Tak sebenarnya cinta part 2


"Ini kenapa kok bahunya bisa begini?" Tunjuk seorang dokter perempuan berbadan gemuk ke arah bahu Diva yang memar. Sedang Rion yang ada di sana hanya bisa menggaruk kepala lalu ia mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana.

"Kami berlatih bela diri lalu tanpa sengaja. Dia" Tunjuk Rion pada Diva yang terbaring di ranjang periksa. "Terkena tendangan saya."

Dokter perempuan itu mulai mengerti, orang yang di ajaknya berbicara ini seorang tuna wicara.
"Tekanan darahnya hanya 90/70, badannya lemas, denyut nadinya melemah, wajahnya pucat seperti pasien mengalami stress dan juga kelelahan". Dokter itu berpikir sejenak. "Kapan terakhir pasien datang bulan?"

Rion menggedikkan bahu, mana dia tahu dia bukan suaminya Diva. Ia selama jadi pengawal tak pernah menghitung Tanggal berapa Diva akan datang bulan. "Ya sudah, saya menyarankan kalau pasien sudah bangun, anda harus memeriksakannya ke dokter kandungan. Saya khawatir pasien sedang hamil."

Rion menjabat tangan dokter wanita itu sebagai ucapan terima kasih sebelum sang dokter meninggalkan ruangan. Rion melihat Diva yang tengah pingsan. Rasa bersalah menggerogotinya, Rion akan sangat bersalah apabila benar Diva kini tengah mengandung. Tentu dia juga ikut senang atas kehamilan perempuan ini. Nonanya yang Rion jaga dari kecil akan punya bayi.

"Ehm.. ehm..." Suara lenguhan Diva mulai terdengar. Ia mengerjab-ngerjabkan mata, menyesuaikan pandangannya terhadap cahaya.
"Dimana aku?"

Rion yang tadinya duduk di bangku plastik kini berdiri, memperhatikan wajah Diva dengan seksama. Dengan gerakan tangan ia menyampaikan sesuatu.

"Ada yang sakit?" Tanyanya khawatir.

"Ish.... ish...." Diva meringis, memegangi bahunya yang tadi kena tendangan Rion. "Sedikit sakit sih tapi gak apa-apa kan udah biasa". Diva terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kenapa kamu sampai repot bawa aku ke rumah sakit?"

"Kamu pingsan".

Diva hanya diam sambil berusaha untuk duduk. "Huh, akhirnya tubuh gue tumbang juga!!"

"Kenapa bisa begitu?"

"Kak Alex memberiku pekerjaan yang banyak sekali. Dia sering menyuruhku lembur. Ini semua gara-gara Lexa, kalau perempuan itu  ketemu akan ku tarik rambutnya sampai botak!!" Ucapnya berapi-api sedang Rion tahu jika Alexander sudah merencanakan sesuatu terhadap Diva, memberi perempuan itu banyak pekerjaan agar tak bisa punya waktu lebih banyak bersama Alan. Rion harusnya tak ceroboh, mengambil cuti sehingga Alex bisa semena-mena.
"Apa kata dokter?."

"Tekanan darahmu rendah, kau kelelahan, stres juga sehingga pingsan!" Ucapnya sambil menggerakkan jari tangan.

"Itu saja? Kapan aku boleh pulang!!"

"Sehabis ini kita pulang namun sebelum pulang kita ke suatu tempat dulu". Ke suatu tempat itu dimana, Diva tak mau mencari tahu. Tubuhnya terlalu lelah dan ingin di baringkan.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

"Lihat" Diva terlalu lemah, ia berbaring di ranjang periksa. Mungkin dirinya salah makan sehingga di periksa sampai USG segala. "Ada bulatan kecil di sini".

"Itu apa?"

"Ini kantung janin, usia janin baru memasuki minggu ketiga." Diva mengerutkan dahi sambil berbaring sedang Rion hanya mengangguk paham. "Masih terlalu dini kehamilannya jadi di jaga baik-baik ya pak istrinya."

