Menyelamatkan yang harus diselamatkan
Alan terpaku dengan ketegangan yang terjadi. Mata Soetopo menyiratkan luka begitu pula mami mertuanya. Semua gara-gara Harland dan Lexa diperburuk dengan ambisi Alex yang masih ingin memiliki sang istri. Bagaimana bisa setelah semua rumit mereka bisa egois dan Cuma mementingkan urusan mereka tanpa melihat Diva yang masih terpejam matanya. Alan meninggalkan ruang rawat Diva untuk sementara, berpindah ke ruangan bayi.
Anaknya masih kecil, merah, berkerut dan di dalam tabung inkubator. Alan mengawasinya melalui jendela transparan, rasa sebagai seorang ayah terbangkitkan begitu melihat anak laki-lakinya yang terlahir sebelum waktunya itu. Anak ini sama berharganya dengan sang ibu, Alan tak bisa memilih salah satu.
“Kapan cucuku akan ke luar dari sini?”
“Papah masih berani ke sini?” tanyanya tanpa mau melihat wajah Harland.
“Dia akan bertahan hidup. Dia kuat seperti seorang Wijaya.”
“Bagaimana kalau nanti anakku tahu jika sang kakek berniat memisahkannya dengan sang ibu?”
“Dia tidak akan tahu. Dia akan besar dalam pengasuhan keluarga wijaya, Lexa mungkin bisa menjadi ibu yang baik. Ku dengar dia punya anak.” Ini yang membuat Alan murka. Bisa-bisanya ia dulu hampir menikah dengan wanita yang mengandung anak pria lain, untunglah Lexa tahu diri hingga memilih pergi.
“Papah tidak berubah pikiran ketika tahu rahasia Lexa.”
“Apa pentingnya itu. Kalau papah berpikir tentang moral. Dulu kau tidak akan aku ijinkan menikah dengan keluarga Prasodjo, terutama Lexa. Diana melahirkan si kembar tanpa menikah, Semua tahu tapi papah kira Diva lahir dari pernikahan Diana dan Soetopo. Papah salah perhitungan.”
Alan mengepalkan tangan. Ayahnya memang seorang manusia jahat yang lebih memikirkan uang dari pada martabat. “Aku yang diuntungkan karena papah salah hitung. Aku tidak akan menceraikan istriku, aku menunggu Diva bangun.”
“Hari ini keputusanmu begitu, tapi nanti pasti lain.”
Satu kalimat sebelum Harland pergi. Alan Cuma bisa menggeram marah sebab ia tak mau membuat keributan di ruang bayi. Alan berjanji pada dirinya sendiri jika nasib Diva tak akan pernah sama dengan nasib mengenaskan yang ibu kandungnya alami.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Hari ini ada yang berbeda, walau Diva koma namun Alan tetap bersikap manis dengan membawakan sang istri bunga segar sekalian sebagai pengharum ruangan tempat istrinya dirawat namun ekspresi riangnya terpaksa luruh dan bunganya tak sengaja ia lepas ke lantai.
“Di mana istri saya sus?” tanyanya pada seorang suster yang membersihkan ruangan. Ranjang Diva kosong, beberapa barang istrinya hilang. Apa istrinya dipindahkan ke tempat lain tapi seingatnya Alan tak meminta hal itu.
“Nyonya Diva keluar paksa dari rumah sakit atas permintaan ayahnya. Beliau berkata ingin memindahkan nyonya Diva ke rumah sakit yang lebih besar dan bagus. Bukannya Tuan Soetopo sudah meminta persetujuan anda?” Tanya sang suster dengan dahi berkerut. Ia bingung melihat Alan yang syok di depan pintu.
“Saya tidak mengizinkannya.”
“Untuk masalah itu anda bisa bicara dengan manajemen rumah sakit.”
Alan berbalik dengan tak sabar menuju ke bagian administrasi namun belum sepuluh langkah. Soetopo sudah ada di hadanpannya, mungkin pria ini sengaja menghadangnya. “Papi yang mindahin Diva kan? Di mana Diva sekarang?”
“Di suatu tempat. Papi mengambil anak papi, kamu dan ayahmu hanya menginginkan bayi Diva kan. Kalian bisa mendapatkannya dengan Cuma-Cuma.”
Alan tak bisa menerima. “Bayi itu butuh ibunya Pi.”
“Kalian punya uang banyak untuk mencarikan ibu untuk bayi Diva. Kalau kamu sadar itu, alangkah baiknya bayi Diva akan papah ambil juga.”
“Gak bisa gitu Pi. Bayi itu anakku, Diva istriku. Pi tolong kembalikan Diva, aku akan menjaganya karena aku suaminya.”
“Menjaganya? Papi tahu kenapa Diva berakhir di rumah sakit, semua karena ayah kamu dan kamu yang gak becus melindungi Diva. Anak papi bagai Domba di padang rumput, yang siap disemebelih kapan saja. Papi sudah gak bisa tinggal diam, papi akan menyelamatkan Diva melindungi putri papi bahkan kalau harus memisahkan Diva dengan bayinya.”
Keputusan yang begitu egois namun jika putra Alan suatu hari terjepit masalah begini, mau tak mau ia harus mementingkan keselamatan anaknya. “aku mencintai Diva. Jangan pisahkan kami Pi. “
“Apa yang bisa kamu beri tanpa embel-embel Wijaya? Gak ada. Kalau kamu mencintai Diva lepaskan dia, dia akan memiliki kesempatan kedua untuk hidupnya. Hidup baru tanpa menderita. “
“bagaimana kalau Diva nanti bertanya tentang anaknya? “
Soetopo memprediksi juga masalah itu. Semuanya akan mudah kalau sesuai rencana. “maka ceraikan anakku, ambil anakmu. Itu akan membuatnya berpikir jika kau membuangnya. Diva akan melupakanmu, menganggap bertemu denganmu adalah kemalangan. Kau bisa menikahi Lexa jadi Diva bisa menerka jika kau hanya butuh anaknya. “
“tapi perasaanku tidak begitu. Aku mau Diva. Mau hidup dengannya. “
Nafas berat Soetopo berembus pelan. Walau Alan bilang cinta tapi mata pria ini tak menyiratkan begitu lagi pula Alan akan menantang ayahnya, menjerumuskan Diva dalam kesengsaraan dan rasa bersalah. “Kalau kau tidak menceraikannya. Aku yang akan menceraikan kalian. Anggap saja ini pertemuan terakhir kita. Aku akan menghilang bersama putriku. “
“Yang papi lakukan adalah perbuatan ilegal. Diva istriku, aku berhak tahu di mana dia. Berhak atas dia. “
“Itu jika kau menemukannya. “
Tubuh Alan menegang. Akan sulit mencari Diva sendiri jika ayahnya saja tidak mendukung. Soetopo menyeringai sebelum berbalik. Boleh saja menantunya menuntut haknya sebagai suami namun Soetopo yakin Harland akan jadi penghalang serta memperlancar jalan putranya untuk berpisah dengan Diva. Soetopo memegang dadanya yang nyeri. Ia juga sakit ketika mengambil keputusan kejam dan tegas namun lebih sakit lagi jika ia nekat bertahan. Dengan ini ia juga membuktikan jika Soetopo bisa hidup tanpa Prasodjo di belakangnya.
🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top