguk, lalu mengecup kening Savana hangat. "Iya, dong. Memangnya kamu mau ngajak siapa? Arvi?"
Tanpa sadar, Savana mengembuskan napas lega. Lega banget rasanya ketika Jonas mengatakan bahwa mereka hanya akan pergi berdua. Itu artinya, peristiwa yang terjadi di novel asli tidak akan terjadi padanya. Semoga.
"Ya, enggaklah." Savana tertawa sembari memukul bahu Jonas pelan. "Aku ... cuman nanya aja."
Sekarang, Savana bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus memikirkan kejadian yang membuatnya takut itu. Namun, sepertinya Savana melupakan satu hal.
Ah, sial! Bagaimana Savana bisa melupakan hal itu? Jika di novel asli tokoh utama tidak jadi terkena sial, maka kesialan lain yang akan menggantikan. Dan sialnya, ia tidak tahu kesialan apa yang akan menantinya nanti.
Menghela napas panjang, Savana berkata, "Ya, udah, Mas, aku nyiapin baju-baju kita dulu. Berangkatnya besok, kan?"
"Iya, Sayang."
Setelahnya, Savana beranjak dari sisi Jonas menuju lemari. Namun, pikiran terlempar pada kejadian beberapa hari lalu saat ia gagal berbicara dengan Arvi.
Ah, Arvi. Savana belum meminta maaf pada laki-laki itu. Bagaimana kabarnya sekarang, yah? Apa Savana harus menelepon dia, lalu meminta maaf? Atau ... Savana meminta Arvi datang ke sini besok pagi sebelum mereka berangkat?
Tapi ... Savana tidak yakin kalau ia akan bangun pagi. Kalau Jonas, Savana rasa pria itu tidak akan membangunkannya pagi-pagi buta. Katanya, sih, dia tidak ingin mengganggu tidur Savana.
Savana jadi rindu suara enyak. Enyak Hindun apa kabar, yah? Apa beliau baik-baik saja? Ah, Savana jadi ingin segera bertemu dengan Arvi, lalu membicarakan hal yang selalu tertunda karena ada saja kesialan yang menimpa.
"Em, Mas?" Savana memanggil, membuat pria yang tengah memainkan ponsel itu menoleh.
"Iya?"
"Besok pagi, kalau kamu bangun lebih dulu, bangunin aku, yah?" Savana berjalan, sembari mencepol asal rambutnya. "Aku mau bicara dulu sama Arvi. Ada hal penting yang harus bicarain sama dia." Kemudian gadis itu mengambil posisi duduk di samping Jonas.
"Bicara apa?" Jonas bertanya, lalu meletakkan ponselnya di nakas dan beralih mendekap istrinya dari samping.
Aduh! Savana lupa menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Maka dari itu ia bergeming beberapa saat untuk memikirkan jawaban yang tepat.
"Oh, itu, Mas. Jadi aku minta tolong sama Arvi buat ... ngambil buku catatan aku sama Zena. Dan kata Arvi, besok dia kasih buku itu. Jadi, sebelum kita berangkat aku mau ketemu Arvi dulu. Soalnya ... buku catatan itu kan penting banget."
"Kenapa bisa ada sama Zena?"
"Ketinggalan, Mas. Waktu itu aku ke rumahnya Zena dan enggak sengaja ninggalin buku itu. Udah bertahun-tahun aku nyari enggak ketemu. Terus beberapa hari yang lalu Arvi bilang buku catatan aku itu selama ini ada di rumah Zena. Dan baru kemarin diambil Arvi."
Jonas mengangguk. "Oh, ya, udah. Nanti aku bangunin kalau aku bangun duluan. Sekarang kita tidur."
Savana mengembuskan napas lega. Ia berdoa, semoga saja apa yang Savana harapkan terwujud. Lantas gadis itu berbaring di samping Jonas, hingga tak lama kemudian berlabuh ke alam mimpi.
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
16.10.2020.
Enggak tau gimana bab ini. Apa masih dapat humornya atau justru sebaliknya, Ze enggak tau. Ngomong-ngomong, Ze belum cek typo. Jadi, harap maklum, yes🤣🤣🤣🤣
See u next chapter.
Ze sayang kaleannn💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top