Bab 14. Gara-gara Bumer!
Vitamin lagi, gessss. Sekarang, aku doyan ngasih vitamin buat nyegerin mata kalian sebelum baca.
Happy reading, gessss!
•
•
•
"Empat puluh lima menit lewat dua puluh lima detik. Lo udah buat gue nunggu selama itu."
Savana berdecak. Laki-laki di hadapannya ini vampire atau gimana, sih? Kok enggak punya hati. Baru datang bukannya dikasih minun sambil dikipasi, eh malah dikasih omelan. Memang, ya, Arvi ini titisan Enyak Hindun. Hobinya kalau enggak marah, ya, ceramah.
"Gue baru datang, Vi. Lo gak liat gue ngos-ngosan gini?"
Arvi menatap Savana dengan tatapan meneliti, kemudian laki-laki itu berdecak sebal sebelum akhirnya berkata, "Berapa orang yang nyaris lo tabrak?"
De javu. Savana merasa familier dengan pertanyaan macam ini. Tapi, kapan, yah? Kenapa Savana mendadak lupa ingatan?
"Malah bengong!"
"Ah, entaran dulu, ya, Vi. Gue mau sungkeman dulu sama suami." Savana beranjak dari kursinya. "Lo tunggu di sini, enggak usah ikut!"
"Lo, tuh, yah! Kebangetan banget. Datang telat bukannya minta maaf, malah pergi lagi."
Bodo amatlah, mau Arvi marah-marah, teriak macam penghuni rumah sakit jiwa, atau macam mantan yang minta balikan. Savana tidak peduli, ia harus segera menemui Jonas dan meminta maaf karena meninggalkan mama, sebelum wanita medusa itu mengadukannya.
Savana yakin, kalau dia sampai kalah start, Jonas akan marah dan mereka akan bertengkar. Hais! Savana kan enggak mau berantem sama si ganteng. Kalau dia terlalu sering berantem sama Jonas, apa bedanya Savana di novel asli sama Savana yang ini?
"Mas, aku ma—"
"Kenapa kamu ninggalin mama?" Aduh! Savana kalah start. Dasar medusa, sukanya ngadu domba. Enakan juga sapi daripada domba. Dagingnya lebih banyak. Secara sapi kan besar.
"Kamu kan tau kalo aku punya janji sama Arvi. Kasian dia. Dia udah nunggu aku nyaris satu jam, kalau aku masakin mama rendang dulu, dia bisa marah." Pokoknya, Savana harus bisa menjelaskan pada Jonas. Jangan sampai, deh, mereka bertengkar karena ulah mertua.
"Jadi kamu lebih peduli sama Arvi daripada mertua kamu sendiri? Fan! Mama aku itu mama kamu juga. Kamu harus tau itu. Enggak bisa kamu seenaknya pergi hanya karena ada janji sama Arvi. Dia itu Arvi! Sahabat kamu, bukan saudara kamu. Beri dia pengertian. Dia bakal paham, kok. Gak perlu kamu ninggalin mama yang bahkan belum nginjak pelataran rumah."
Ya ampun ... suami tampan ini ternyata bawel sekali, yah? Lebih bawel dari emak-emak yang kehilangan tutup tuperware. Heran. Padahal kan dia tahu kalau Savana itu orangnya enggak enakan. Apalagi ia sudah buat janji, telat pula. Masa main batalkan? Di mana letak hati nuraninya?
"Mas, aku ke sini bukan mau denger ceramah kamu. Tapi, aku mau minta maaf. Aku mau bilang aku ninggalin mama karena harus ketemu sama Arvi. Seharusnya, kamu paham dong. Kamu selalu aja, gitu. Kamu enggak pernah buka telinga buat dengerin aku. Kamu selalu nyalahin aku. Mas, aku ini istri kamu. Aku manusia, Mas. Aku punya hati. Aku juga tau mana yang baik dan mana yang bukan. Kalau aku enggak ada janji sama Arvi, dan Arvi enggak nunggu aku daritadi, aku bakal tetap di rumah kok. Nemenin mama. Masak makanan kesukaan mama."
Dada Savana naik turun. Rasanya ia kesal sekali. Ya, salah Savana juga, sih. Kenapa ia harus menciptakan karakter macam Jonas ini. Tapi, kalau enggak ada karakter macam itu nanti bakalan enggak ada konflik dong. Savana berulah, Jonas anteng saja sambil nyeruput kopi. Kan enggak seru!
"Kenapa kamu sekarang berani ngelawan aku, Fan?" Tatapan tajam Jonas menghunus ke retinanya, membuat lidah Savana kelu seketika. "Kamu tau, 'kan, kalau aku enggak suka sama istri yang suka ngelawan suami?"
