2b
Aku hanya mampu menelan beberapa sendok makanan yang disiapkan oleh Bik Minah untuk santapan makan malamku yang terlambat.
"Aku sudah kenyang, Bik," ujarku pada wanita paruh baya yang telah bekerja di rumahku semenjak aku masih duduk di bangku SD kelas tiga.
"Ya sudah, tapi jangan banyak pikiran, ya. Dibawa santai saja. Perbanyak istighfar. Percayalah, Non. Badai pasti berlalu," ucap Bik Minah lirih, sesaat sebelum mengangkat piringku yang makanannya sama sekali tak membuatku berselera malam ini.
Meskipun Mama dan Ayah kecewa padaku, tapi aku memang tak akan menyerah untuk membuktikan jika apa yang terjadi padaku hari itu cuma sebuah kesalahpahaman.
Sebab itulah, aku memilih tetap bertahan meski kadang terasa menyakitkan.
***
Keesokan paginya, seperti biasa, aku yang sudah duduk di bangku semester enam, bersiap-siap seperti biasa sebelum menuju kampus.
Sejak tadi malam, aku telah bertekad tak ingin ambil peduli dan memusingkan kemesraan yang seperti dipertontonkan oleh adikku dan suaminya.
Sampai di kampus, tatapan sinis dari beberapa teman sekelas—yang mungkin saja tahu bagaimana seorang Indah gagal menikah, coba kuabaikan.
Aku tak ingin membuat diriku lebih gila jika mendengar dan mengambil hati sindiran dan caci maki yang mereka layangkan.
"Pulang kuliah, free gak, Ndah? Tarif per satu jam berapa?" celetuk Romy, teman sekelas yang aku tahu adalah mahasiswa paling rese.
Tak ingin menanggapi, aku memilih tetap memfokuskan diri pada jurnal yang tengah kubaca di ruang perpustakaan ini.
"Sejam berapa, heh?"
Romy yang sepertinya tak puas karena tak mendapatkan tanggapan, mendekat dan menatap wajahku dengan mata melotot.
Astaghfirullah! Rasa hati ingin sekali aku menampar wajahnya dan mengatakan jika aku ini tak seperti yang dituduhkan. Namun, apa gunanya? Seratus kali pun aku menyangkal tuduhan-tuduhan keji mereka yang sudah terlanjur memandang hina padaku, tetap tak akan ada artinya bukan?
"Sabar, Ndah, sabar."
Aku mengangguk pelan saat Resti yang duduk di sampingku, berusaha menenangkan diriku.
Ya Allah, setidaknya aku harus merasa beruntung karena masih ada beberapa orang yang percaya jika aku tak serendah dalam foto yang menjadi pemicu batalnya pernikahanku dengan lelaki yang sebelumnya amat kucintai.
Romi berlalu ketika aku memilih diam dan tak menggubris hinaannya.
Kadang, diam juga bisa menjadi solusi terbaik untuk beberapa masalah jika dirasa apa yang kita jelaskan tak memberikan efek apa pun.
***
Pulang kuliah, aku yang memang tak berkeinginan untuk cepat-cepat bertemu Lira di rumah, setuju saja ketika Resti mengajakku mampir makan di sebuah restoran Jepang yang menjadi favoritnya.
"Ndah, itu bukannya … cowok yang—."
Aku yang tengah memaksakan diri untuk menyantap ramen di hadapanku, memelankan kunyahan saat Resti menjawil lenganku. Kuikuti ke mana mata Resti memandang.
Deg!
Dadaku tiba-tiba serasa berkobar saat bisa kembali berjumpa dengannya. Lelaki yang telah menciptakan noda sekaligus membuat hidupku porak-poranda.
"Hei! Mau ke mana, kamu, Ndah?" Resti menegurku ketika melihatku bangkit dari tempat duduk dengan napas memburu saat memandang b*j*ngan yang telah merenggut masa depanku.
"Aku harus meminta penjelasan sekaligus bertanya siapa dalang di balik semua kesialan ini, Resti." Aku merasakan suaraku bergetar manakala rasa sakit ini kembali menancap dalam sukma.
"Tunggu!"
Aku buru-buru berlari, membuat dia—lelaki yang telah membuatku kotor, menahan langkah saat mendengar seruanku.
Apa pun caranya, akan kubuktikan pada keluargaku jika aku hanyalah korban dari sebuah konspirasi jahat yang aku tak tahu siapa dalangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top