7a
"Untuk apa, Mas?"
Wajah Lira terlihat memerah bak kepiting rebus, ketika sepasang mata indahnya yang berbulu lentik, menatap tajam ke arah Galang yang terlihat begitu salah tingkah.
"Untuk … untuk—." Galang seperti tak punya jawaban terbaik untuk dipersembahkan kepada istrinya yang kuakui memiliki paras cantik dan menawan. Namun, ternyata, memilih menikah dengan lelaki yang jelas-jelas telah dipilih oleh sang kakak sebelumnya.
"Untuk belajar mencintai kamu, lah. Apa lagi?" balas Galang sedikit gugup.
Membuat wajah Lira yang semula tegang, mengendur. Ia lantas menatapku dan Galang secara bergantian.
"Kamu nggak usah repot-repot buat cemburu gitu, dong, Sayang. Mana mungkin aku pengen balikan sama kakakmu yang gampangan ini," ucap Galang terdengar sangat jelas dan ringan.
Deg!
Dia menghinaku lagi? Di depan Lira yang sejak lebih dari dua minggu lalu sudah di atas angin?
Cukup sudah!
Cukup sudah aku diperlakukan seperti orang tolol seperti ini.
"Lalu, apa kau pikir, jika kejahatan sebenarnya sudah terungkap, aku akan sudi kembali padamu, Galang? No way! Penjilat sepertimu bukan seleraku! Anggap saja perasaanku padamu dulu merupakan kekeliruan terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku!" sambarku telak sambil menatap tajam wajah Lira dan Galang bergantian.
Terlihat olehku, wajah Galang menggelap. Pun dengan Lira yang terlihat seperti mati-matian menahan emosi saat menatapku yang kini mulai memberanikan diri untuk bersuara.
"Dasar murahan!"
Tanpa terduga, kalimat menyakitkan berikutnya meluncur bebas dari bibir tipis adikku yang hampir semua orang mengakui tak ada cela dalam dirinya.
"Aku atau kau yang murahan, Lira? Tanya pada hatimu sendiri! Tak tahu malu! Gatal!" Entah dapat keberanian dari mana, umpatan dan caci-maki yang selama ini cukup kupendam dalam hati, meluncur juga malam ini.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipiku.
Perih dan panas. Itu yang kurasakan saat tangan yang dulu sering kugandeng saat kepayahan berjalan, menamparku seperti tanpa perasaan.
Segila itukah dirimu, Adikku?
Plak!
Tanpa pikir panjang, aku balik melayangkan tamparan untuk adik tak tahu diri yang semakin membuatku yakin jika dirinya adalah otak di balik semua musibah yang menimpaku.
"Berani, kamu, Mbak?!"
Aku mendengkus kecil. Masih tak habis pikir bagaimana seorang Lira bisa merasa begitu superior dibanding kakaknya.
Ya ampun! Persaudaraan macam apa ini?
"Kau bukan Tuhan yang pantas aku takuti, Lira! Kau cuma wanita tak tahu diri yang sama sekali tidak kreatif karena menikah dengan lelaki pilihan kakaknya!" balasku tanpa rasa takut.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Tamparan kedua mungkin saja bakal mendarat mulus di pipiku seandainya Ayah tak muncul di hadapan kami.
"Ayah, tolong katakan pada anakmu ini agar bisa lebih tahu diri dan tak berusaha menggoda iparnya, Ayah." Lira terlihat berapi-api ketika mengucap kalimat yang jelas-jelas memojokkan diriku. Persis seperti anak yang suka mengadu dan tengah berusaha mengkambinghitamkan lawannya.
Cemen!
"Aku? Menggoda Galang? Tidak salah? Sampah yang sudah aku buang tidak mungkin aku pungut kembali, Lira. Kau dengar itu?!" Aku setengah berteriak saat mengucapkan kalimat pedas yang sontak membuat semua yang ada di ruangan ini tercengang.
Tampak olehku, mata Galang menatap nanar padaku sesaat setelah aku mengucap kalimat sarkas yang pasti mampu membuatnya terluka begitu dalam.
Peduli apa?
Apa dia keberatan saat aku menganggap dirinya seperti sampah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top