Jonas semakin mendekat, tangan kanannya terayun ke depan, menyentuh permukaan wajah Savana. "Aku enggak suka kamu kayak gini, Fan."Suara Jonas memelan, tetapi penuh penekanan.
"Mas ... aku enggak pernah ngelawan kamu." Savana benar, 'kan? Demi bumi yang bentuknya bulat, Savana tidak pernah melawan Jonas. Yang ia lakukan tadi hanya untuk menjelaskan pada pria itu bagaimana perasaannya. Apa itu salah?
"Terus tadi apa?!" Jonas membentak, membuat Savana tersentak. Lantas kakinya bergerak mundur. Ia ... takut. Sumpah, Savana tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.
"Aku cuman mau ngejelasin sama kamu, Mas. Apa itu salah? Apa istri enggak boleh ngasih penjelasan sama suaminya? Apa istri harus jadi anjing penurut dan enggak boleh mengemukakan pendapatnya?"
Savana terisak. Jonas ini benar-benar keterlaluan! Kenapa, sih, dia tidak mau menerima alasan Savana? Apa semua laki-laki memang begitu? Mengambil kesimpulan secara sepihak tanpa mau mendengarkan?
"Sayang? Maafin aku. Sumpah, aku enggak bermaksud buat nyakitin kamu." Savana diam saja ketika Jonas mendekapnya, mengecup puncak kepala sembari mengucapkan maaf berkali-kali. "Aku kebawa emosi, Yang. Tadi mama nelepon sambil nangis."
Sudah Savana duga! Medusa tua itu pasti mengadu yang tidak-tidak. Dasar! Gara-gara dia, Savana menangis karena bertengkar dengan Jonas. Mertuanya itu ... apa perlu Savana memberi pelajaran? Supaya mulutnya tidak sembarangan.
Ah, jangan, deh. Nanti yang ada Savana dicap sebagai menantu durhaka. Cukup istri Malin yang jadi menantu durhaka, Savana jangan. Nanti kalau dia dikutuk jadi batu gimana? Mending dia jadi kucing saja, biar bisa dielus, disayang-sayang sama majikan. Daripada jadi batu. Sudah keras, sukanya diinjak dan ditendang. Sungguh malang nasib si batu.
"Mas ...." Savana melepas rengkuhan Jonas, menatap manik kelam itu dengan matanya yang sembab. "Lain kali, kamu buka telinga, pikiran, dan hati kamu buat dengerin penjelasan istri kamu atau siapa pun itu. Karena enggak selamanya semua yang dikatakan orang itu benar."
"Iya, Sayang. Aku minta maaf." Jonas kembali mendekap tubuh Savana, mengecup puncak kepalanya lama, sebelum akhirnya turun ke mata, lalu ke hidung, dan terakhir ke bibir.
Lumatan pelan itu membuat tangis Savana berhenti. Jantung yang sudah tenang kembali dugem-dugem tak karuan. Sial! Kenapa harus keterusan sampai bibir, sih?
Perlahan Savana mendorong dada Jonas, lantas gadis itu tersenyum menenangkan. "Makasih udah mau ngertiin aku, Mas."
"Seharusnya, aku yang bilang kayak gitu. Makasih karena kamu selalu maafin aku."
Savana tersenyum. Rasanya sudah lega karena masalahnya dengan Jonas sudah teratasi. Sekarang, yang harus Savana lakukan adalah meminta izin pada Jonas untuk berbicara dengan Arvi. Ah, laki-laki itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia sudah jadi lumut karena terlalu lama menunggu?
"Kalau gitu, aku izin sama kamu buat bicara sama Arvi." Jonas mengecup kening Savana sekilas sebelum akhirnya mengangguk mengizinkan.
Savana keluar dari ruangan Jonas. Namun, langkahnya harus terhenti ketika melihat Arvi berdiri di hadapannya sembari bersedekap dada.
"Lo tau, Na? Kucing tetangga gue udah bertelor."
Savana mengernyit. "Ya, terus? Apa hubungannya sama gue?"
"Gue mau jenguk kucingnya. Ketemuannya nanti aja kalau lo udah minta maaf sama gue." Laki-laki itu beranjak pergi, membuat Savana kelabakan.
"Lo mau ke mana? Gue kan belum ngomong, Vi!"
"Mau minta Malaikat Izrail buat nyabut nyawa lo! Kesel gue."
ARVI SIALAN!
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
14.10.2020.
Kan ze udah bilang, kalo ze ga akan kutang lagi🤣🤣🤣
Jadi, gimana sama bab ini?🤣
Jujur, yah, Ze nangis pas ngetik ini🤣 gak tau kenapa. Rasanya sedih aja kalau orang nyalahi kita, terus enggak mau dengerin penjelasan.
Dahla yaaaa see u next chapter!
Ze sayang kaleannnn💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top