5b
"Darren Atma Wijaya," lanjut Resti.
"Terus?"
"Bukankah sore tadi kamu bilang ingin tahu tentang siapa dalang dibalik semua kesialanmu, Indah Putri?"
"Ya … memang, tapi sekarang aku sedang bad mood dan nggak ingin membahas apa pun, aku ngantuk," kilahku kemudian.
"Beri aku waktu 15 menit untuk berbicara, selanjutnya kamu boleh tidur."
"Baiklah."
Aku memilih setuju dengan ide Resti.
Kami pun terlibat obrolan yang cukup panjang.
Harus aku akui, soal stalking dan mencari tahu tentang seseorang, Resty memang ahlinya. Dia seperti intel yang dengan mudahnya mendapatkan informasi mengenai target yang diburunya.
"Dan kau tahu sesuatu, Indah?"
"Apa?"
"Ternyata … Darren berteman dengan Arman. Mereka dulu kuliah dan mengambil jurusan yang sama waktu ngambil S1 di Jogja."
"Oh, ya? Tapi ngomong-ngomong … Arman yang mana?" tanyaku karena memang nama itu masih asing di telinga, jika Resti menyebut sebagai sepupunya.
"Dia sepupu aku yang tinggal di Semarang sekarang.
"Oh …."
"Kamu tenang aja, ya, pelan tapi pasti, kita akan ungkap tuntas siapa penjahat dalam hidupmu sebenarnya," ucap Resti mantap. Membuatku menganggukkan kepala berulang kali dengan antusias. Merasa cukup beruntung karena memiliki sahabat sebaik dirinya.
***
"Kemarin, kita belum sempat beli apa-apa, 'kan waktu di mall? Hari ini, kamu mau, 'kan kalau nemenin aku nyariin kado buat Maura yang ulang tahun besok?" ucap Resti panjang lebar, membuatku yang tengah melamun setelah jam kuliah terakhir usai, tertegun.
"Eum, maaf, Res. Kayaknya … aku nggak bisa nemenin kamu sesering dulu, takut Mama berpikiran macam-macam sama aku," tolakku halus. Membuat Resti mendengkus kecil.
"Sini, pinjam hape kamu!"
"Buat?" tanyaku kebingungan, tapi secara refleks tanganku meraih ponsel dari tas selempang yang kubawa, dan kemudian menyerahkan benda pipih ini pada Resti.
"Nelpon Mama kamu yang bawaannya suudzon mulu," balas Resti sedikit ketus.
Dan benar saja, sahabat baikku ini memang menelepon mamaku untuk meminta izin mengajakku pergi sepulang kuliah siang menjelang sore hari ini.
"Beres, Tante Lili, asal urusan selesai, Indah langsung Resti anter pulang, kok," ucap sahabatku sambil cengar-cengir ketika dirinya tengah berbincang dengan mamaku melalui sambungan telepon.
Selain pandai dalam hal akademik, Resti juga pandai membawa diri. Dia tahu betul bagaimana harus bersikap pada lawan bicaranya.
"Nih." Resti menyerahkan ponsel ketika panggilan dengan mamaku diakhiri.
"Boleh pergi?" tanyaku hati-hati.
"Boleh, dong."
Kami pun lantas meninggalkan ruang kelas dan berjalan beriringan menuju tempat di mana mobil Resti terparkir.
***
"Ini cocok, nggak?" Resti meminta pendapat saat dirinya memilih baju unik dan cantik bergaya Korea yang konon menjadi favorit Maura, ketika kami menyambangi butik ternama yang menjadi favorit keluarga Resti.
"Bagus, kayaknya bakal cocok buat Maura yang bodinya bagus," balasku saat memberikan pendapat sesuai apa yang aku pikirkan.
"Oke, fix, aku ambil ini," ujar Resti dengan wajah berbinar, saat menunjuk blouse remaja berwarna putih dengan ikat pinggang salur hitam putih di tengah.
"Mbak, tolong, dong, saya mau yang ini!" Resti memanggil salah satu karyawan yang berjaga di boutique yang khusus menjual Korean style fashion ini.
"Baik."
"Makasih, ya, Ndah, udah mau nemenin aku nyari kado buat Maura, soalnya ... kalo nyari sendiri suka pusing aku," ujar Resti sesaat setelah melakukan pembayaran.
"Iya, sama-sama, udah kayak sama siapa aja, sih, pake bilang makasih segala," balasku sambil tersenyum.
Baru hendak berjalan menuju pintu keluar masuk boutique, langkahku tertahan saat menyadari kami berpapasan dengan lelaki yang malam tadi menjadi topik hangat pembicaraanku dan Resti di telepon.
"Darren!" ucapku spontan saat mata kami bertemu tanpa sengaja.
Darren yang siang menjelang sore hari ini tengah jalan berdua dengan seorang gadis cantik di sampingnya, tampak terkejut saat aku menyebut namanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top