2a

Aku memang kotor, tapi aku bukan pel*c*r. Sungguh, aku tak senista itu.

Semua itu terjadi di luar kendaliku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa berada di kamar hotel yang sama dengan lelaki yang baru pertama kali aku jumpai.

Dan yang lebih tragis … aku dan dia telah melakukan sesuatu yang .....

Argh …!

Aku merasakan kepalaku seperti berputar jika mengingat lagi tentang peristiwa memilukan yang terjadi hampir dua minggu yang lalu. Peristiwa pahit yang tak seharusnya menjadi penghalang aku menikah bersama lelaki yang kucintai. Peristiwa pahit yang membuatku menjadi pendosa bukan atas dasar keinginanku sendiri.

"Aku kotor. Tapi aku bukan pel*c*r." Dengan dada yang kian terasa sesak aku kembali tergugu saat merasakan duniaku seakan telah kehilangan seri sejak kesalahpahaman terjadi hari itu.

Entah sampai berapa lama, waktuku kuhabiskan untuk menangisi nasib si*l yang menimpa diriku, hampir dua minggu menjelang hari pernikahanku hari itu.

"Non Indah. Non!"

Aku yang masih tergugu di lantai samping ranjang, tertegun saat mendengar suara Bik Minah memanggil namaku.

Buru-buru kuhapus air mata yang sedari tadi menetes tak tahu diri. Setelahnya, kulangkahkan kakiku menuju pintu kamar meski masih dengan hati nelangsa.

Kubuka pintu kamar dengan gerakan malas. Menemui wanita paruh baya yang terang-terangan menunjukkan kepedulian saat aku gagal menikah dan calon suamiku justru menikah dengan adikku sendiri.

"Iya, Bik?" tanyaku pada ART di rumah ini, satu-satunya orang yang rasanya masih memiliki nurani dan rasa belas kasihan padaku. Seorang wanita tulus dan penyayang yang masih bersedia memberikan rasa percaya diri untuk diriku melalui semua kepahitan.

Untuk beberapa saat, Bik Minah yang berdiri tepat di hadapanku, mengamati wajahku dengan seksama. Detik kemudian, tatapannya berubah sendu ketika menatap mataku yang bisa dipastikan sembap pasca tenggelam dalam tangis untuk beberapa lama.

Mungkin memang tidak seharusnya aku menangisi jalan hidup yang telah Allah gariskan, tapi aku bisa apa?
Aku hanya manusia biasa yang tak bisa semudah itu menahan air mata saat semua kepahitan menghampiri.

"Bibik perhatikan, sejak tadi siang, Non Indah belum makan, loh," ujarnya kemudian sambil terus menatapku dengan tatapan matanya yang teduh lagi memenangkan. Membuatku merasa diperhatikan. Lagi dan lagi.

"Tapi, aku nggak lapar, Bik," balasku tanpa semangat. Membuat Bik Minah menggeleng pelan.

"Nggak boleh begitu, Non, Non Indah tetap harus makan, jangan pernah mau kalah oleh keadaan," ucap Bik Minah membuatku tak mengerti.

"Maksudnya?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Seperti tak ingin langsung menjawab rasa penasaranku, Bik Minah hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis.

"Sudahlah, ayo, makan, sudah jam setengah sepuluh, loh, ayo, Bibi temani," ujarnya penuh kelembutan saat kedua matanya mengisyaratkan jika kami harus menuju ruang makan secepatnya.

Berdesir hatiku, saat merasa seperti mendapatkan dukungan di tengah-tengah badai masalah yang membuatku dipandang serendah-rendahnya oleh keluargaku sendiri.

Saat melewati kamar Lira, ada yang berdenyut dalam dada saat melihat kamar adikku telah terkunci rapat.

Ya Allah.

Andaikan musibah itu tak menimpaku, sudah barang tentu, aku yang tengah menikmati indahnya romansa malam pertama. Dengannya. Lelaki yang amat kucintai tapi kini telah resmi menjadi milik adikku sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top