Tempat tinggal baru.
Diva kembali ke Jakarta dengan Alex meski ia tak kembali ke rumahnya. Ia lebih memilih berdiam diri di kediaman pribadi Rion. Ingin kembali ke rumah, ia takut jika di tanya macam-macam oleh kedua orang tuanya karena kembali dari berbulan madu sendirian.
Diva suka dengan rumah ini. Begitu sederhana, ada banyak tanaman dan ada beberapa hewan peliharaan. Letaknya pun di pinggir kota, jauh dari polusi udara kotor.
Ngeng... ngeng.... ngeng....
Ada juga seorang pelayan yang menggunakan vakum cleaner. Mengingat itu Diva tersenyum sendiri. Rion sedang membersihkan rumahnya, ia hanya memakai kaos rumahan serta celana pendek sobek bermotif bulan sabit, favoritnya.
"Sampai kapan kau akan di sini?" Tanya Rion menggunakan bahasa isyarat, menggerakkan lincah ke sepuluh jarinya.
Cuma Diva yang paham karena mereka sudah mengenal sedari kecil.
"Senin aku sudah masuk kantor tenang saja."
"Aku harusnya pensiun, menikmati masa bebas tanpa dirimu, ada apa dengan bulan madumu?"
"Jangan bahas itu, jangan membuat moodku memburuk."
"Apa suamimu menyakitimu? Ceritakanlah!!" Rion mendekat, ia duduk di samping Diva setelah meletakkan vakum cleaner. Rion memang seorang tuna wicara namun sebenarnya kakak dan pendengar yang baik.
"Tidak, tapi aku merasa bahwa pernikahanku salah saja." Diva tanpa canggung meletakkan kepalanya pada dada Rion yang lumayan bidang. Mereka sudah terbiasa satu sama lain. Soal rasa yang disebut cinta, di hubungan keduanya tak ada rasa semu seperti itu. Hubungan mereka lebih rekat dan lebih murni dari hubungan persaudaraan. "Lebih nyaman denganmu ternyata dari pada bersender pada Alex".
Diva tersentak, Rion mendorong kepalanya lalu memegangnya cukup kencang. "Jangan bersandar pada Alex lagi". Rion sebenarnya ingin bilang jangan dekat-dekat dengan Alex namun Rion tak mau Diva jadi curiga, malah akan bertanya-tanya lebih detail.
"Kau cemburu? Bukan kau kakakku saja Rion, aku juga harus adil pada Alex." Andai saja Diva tahu yang sebenarnya, Diva bukanlah seorang Prasodjo. Apa yang akan gadis itu lakukan? Pandangan Alexander bukan pandangan kakak pada saudaranya namun pandangan itu menyiratkan kepemilikan, hasrat serta nafsu. Rion merasakan kalau mata Alexander begitu pekat saat menatap Diva. Sayangnya, Diva tak menyadarinya atau tak akan pernah. Bagi Diva, Alexander adalah kakak kandungnya.
"Tidurlah, kau sepertinya butuh istirahat."
"Kau jadi aneh saat kita membahas Alex." Diva menggerutu namun ia tetap mematuhi perintah Rion. Ia memakai sandal dan berjalan menuju kamar untuk beristirahat.
Firasat Rion mengatakan kalau Alex tak akan pernah berhenti setelah Diva menikah. Apa perlu Rion menjaga Diva kembali? Mengandalkan Alan sepertinya tak mungkin, laki-laki itu terlalu sibuk dengan dunianya.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Diva mengerjab-ngerjabkan mata. Ia terbangun di saat hari telah gelap. Perutnya berat seperti ada sebuah batu besar yang menimpanya. Ia baru menyadari kalau ada seseorang yang tidur di sebelahnya sambil memeluk erat tubuh miliknya.
"Bentar lagi Va, aku capek." Diva terkejut mendengar suara itu. Suara dari sang suami yang sudah 3 hari tak ditemuinya. Kenapa Alan tau kalau dia di sini, apa Rion memberitahunya. Dasar pengkianat, sejak Diva menikah kenapa Rion seolah-olah bukan sekutunya lagi.
"Aku mau mandi badanku lengket." Diva menepuk lengan Alan dengan kasar lalu memaksa tangan suaminya untuk berpindah. Alan meringis perih, sungguh pukulan Diva tetap saja keras dan menyakitkan.
"Mandi bareng aja gimana?" goda suaminya nakal.
"Gak ada, kamar mandi di tempat Rion masih tradisional dan sempit. Kita mandinya pakai bak dan gayung, gak ada shower." Diva tak bohong, memang begitulah keadaan rumah Rion. Rumah sederhana ala-ala kampung yang masih manual di tumbuh banyak pohon berbuah dan tentu banyak rerumputan. Rion malah dengan gilanya berencana memelihara ayam atau kambing untuk di kembangbiakan. Diva jamin kalau Rion sampai melakukan itu, ia tak akan mau menginap di sini lagi.