Sang dokter menuliskan resep dan menyerahkan kepada Rion sedang sang asisten dokter memberinya tisu kepada Diva untuk menghapus gel di atas perutnya.
"Ada yang di tanyakan lagi?"Rion menggeleng. "Kalau begitu silahkan tebus resep dan tunggu di luar." Rion membantu Diva turun dari ranjang. Menuntunnya yang masih bingung keluar ruangan.

"Gue hamil?" Rion mengangguk.

Mereka mengantri, menunggu obat di racik oleh apoteker. Diva masih merenung, bukan dirinya tak bahagia hanya saja semuanya begitu cepat. Ia seperti belum sepenuhnya yakin dengan pernikahannya namun Tuhan sudah menyerahkan janin berusia 3 minggu. Tanpa ia sadari, Rion menyerahkan  foto USGnya di hadapan Diva. "Ini bayiku?" Rion mengiyakan dengan sebuah anggukan.

"Apa aku bisa menjadi ibu yang baik untuknya?"

"Tentu saja, ia akan tumbuh jadi anak yang baik layaknya DIRIMU." Rion tersenyum lalu merengkuh tubuh Diva ke dalam pelukannya. Diva baru bisa percaya dan tersenyum ketika melihat foto hitam putih yang dirinya pegang namun senyum itu luntur ketika Diva melihat bayangan seseorang yang amat di kenalnya.

"NYONYA JESSICA!!"

Alan berjalan ke bilik obat untuk mengambil sekantong kresek obat kandungan. Rion yang juga menyadarinya merengkuh tubuh Diva masuk ke dalam pelukannya. Diva tentu meronta sambil menangis, ia ingin di lepas namun Rion malah semakin mengeratkan pelukan dan mengelus rambut nonanya supaya tenang. Rion memang kuat namun kalah kuat dengan tekad dan kenekatan seorang perempuan yang patah hati.

"ALAN!!" Teriaknya marah, kalau tak banyak orang. Mungkin kini Diva pasti sudah mengamuk serta memukuli sang suami namun Diva tahu jika hatinya terluka, kakinya terpaku dan lumpuh tak mampu di gerakkan. Tubuhnya lemas tak berdaya, hidupnya yang ia kira bahagia namun kenyataannya cinta suaminya pun Diva tak punya.

🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏

"DIVA... DIVA..." Teriak Alan menggedor pintu kamar Diva entah sudah berapa kali. "VA, buka pintunya... please buka,,, maaf aku gak nepatin janji!!" Diva yang berada di balik pintu hanya bisa terduduk sambil menangis. Ia tak menjawab ataupun membuka pintu. Alan masih begitu peduli pada Jessica padahal suaminya sudah berjanji akan membahagiakannya. "VA,aku nolongin Jessica sebagai temen gak lebih. Anak yang di dalam kandungan Jessica bukan anakku." Diva percaya itu bukan anak Alan namun kepedulian Alan membuat dirinya takut, tanpa sadar Diva mengelus perutnya. Ia juga mengandung, dia juga butuh suaminya. "Sayang... kita perlu bicara, jangan diemin aku. Buka pintunya!!" Suara Alan jadi makin lirih, ia tak bermaksud menyakiti atau membuat sedih Diva. Alam hanya mengantarkan Jessica lebih rumah sakit karena perempuan itu mengeluh kalau perutnya sakit.

Alan merasakan bahunya di remas seseorang. "Rion?" Pria tuna wicara itu menariknya untuk segera pergi dari depan pintu.

Kini mereka sama-sama duduk tenang di sofa ruang tamu. Di antara mereka tak ada yang saling membuka suara sampai

"Diva tadi pingsan dan di vonis dokter kalau dirinya hamil 3 minggu." Tulis Rion di dalam layar ponsel dan Alan yang membacanya benar-benar terkejut. Bibirnya mrmgembang sempurna, dirinya senang sekali akan jadi seorang ayah.

"Benarkah?" Rion menyerahkan foto USG janin milik Diva dan lagi-lagi Alan sangat girang hingga matanya berkaca-kaca karena terharu. "Ini anak kami?."

"Iya anak kalian, aku turut senang. Tapi kata dokter Diva butuh istirahat, dia terlalu kelelahan karena bekerja di bawah tekanan Alex." Tulis Rion lagi.

