Mencari Diva

Alan tak habis pikir kenapa Diva bisa bersikap kekanakan tak mengangkat teleponnya dari tadi malam. Apa memang nomernya telah wanita itu blokir. Diva seperti anak perawan yang ketakutan menghadapi malam pertama. Padahal mantannya saja dengan jumlah kaki lipan sama banyaknya. Atau iblis betina itu sengaja mengerjainya, menahan nafsu semalaman. Awas saja jika Diva ketemu, akan ia pasung kakinya agar tak bisa kabur seenaknya.

Sedang yang di pikirkan Alan memilih berjalan-jalan di dekat cagar alam penangkaran para satwa. Memotret keindahan warna-warni bulu burung di penangkaran, serta melihat tapir dan anoa untuk pertama kalinya. Diva menikmati harinya di kota Makassar. Rasanya bulan madu kemari, tidaklah buruk. Lihat satwa ini lebih baik daripada harus melihat wajah Alan yang penuh kemesuman itu.

Diva sadar ponsel di dalam tas pinggangnya bergetar dari tadi tapi untuk mengangkat panggilan dari Alan, ia malas saja. Diva sudah membuka blokiran pria itu tapi malas saja jika kesenangannya harus di recoki pria itu. Tapi jika Alan tidak dikabari, nanti suaminya itu malah pulang ke Jakarta sendiri.

"Iya, hallo."

Diva menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia tak mau mendengar Alan yang mengoceh seperti nenek-nenek tak di beri diapers. Dasar laki-laki bermulut cerewet.

"Iya... iya.... kamu kerja aja dulu. Ntar jemput aku. Iya aku kasih tahu alamatnya."

Barulah panggilan itu berhenti saat Diva mau menjelaskan di mana dia berada, sedang Alan yang masih di dalam hotel bisa bernapas plonk. Ia akan menemui si iblis betina ketika pekerjaannya selesai.

🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Alan tak percaya ketika melihat Diva malah piknik sedang ia berjibaku dengan pekerjaan dan masalah. Tak menunggu sampai pertemuannya dengan klien usai, ia menyusul Diva ke lokasi istrinya berada. Hutan dengan hewannya, hutan dengan alam liarnya. Tempat kesayangan Diva, rumah kedua perempuan itu. Bukannya memilih pantai atau mal untuk berbelanja . Diva malah memilih hutan penangkaran satwa untuk berekreasi yang jaraknya lumayan jauh dari kota Makassar.

Diva yang tengah menikmati suasana alam yang benar-benar indah tak menyadari jika telah suaminya datang.

"Udah selesai seneng-senengnya?"

"Hehehe kamu udah datang, cepet banget!"

"Apa kelebihan tempat ini sampai kamu lebih milih kabur ke sini?" Diva hanya mengulas senyum. Tangannya ia katupkan di depan dada. Memohon maaf karena meninggalkan Alan di malam pertama mereka.

"Kita berkeliling dulu masuk ke dalam hutan, kamu akan tahu bagaimana indahnya." Alan memutar bola matanya dengan malas. Diva dan hobinya yang tak mungkin terpisahkan. Tapi tak apalah, anggap saja Alan sedang mencoba hal baru. Untung ia sempat mengganti kaos dan memilih sepatu sneakers dengan celana jogger. Karena tahu tujuan ia kemari akan berada di hutan.

Diva merasakan gelegar aneh saat tangan mereka bertaut. Diva sudah sering menggandeng tangan Alan namun kali ini berbeda, tangan mereka saling menaut sebagai suami istri bukan teman. Dia memotret beberapa burung yang bertengger di atas pohon dengan kamera digital. "Diamlah!!"

Diva menaruh jari telunjuknya di depan bibir suaminya. Alan seperti tersengat listrik bertegangan kecil saat jari telunjuk istrinya berada di atas bibir. Dari dekat paras Diva begitu cantik, matanya besar dan jernih, hidungnya mancung, bibirnya begitu tipis mengulas senyum. Alan baru menyadari sesuatu, Diva punya wajah impian setiap perempuan. Wajah yang begitu sempurna terpahat, sayang selalu tertutupi dengan penampilan perempuan itu yang tomboy.

Cekrek... cekrek... cekrek...

"Burung-burung itu cantik sekali." Diva fokus mengambil gambar. Ia hobi fotografi dan juga memanjat tebing tentu menembak dengan pistol juga.