"Tak masalah, kita bisa bermain di pinggiran bak." Diva terjingkat dari ranjang dan berlari. Ia tahu yang dimaksud bermain. Permainan pengantin baru yang seingatnya membuat selangkangannya sakit namun terlambat Alan memang bukan penembak yang jitu atau petarung yang handal tapi ia adalah pelari yang cepat. Tubuh Diva sudah didorong masuk ke kamar mandi.
Melupakan pertengkaran atau kemarahan memang ampuh di obati dengan bercinta dengan keras dan kasar. Awalnya Diva menolak mentah-mentah usulan Alan namun pada akhirnya ia kalah dan menyukainya.
Harusnya mandi hanya membutuhkan waktu setengah jam tapi mereka hampir 1 jam tak keluar-keluar. Rion ingin mendobraknya tapi ia memilih mundur saat mendengar desahan-desahan erotis. Menjijikkan sekali, bercinta meminjam kamar mandi orang. Untung mereka sudah sah, dan bukan di bawah umur. Kalau Diva melakukannya dengan kekasihnya, sudah dipastikan Rion dengan senang hati akan melubangi kepala kekasihnya dengan peluru.
Denting sendok terdengar begitu merdu di malam yang sunyi. Di sini lewat dari pukul 7, semua akan beristirahat hanya petugas ronda yang kadang berkeliling memeriksa keamanan. Diva baru turun dari tangga dengan suaminya. Terlihat rambut keduanya basah.
"Yon makasih bajunya ya!!" Rion hanya mengangguk. Karena untuk mengatakan iya, ia tak akan mampu.
"Masak apa yon?" Rion menunjuk panci berisi mie instan yang di campur telur. Diva mendesah, kemampuan Rion memasak bisa di acungi jempol namun kesadaran laki-laki itu akan kesehatan termasuk minus. Dengan terpaksa Diva makan juga setelah mengambilkan piring dan gelas, tentunya untuk Alan juga.
"Kamu kasih tahu Alan kalau aku ada di sini?" Diva bertanya, Rion menjawab dengan gerakan jemarinya. Membuat Alan yang berada di tengah-tengah mereka mengerutkan dahi.
"Iya, dia bertanya aku menjawab".
"Dasar penghianat, sejak kapan kau jadi tukang ngadu?"
"Kalian bukan anak-anak kalau ada masalah selesaikan dengan berkomunikasi."
"Kalian membicarakan apa? Kalian punya bahasa sendiri yang aku tak mengerti." Keduanya memilih diam, Diva tak mau bertanya karena akan lebih sulit menjelaskan kepada Alan nanti. Diva memang paham bahasa isyarat dari kecil, Rion sengaja mengajarinya dan mereka punya kode sendiri jika dalam bahaya.
"Oh iya kenapa kamu pergi saat kita di Bali?"
Masih bertanya, bukannya semuanya sudah jelas. Alan terlalu peduli pada Jessica hingga Diva merasa disingkirkan.
"Tak apa, aku kangen rumah makanya pulang bersama kak Alex."
"Aku bingung mencarimu, aku ke rumah tapi kamu gak ada. Katanya kangen rumah tapi malah menginap di sini." Bukan hanya Alan yang menatap Diva, Rion juga. Ada kecemasan yang tak tersirat dari mata Rion. Ia yakin Diva berbohong, beberapa hari ini Diva terlihat menangis sendiri dan kadang suka melamun. Apakah rumah tangga mereka baik-baik saja?. "Aku kira kau marah karena Jessica."
"Aku tak sekonyol itu, marah hanya karena perempuan." Lain di mulut, lain di hati. Begitu penilaian Rion, sebab ia tahu Diva dari dia memakai popok.
"Kukira kau cemburu tai syukurlah hal itu tak terjadi." Alan mulai menikmati mie instannya sedang Diva lebih banyak minum air. Entah kenapa mie buatan Rion terasa hambar. "Besok kita pulang, aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu."
Diva mendongak, mengerjab-ngerjabkan matanya tak percaya. Kejutan? Diva jadi tak sabar ingin melihatnya.
🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘🐘
"Jalanlah pelan-pelan jangan tergesa-gesa."
"Kenapa pakai di tutup matanya segala." Diva menggerutu, sebenarnya ia mau di bawa kemana. Sudah lebih dari 1 jam matanya ditutup, dia dibawa ke tempat asing.
"Sudah ikut aku, jalan pelan-pelan. 5 langkah lagi kita akan masuk lift." Diva semakin penasaran, apakah kejutan untuknya begitu menarik.
"Sebentar lagi kita sampai?"
"Iya, bersabarlah." Tak berapa lama bunyi lift berdenting, tanda mereka telah sampai di lantai yang di tuju. "Aku pegang tangan kamu, kita berjalan agak lama."
"Apakah kita sudah sampai?" Alan memutar bola matanya dengan malas. Ini pertanyaan Diva yang ke 10 semenjak mereka masuk ke jalan tol.
