5a

Melihat keromantisan antara Galang dan Lira—yang menurutku memang sedikit keterlaluan, memancing Ayah untuk berdeham. Membuat adik yang sedang dalam gendongan suaminya, menggerutu kecil. Entah mengucapkan apa.

"Biarin aja kenapa, Yah, namanya juga pengantin baru," ujar Mama pelan, ketika melihat suaminya menggelengkan kepala.

Sesaat setelah memfokuskan perhatian pada anak keduanya, Ayah dan Mama lantas mengalihkan pandangan padaku yang masih duduk diam di depan meja makan.

"Kalau masih ingin dianggap anak olehku, jangan pernah lagi macam-macam dan membuat malu keluarga ini, Indah," ucap Ayah, memperingatkan dengan suara lantang saat menatapku. Napasnya terlihat tak beraturan ketika untuk sekian kalinya memberikan peringatan yang sama padaku.

"I-iya, Ayah," balasku sambil menahan sesak.

Meski mungkin sudah terlambat, tapi aku janji, Ayah, akan kubuktikan jika anak sulungmu ini tak seburuk itu.

Usai makan malam, aku pun bangkit dan lantas berjalan menuju kamar dengan langkah gamang.

Sungguh, tak pernah aku menyangka bakal menjalani hidup setragis ini. Gagal menikah sekaligus membuat keluarga malu adalah musibah paling besar yang pernah kualami selama hidupku.

Ya Rabb, ampunilah segala dosa.

Usai mencuci muka dan menggosok gigi, kurebahkan tubuh saat rasa kantuk mulai datang mendera.

Tak berapa lama kemudian, aku yang baru hampir memejamkan mata, dibuat terkejut ketika ponsel yang kusimpan di atas nakas tak berhenti berdering.

Siapa yang memanggil?

Dengan gerakan malas aku pun menyambar ponsel yang baterainya baru terisi penuh setelah seharian tadi tak membuatku kehilangan meski ia tertinggal di rumah.

"Resti?"

Aku menggumam pelan ketika menyadari sahabat baikku itu tak berhenti membuat ponselku berdering.

Tumben sekali dia menelepon malam-malam begini?

Ada apa?

"Halo, assalamualaikum." Aku menyapa lebih dahulu ketika panggilan kami tersambung.

"Waalaikumussalam," balasnya kemudian.

"Tumben, Res, nelpon jam segini?"

"Iya, aku punya kabar penting soalnya," ujar sahabatku dengan nada serius.

"Kabar apa?" Rasa penasaran mulai menggelayut dalam dada.

"Tentang ... laki-laki yang eum—."

Resti tak melanjutkan kalimatnya.

"Yang apa?" tanyaku penasaran.

"Pernah tidur denganmu," balas Resti to the point.

Deg!

Bayang kelam itu tiba-tiba memenuhi kepalaku dan membuatku jijik atas diriku sendiri.

"Kenapa harus bahas dia lagi, sih?" balasku kesal.

Bukankah Resti tahu jika aku enggan membahas apa pun tentang laki-laki bi*d*b yang telah membuatku terlihat hina di mata keluarga dan mantan calon mertuaku? Kenapa sekarang dia ingin membicarakannya lagi?

"Tapi ini penting, Indah," balas Resti dengan nada geram.

"Aku nggak tertarik! Aku tutup, nih, teleponnya," ancamku kemudian.

"Namanya Darren." Seperti tak menggubris ancamanku, Resti memilih menyebutkan sebuah nama.

Sejenak, aku terdiam. Apakah itu artinya … aku menunggu informasi lanjutan yang akan disampaikan oleh Resti? Entahlah.

Aku tak mengerti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top