Menggantikan pengantin yang kabur

Diva itu ratunya malas. Ketika hari Sabtu tiba, ia memilih tidur dan bangun siang. Tak mau pergi kemana pun karena tak ada yang mengajaknya. Diva jomblo semenjak setengah tahun lalu. Pacar terakhirnya, hidungnya di buat patah oleh Rion karena hampir saja melecehkannya. Yah bisa di bilang kehidupan cintanya hampa, pacaran hanya sekedar gandengan tangan atau ciuman kalau Rion tak memergoki.

Tok... tok... tok...

Siapa se pagi ini yang berani menggedor keras pintu kamarnya. Siap-siap cari mati karena telah mengganggu hari bersantai seorang Diva. Diva berjalan ke arah pintu, masih dengan memejamkan mata karena ngantuk.

Ceklek

"Siapa sih yang..." namun ucapan kerasnya tertelan ludah saat di depan mata ada sang mami yang berdiri dengan raut muka sedih sekaligus suram. Di tangan kirinya, ia membawa sebuah kertas.

"Mami kenapa?"

Diana tak lagi dapat membendung air matanya lagi. Ia bingung harus berbuat apa ketika tahu putri sulungnya tak ada di kamar dan hanya meninggalkan sepucuk surat.

"Lexa pergi. Dia cuma ninggalin surat ini." Diva meraih surat yang di sodorkan oleh ibunya. Surat selembar yang, ia hapal penulisnya siapa?

Dear mami

Maaf Lexa pergi... maaf Lexa pada akhirnya hanya bikin malu mami....

Lexa gak bisa menerima pernikahan ini. Pernikahan yang Lexa idam-idamkan dengan orang yang Lexa cinta hanya jadi ikatan pertalian bisnis.

Iya harusnya Lexa dewasa kan? Menjalani komitmen yang telah aku bangun. Harusnya Lexa kalau mau nolak saat pertunangan kami dulu, bukannya sekarang. Hari pernikahan sudah dekat, Lexa terkesan tidak bertanggung jawab

Tapi Lexa capek Mi... memasang wajah bahagia, walau sebenarnya hati Lexa tersiksa. Lexa tertekan mi.... maafin Lexa mi... aku egois gak mikirin perasaan dia keluarga.

Mi... sampaikan maafku juga sama Alan karena pergi gak pamit....

Oh intinya kakak perempuannya pergi tak pamit alias minggat. Tapi surat yang menurut Diva itu sudah panjang, masih ada lanjutannya lagi.

Bilang juga mi... buat Diva jangan pakai baju Lexa yang ada di lemari...

Huh di saat tak ada, Lexa masih saja memikirkan bajunya yang tertinggal. Siapa juga yang mau pakai baju tak senonoh itu? Diva tak modis tapi juga tak akan bersikap murahan dengan memakai baju seksi.

"Terus sekarang gimana Diva?" tanya maminya yang kini sudah buram oleh air mata.

"Mami tenang, kita bakal ngomong ama papi pelan-pelan." Diva yakin papinya bukan seorang yang pemarah atau tukang ngamuk. Papinya Soetopo adalah pribadi yang bijak.

"Gimana kalau keluarga Alan marah?"

"Kalau itu yah kita lihat aja nanti mi." Kalau gak marah namanya gak manusiawi dong. Hari pernikahan tinggal selangkah, si pengantin perempuan kabur lalu dua keluarga yang telah menyebar undangan di permalukan. Belum lagi EO kan sudah di DP. Kenapa juga si Lexa gegabah, pergi seenaknya. Alasan tidak cinta? Diva ingin tertawa. Bukannya Lexa sanggup menukar cinta dengan uang?

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Dugaan Diva benar, papinya pribadi yang bijak. Tak menyalahkan Lexa ataupun marah berlebihan. Soetopo dengan tenang membaca surat Lexa walau beberapa kali ayah kandung Diva itu menarik nafas, mengerutkan kening atau sekedar membenarkan letak kaca mata bacanya. "Kalau ini keputusan Lexa kita tak bisa berbuat apapun. lagi pula anak itu juga sudah kabur. Yang kita hanya bisa lakukan adalah menjelaskan kepada keluarga Wijaya. Halim Wijaya pasti marah tapi kan kita gak bisa merahasiakan ini semua."

Diva menunduk begitu pula maminya. Diana tentu merasa sangat bersalah. Ia  gagal mendidik Lexa. Semua mau anak itu sudah ia turuti tapi hanya karena perjodohan yang sudah di rancang lama, gadis liar itu kembali memberontak. Pandangannya beralih ke samping, di sana ada Diva. Yang juga putrinya tapi kenapa keduanya punya sifat beda jauh? "Papi sudah bicara ke keluarga Wijaya melalui telepon. Kita akan makan malam dengan mereka nanti. Kalau pun mereka akhirnya gak terima. Kita sudah siap jika di maki."

Kalau pun cuma di caci, maki sudah biasa. Tapi kenapa Diva merasa kalau makan malam nanti akan berakhir buruk ya? Perasaannya jadi tak enak, ia berniat enggan datang tapi hati nuraninya sebagai anak perempuan tak bisa membiarkan kedua orang tuanya menanggung malu sendirian.

💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐

Makan malam dengan formasi keluarga lengkap kecuali si kembar. Ada  Soetopo, Diana, dan juga Diva dari keluarga Prasodjo sedang di seberang meja ada keluarga Wijaya yang terdiri dari Halim Wijaya, Riana, Marcel, dan juga Alan.

Diva merasa kalau perang sebentar lagi akan di mulai. "Kami heran kenapa harus ada makan  malam keluarga padahal tinggal menghitung hari pernikahan anak kita akan terjadi." ucap Halim yang sudah selesai makan duluan. Kalau sudah kenyang pastilah pikiran manusia akan  jadi terang dan tak cepat emosian. "Lalu mana calon menantu kami? Kenapa tidak terlihat? Apa dia menjalani adat pingitan?"