"Apa dia di beri pekerjaan banyak oleh Alex?" Rion mengiyakan dengan sebuah anggukan.

"Jagalah dirinya dan kandungannya, kalau butuh apa-apa aku ada di apartemen sebelah"

Membaca jawaban Rion, Alan mengerutkan dahinya tajam. Rion hidup di apartemen sebelah, apakah itu tak berlebihan. Namun ketika Alan hendak bertanya, Rion sudah pergi hanya derit pintu tertutup terdengar nyaring. Apakah ia tak cukup pantas menjaga Diva sehingga Rion harus hidup di samping mereka.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Tok... tok.. tok...

"VA, aku berangkat. Sarapannya ada di atas meja. Aku tahu kamu belum maafin aku tapi kamu harus makan demi anak kita!!" Diva hanya mendengarkan perkataan Alan sambil duduk di ranjang. Dirinya tak punya daya kini, harusnya dari awal ia tinggikan bentengnya supaya tak sakit hati. Kalau sudah begini, apa yang harus Diva lakukan.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Alan melempar sesuatu tepat di atas meja kakak ipar sekaligus sahabatnya. Ia datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

"Apa itu? Apa surat dokter yang menyatakan kalau Diva sakit. Tak perlu dirimu repot-repot kemari untuk memberikan surat ini langsung padaku." Alex tersenyum simpul, sikap Alan pada Diva bisa di katakan berlebihan.

"Lex, ini bukan surat ijin dokter tapi surat pengunduran Diva." Dalam hati Alex menggeram marah, berani-beraninya Alan meminta Diva untuk menjauh darinya. Namun ia tetap tenang dengan melonggarkan dasi.

"Kenapa?" Tanyanya santai.

"Diva kini tengah hamil" Alex mengpalkan tangannya yang ia simpan di bawah meja. Sialan Dianya kenapa hamil secepat ini.

"Selamat kawan, kau akan jadi seorang ayah." Ucapan selamat itu begitu membakar tenggorokan Alex. Dia berharap anak Diva mati sebelum di lahirkan.

"Iya dan kamu, juga akan jadi seorang paman." Alex mencoba tersenyum, ia tak menginginkan Diva hamil dan melahirkan anak pria lain. Setelah ini Alex akan menyusun sebuah rencana agar kandungan Diva celaka. "Dia tak bisa bekerja terlalu keras, kau tahu aku khawatir dengan kandungannya. Aku tak bisa membiarkannya tetap bekerja. Kau tahu bukan ini anak pertama kami."

Alex tahu, mereka terlalu antusias menyambut anak pertama yang tentu menyulut kebencian dan kedengkian di hati Alex. "Aku paham, tapi apakah Diva setuju?."

"Aku rasa iya, kemarin dia pingsan karena katanya kelelahan, " Alan berupaya menjelaskan sebab dirinya tahu bahwa Alex tak akan mau melepas adiknya itu namun Alan tak bisa membiarkan Diva kelelahan dan bekerja terus. "Lagi pula sekarang aku suaminya, wali sah Diva."

Kalau sudah begini Alex merasa kalah. Ia hampir saja lepas emosi saat Alan menyebut wali Diva. Dia merasa jika kini Diva di miliki Alan sepenuhnya. Alex harus memutar otak lebih rinci lagi, bagaimana rencana ke depan untuk memusnahkan janin Diva kalau adiknya itu malah jauh dari jangkauannya. Di tambah pasti ada Rion yang menjaga penuh adik kesayangannya.

"Baiklah, kalau itu mau kalian. Benar kesehatan Diva yang terpenting."

"Terima kasih atas pengertianmu". Sayangnya Alex bukanlah saudara yang sangat pengertian saat Alan sudah pergi dari ruangannya. Seringai kekejaman Alex muncul, ia langsung membanting sebuah vas bunga dan melempar lukisan di dinding. Ia mengobrak-abrik beberapa berkas kertas, lalu membanting laptop serta menginjakkan-injak benda itu sampai remuk. Alex mengamuk, selamanya ia tak akan membiarkan Diva dan Alan bahagia.

🐶🐶🐶🐶🐶🐶🐶🐶🐶🐶🐶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top