"Kamu lebih cantik," puji Alan tanpa sadar ketika melihat bulu mata Diva yang lentik bergerak menabrak lensa  belakang kamera.

"Hehehe memang aku sudah cantik dari lahir," jawab wanita itu tak kalah narsis. Ia tak tahu saja jika pujian Alan itu tulus atau cuma sekedar basa-basi. Diva sadar sesuatu, sejak tadi mereka bergaya bicara aku-kamu.

Karena Alan mengikuti Diva yang sibuk mengambil gambar, mereka tak sadar jika sudah terlalu dalam memasuki kawasan hutan. Kawasan yang mulai gelap akibat rimbunnya pohon dan juga penuh dengan suara hewan liar. Agak bergidik juga sih jika saat berjalan di hadang harimau atau macan tutul.

Dorr

Bunyi letusan senjata api membuat keduanya yang tengah berjalan menembus hutan, terlonjak kaget. Apalagi sekawanan burung di atas kepala keduanya sudah kompak terbang

"Apa ada pemburu di sini?"

"Tidak, ini hutan cagar alam mana boleh melakukan itu!!" Namun baru saja mereka berdebat, suara letusan kedua terdengar lebih dekat. Keduanya terlihat waspada,memandang satu sama lain. Kalau ada pemburu gelap bagaimana atau gembong narkoba yang ketahuan hingga akan membunuh mereka.

"Sepertinya mereka bukan memburu binatang namun memburu.... kita?" Merasa tak percaya tapi keduanya terpaksa lari ketika mendengar suara tembakan tepat mengenai batang pohon besar. Sadar dalam bahaya, mereka berlari dengan sangat kencang. Tembakan senapan berkali-kali di letuskan, beberapa kali pula hampir mengenai bahu Alan. Tapi ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan keduanya hidup.

Doorrr

Tembakan itu hampir mengenai kepala Alan untung ia bisa menghindar sembunyi di balik pohon. Diva sadar yang diincar dari tadi bukan dirinya tapi suaminya. "Apa kau tak membawa senjata, shortgun misalnya?"

"Kita berbulan madu bukan ke Medan pertempuran. Aku tak membawanya. Lagi pula jika di bandara aku ketahuan membawa senjata api, bisa di penjara kita!!"

"Sial."

Door.....

Posisi mereka terpojok, tak bisa lari lebih jauh dan tembakan-tembakan itu tak mau berhenti. Di tengah pelarian, Diva memutar otak. Tiba-tiba muncul sebuah ide di kepalanya tatkala melihat sungai besar yang alirannya cukup deras. Dengan sekuat tenaga ia menarik tangan Alan untuk terjun bersama ke dalam dinginnya air sungai.

"Lompat!!"

Byurrr

Mereka mendarat dengan sempurna. Diva dan Alan dengan susah payah berenang untuk tak tenggelam dan dapat menepi. Beruntunglah mereka sudah sering latihan berenang hingga selamat dan bisa menjauh dari para pemburu itu.

"Uhuk... uhuk..." Keduanya sama-sama terbatuk karena banyaknya air yang tertelan masuk ke mulut, telinga dan hidung. Mereka berjalan-jalan tertatih-tatih sampai ke bebatuan besar. Lalu terkapar bersama karena kehabisan tenaga.

"Apa mereka masih mengejar kita?" tanya Alan sembari menengadahkan wajah ke langit biru. Hampir saja ia kehilangan nyawa.

"Sungai ini membawa kita terlalu jauh jadi mereka tak akan bisa mengejar." Diva sendiri mulai mengatur nafas. Berenang terlihat sepele tapi lelahnya luar biasa.
"Mengapa mereka mengejar kita, lebih tepatnya kau!" tuduhnya dengan memiringkan kepala ke arah sang suami.

"Aku tidak tahu."

"Mungkinkah mereka orang suruhan teman bisnis atau salah satu pacarmu yang kau patahkan hatinya?" Diva
menebak. Alan nampak berpikir sejenak. Ia sadar hanya dia yang jadi target. Tapi siapa yang ingin membunuhnya?

"Entahlah, tak penting mencari tahu siapa yang mencoba membunuhku untuk sekarang. Bagaimana kita bisa pulang?" Diva memutar bola matanya dengan malas lalu ia memilih berjalan, menyenderkan tubuhnya yang basah di bawah pohon besar.

"Kita bisa berjalan mengikuti aliran sungai. Ini wilayah marga satwa, tak akan sulit menemukan penduduk." Alan memilih menyusul, duduk bersama Diva. Mengistirahatkan diri dengan baju mereka sama-sama basah.

