4a
"Jangan bercanda, Res. Alia tuh teman baik aku dari SMA, jadi nggak mungkin dia tega ngelakuin itu sama aku." Aku mencoba menyangkal tuduhan Resti yang rasanya sedikit berlebihan ketika menganggap Alia juga turut terlibat dalam kejadian tak masuk akal yang menimpaku hari itu.
Resti menarikku untuk duduk di bangku panjang yang berada di depan arena taman bermain, yang letaknya berdekatan dengan gerai donat kesukaan adiknya.
"Coba, deh, dipikir lagi. Aneh nggak, dia yang nyuruh kamu datang ke restoran sepupunya, tapi dia sendiri malah nggak datang dengan berbagai alasan," ucap Resti lantas mendengkus kecil.
Mendengar argumen Resti, aku merasakan kepalaku berputar kembali.
Jujur, selama ini aku memang menaruh curiga pada Lira, yang aku tahu sempat memuji betapa sempurna seorang Galang di matanya. Akan tetapi, kalau sampai Alia juga turut terlibat, apa alasannya?
"Maaf, Res, bisa kita pulang sekarang?" Aku yang lelah secara hati dan pikiran, meminta pendapat Resti untuk pulang lebih cepat.
"Tunggu, aku belikan dulu donat untuk adikku, ya."
***
Sampai di rumah, aku yang baru hendak memasuki ruang tamu, dibuat terkejut ketika menyadari Mama berdiri kaku di balik pintu begitu aku membukanya.
"Mama?"
Terlihat olehku, Mama yang memang sikapnya berubah semenjak orang tua Galang membatalkan rencana pernikahan putra mereka denganku, menatapku dengan tatapan tajam.
"Kenapa harus pulang, ha? Kenapa harus kembali ke rumah ini kalau yang kamu inginkan cuma kebebasan, Indah?" tanya Mama dengan suara lantang saat kedua tangannya menggoyang bahuku.
"Berapa kali Mama meneleponmu dan ternyata panggilan dialihkan. Apa kamu merasa terganggu menerima telepon dari mamamu sendiri, ha?" Olok Mama yang membuatku sontak geragapan saat memeriksa tas selempang besar yang kubawa ke kampus tadi siang.
Astaghfirullah!
Ya ampun! Aku bahkan lupa membawa ponsel saat kuliah tadi?
Sekacau itu kah pikiranku? Bahkan, ponsel, benda yang selama ini selalu kuanggap seperti nyawa kedua tak lagi penting?
"Hape Indah ketinggalan, Ma. Beneran Indah nggak bohong." Meski tak yakin Mama sudi mendengar alasanku, aku tetap berusaha memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada.
Terlihat oleh sepasang mataku, Mama menitikkan air mata saat aku memberikan penjelasan.
"Bertaubatlah, Nak. Allah maha menerima taubat hambaNya," ucapnya lantas berlalu dari hadapanku.
Nyes!
Sampai sekarang Mama percaya kalau anaknya ini adalah seorang gadis yang gemar menjual diri?
Fitnah sedahsyat apa yang membuat wanita berusia awal 40-an itu begitu yakin kalau anak sulungnya ini senista itu?
Astaghfirullah!
Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top