"Tinggal beberapa langkah lagi!" Diva merasakan genggaman Alan begitu hangat. Akankah tangan ini menggenggamnya untuk selamanya atau kisah mereka hanya sebuah iklan di kehidupan Alan. Diva tak berharap banyak dari hubungan mereka namun hatinya mendamba sebuah hubungan yang serius di bawa sampai ajal menjemput.
Ceklek
Terdengar suara bunyi pintu di buka. Diva merasakan sapu tangan yang menutupi matanya di buka. Perlahan-lahan ia mengerjakan mata. Menyesuaikan pemandangan dan cahaya di dalam ruangan.
"Apartemen?"
"Heem, tempat tinggal kita sekarang." Jangan kira apartemen besar dua lantai dengan kolam renang atau landasan helli. Apartemen milik Alan begitu sederhana tapi dengan nuansa feminim.
Diva mulai berjalan menyusuri seluk beluk apartemen. Ia merab perabotan yang ada di ruang tamu lalu melangkah lurus ke arah dapur lalu bersender pada pintu. "Kamu baru saja membeli apartemen ini?"
Alan menggeleng kemudian memeluk tubuh Diva dari belakang, sungguh nyamannya. "Ini apartemen milik ibuku, aku menggunakan untuk tempat tinggal kita."
"Kenapa tidak ke apartemenmu saja?"
"Apartemenku sudah aku sewakan, aku tak mau kita tinggal di sana. Di tempat itu aku sering membawa perempuan pulang. Aku tak mau tempat untuk istriku, bekas dari perempuan lain. Aku ingin memulai denganmu dari awal." Alan mengecup tangan Diva dengan mesra. Mendapatkan perlakuan romantis seperti ini Diva hampir menangis, hatinya membuncah bahagia. Tak di sangka Alan akan mengusahakan semua ini untuk dirinya.
"Dasar playboy!" Walau mulut Diva berucap ketus namun tetap saja ia memeluk suaminya.
Alan menggenggam tangan Diva untuk di tariknya ke dalam dapur. "Ini semua perabotan milik Almarhum ibuku. Aku suka ke sini karena untuk mengenangnya".
"Jadi aku perempuan yang di beri keistimewaan untuk memakai perabotan ibumu."
"Tentu saja, kau kan istriku, Nyonya Wijaya." Dengan gemas Alan menjepit hidung Diva hingga istrinya mengaduh kesakitan. Lama-lama melihat Diva, Alan baru sadar kalau Diva sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai walau kulitnya agak kecoklatan.
"Ibumu sangat baik dan menyayangimu. Aku ingat itu." Diva menerawang 15 tahun silam. Dimana ibu Alan terduduk pucat di kursi roda dan harus dijaga oleh seorang perawat.
"Kau tahu, kau perempuan pertama yang aku bawa kemari."
"Jangan membual."
"Aku serius, sumpah!!" Alan mengacungkan dua jari, jari telunjuk dan jari manis lalu mendaratkan kecupan manis pada bibir istrinya.
"Lalu aku perempuan ke berapa dalam hidupmu?"
"Kedua setelah ibuku tentunya."
"Oh manisnya suamiku." Diva dengan sebal mencengkeram rahang Alan agak keras. Ia tahu Alan adalah perayu ulung, semua ucapannya hanya omong kosong. "Lalu Jessica?"
"Dia hanya masa lalu?"
"Masa lalu yang kamu peluk-peluk saat menangis, oh betapa indahnya masa lalu." Alan mendekatkan jarak mereka, dengan menarik pinggang Diva. Ia sadar diri jika masa lalunya begitu buruk namunia janji akan berubah dan belajar mencintai Diva.
"Kamu cemburu? Harusnya aku tahu kamu pulang tiba-tiba karena tak suka aku bersama Jessica." Diva jelas malu di tuduh seperti itu.
Apa perasaannya pada Alan terlihat jelas? "Dengarkan aku, aku dan Jessica sudah berakhir. Kamu hanya akan jadi satu-satunya."
Alan membelai perut istrinya dengan pelan dan sensual. "Kamu hanya akan jadi satu-satunya ibu dari anak-anakku kelak. Tak ada yang lain, aku janji!!"
"Aku pegang janjimu. Karena kita sudah ada di dapur, sebaiknya aku masak untuk makan siang kita." Diva akan membalikkan badan namun dengan sigap Alan menahan pinggangnya agar senantiasa menghadap ke arahnya.
"Daripada membuat makanan, lebih baik kita membuat Alan junior saja. Bagaimana?" Godaan Alan memang terlalu mujarab untuk Diva. Dengan tersenyum malu-malu Diva mengangguk, ia menuruti apa mau suaminya.
Kadang di dalam hubungan seksual tak dibutuhkan cinta untuk hadir namun tetap saja untuk bertahan dari semua guncangan tetap saja cinta diperlukan untuk meyakinkan dan menguatkan. Cinta memang belum tumbuh atau sedang diusahakan. Ketika cinta berhasil dibentuk, ada badai yang lebih besar akan menggulung kehidupan mereka. Akankah mereka tetap bertahan berpegangan tangan satu sama lain atau akan ada yang melepaskan agar yang lain mendapatkan bahagia.
🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top