Soetopo dan Diana tersenyum tak enak. Mereka agak berat mengungkapkan kebenaran. "Makan malam kita sebenarnya ada hubungannya dengan itu." Diva melirik Alan yang tersenyum sambil menggerakkan jari berselayar di ponsel. Ck... ck... pantas saja Lexa pergi yang di hadapinya nanti adalah seorang laki-laki tukang tebar pesona. Yang pasti akan membuat sakit hati, sakit kepala dan keriput di wajah bertahan banyak. "Kami harus mengucapkan beribu maaf. Kami siap konsekuensi apapun ke depannya tapi kamu harus bilang sejujurnya."

"Memang ada apa?

"Lexandra kabur, dia pergi dari rumah". Seketika dua orang yang sedang menikmati makan siangnya meletakkan sendok.

"Apa?? Lah terus Pernikahan Alan gimana? Batal? Syukur deh!!". Alan melanjutkan mengunyah makan tapi kenapa perasaannya jadi tak enak.

"Benar, pernikahan Kalian harus di batalkan. Itu jalan terbaik. Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Untuk menarik undangan atau mengumumkan batal. Biar kami yang urus." Soetopo mengalah, pihak keluarganya yang salah. Putrinya sudah pergi, tak bisa di temukan. Tapi malah Halim tertawa remeh di sertai kekehan lucu.

"Kenapa Lexa pergi di anggap seserius ini. Hubungan kita sudah terjalin lama. Kalau Lexa tak bisa, kan kamu punya putrimu yang lain untuk menggantikannya." Semua orang yang ada di sana melihat ke arah Diva yang saat ini memakai pakaian hitam berpotongan dada rendah dan juga berlengan tiga perempat. Diva sendiri yang diam-diam sedang memotong kue coklat, tiba-tiba membuka mulut.

"Gantikan saja Lexa dengan Diva." Tambah istri Halim yang bernama Katy itu. "Pernikahan antara dua keluarga sudah di rencanakan. Khalayak umum kita akan jadi keluarga. Aku tak keberatan punya mantu yang mana, asal putri kalian."

Alan meneguk ludahnya kasar. Tak bisa membantah, ia juga seketika jadi batu. Menikah dengan Lexa itu lebih mudah. Lexa akan senang sekali di beli uang, barang mewah, sepatu cantik atau hadiah sebuah mobil. Tapi ini Diva yang otak dan kemauannya tak ada yang tahu. Perempuan itu suka menggunakan shortgun, belati atau pisau kecil. Dan perempuan bermata hazel itu akan sulit ia sogok dengan uang. Walau Alan akui Diva lebih cantik, perawakan bak model dan juga kulitnya eksotis. Sayang, Alan lebih suka gadis ala Korea, yang bernada suara manja, juga punya kulit seputih pualam, dan bibir semerah peach. Menikah dengan Diva, berarti siap tiap hari di jadikan sandsack.

"Tidak bisa semudah itu. Kami butuh waktu untuk memutuskannya."

"Kau masih meminta waktu, sedang pernikahan mereka seminggu lagi?" Katy menggeleng tak percaya. "Kerjasama kita menyangkut banyak pihak, investor yang sudah menanamkan modal dan juga beberapa karyawan yang mulai membangun proyek. Kita tak bisa egois. Mereka menanam kepercayaan pada kita yang begitu tinggi." Soetopo memijit pelipis, sedang Diana mengelus lengan suaminya dan menatap tak percaya ke arah besan perempuannya itu.

"Kita gak bisa membuat keputusan, kalau kedua belah pihak yang bersangkutan tidak setuju." Diana menengahi, putrinya bukan binatang yang di kawinkan tanpa sebuah persetujuan.

"Alan, kamu setuju kan?" Katy mengarahkan pertanyaan serta pandangan pada sang putra tertua.

Alan terdiam lama, lalu menghembuskan nafas panjang. "Alan setuju." jawabnya sambil menunduk. Ia tak berni mendongak, karena sedari tadi tak tega yang melihat mata Diva tengah berkaca-kaca. Gadis yang duduk berseberangan meja dengannya itu memohon agar Alan berkata tidak melalui matanya yang sendu. Setelah ini persahabatan mereka akan berubah jadi sebuah hubungan sakral yang di paksakan.

"Bagaimana denganmu, Diva?"

"Kalau ini demi perusahaan. Apa saya punya pilihan lain?" jawab Diva sambil meremas dressnya yang menjuntai di bawah meja. Rasa sakit ia alihkan dengan memegang lututnya erat-erat. Diva punya impian, menikah dengan pria yang ia cinta dan juga mencintai dirinya balik. Pesta pernikahannya sederhana tak apa tapi calonnya ia pilih sendiri. Diva tahu bahwa selama ini hidupnya hanya untuk di korbankan, menambal semua kesalahan yang Lexa lakukan.

Sedang hidup Alan hanya sebuah permainan. Terlahir, sebagai putra mahkota yang diembani beban tanggung jawab yang besar, hidupnya serba diatur, hidup hura-hura dan bebas yang ia jalani sebenarnya hanya pengalihan kepenatan otaknya.  Alan masih merenung, Kenapa Lexa menyerah disaat saat terakhir!! Harusnya kalau mau mundur jauh-jauh hari bukan dadakan. Menikah dengan Lexa mudah karena mereka tak melibatkan perasaan dan setelah berpisahpun nanti mereka akan baik baik saja, kacaunya hidup mereka hampir sama.

🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏

Di revisi, jadi jangan kaget kalau ada banyak yang berubah.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top