"Aku yakin ini perbuatan salah satu pacarmu yang psikopat." Alan tak bisa memastikannya, ia tak pernah di serang terlalu jauh seperti ini. Paling cuma adu jotos tak sampai menghilangkan nyawanya. Alan sadar, ia baru saja jadi korban percobaan pembunuhan. Mantan pacarnya gila semua. Semua berpotensi jadi pembunuh, mengingat putusnya mereka tak ada yang baik-baik saja.

"Kalau pacarku yang melakukannya harusnya kamu yang di serang?" tanya Alan pada Diva yang sedang mengatur nafas. Ucapan Alan benar, wanita psikopat pasti lebih memilih mengincar nyawanya. Lalu menjadikan Alan duda agar bisa dimiliki.

"Kau mengenal salah satu orang yang menembak kita tadi?"

"Bagaimana aku bisa kenal, melihat wajahnya saja tidak." Diva menarik nafas lalu menghembuskannya. Ini pertama kalinya nyawa mereka diincar namun Diva tak tahu motif apa penyerangan terhadap mereka ada hubungannya dengan bisnis atau urusan pribadi.

Sementara itu di tempat lain, seorang laki-laki mengumpat karena kesal dengan pekerjaan anak buahnya yang tak becus.

"Apa kalian gagal? Dasar goblok!!"

"Maaf tuan, kami tak berhasil membunuh tuan Alan"

"Membunuh satu orang saja tak bisa, saya sudah bayar mahal-mahal kalian. Kalian benar-benar tak bisa di andalkan."

"Sekali lagi maaf tuan, kami kehilangan jejak mereka. Mereka melompat ke sungai".

"Mereka? Apa maksudnya dengan mereka, Alan bersama siapa?" tanya Alex dengan nada meninggi karena tengah mengkhawatirkan seseorang.

"Nona Diva bersamanya".

"Bajingan, cari mereka sampai dapat. Kalau ada apa-apa dengan Diva aku yang akan menembak kepala kalian dengan tanganku sendiri." Ancaman itu mampu membuat orang-orang yang di hubungi Alex ketakutan. Pasalnya mereka tahu, bos mereka bukan orang waras. Alex bisa di katakan mendekati gila. Namun karena terlalu emosi, Alex membanting ponselnya hingga jadi hancur berkeping-keping lalu meremas rambutnya sendiri. Ia tak bisa membayangkan Diva dalam keadaan bahaya karena perbuatannya.

🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠

Diva memang kuat, namun ia tak bisa mengelak dari takdirnya sebagai seorang perempuan yang mana tenaganya tak sebanding dengan tenaga laki-laki. Ia harus menyerah setelah berjalan menyusuri hutan hampir 2 jam. Akhirnya Alan yang harus menggendongnya.

"Beratmu semakin bertambah, lebih berat dari 20 tahun lalu."

"Ish... Jelaslah, aku dulu tak seseksi sekarang dan..."

"Sangat cengeng!!" Mendengar ucapan Alan yang menyinggungnya, Diva memukul bahu suaminya keras.

"Aku tak seburuk itu waktu kecil."

"Kau ingat, waktu kecil kau sering menangis karena diganggu para anak laki-laki. Aku dan Alex yang selalu memukuli anak-anak itu." Bagaimana Diva bisa lupa, waktu itu menganggap Alan adalah pahlawannya. "Namun aku heran saja setelah kamu lulus SMP, kenapa kamu berubah? Kamu belajar bela diri dan menggunakan senjata."

Diva berubah setelah tahu Alan punya pacar. Ia merasa pahlawannya bukan miliknya lagi hingga rasa patah hati membuatnya sadar jika dia tak akan bisa selalu mengandalkan perlindungan Alan maupun Alex. Mereka pada akhirnya akan punya pasangan, tapi takdir ternyata punya permainannya sendiri. Alan kini jadi suami Diva.

"Aku tak ingin bergantung pada siapa pun jadinya akan belajar membela diriku sendiri."

Alan merasakannya lagi, sengatan yang agak besar dari tadi. Saat ia merasakan dada Diva yang menempel punggung, ternyata dada istrinya tak serata yang ia bayangkan. Kulit paha Diva terasa sangat halus dan jangan lupakan hembusan nafas istrinya itu yang terasa menggelitik tengkuk.

"Apa kita bisa membuat kesepakatan, tentang pernikahan kita?" tanyanya memulai obrolan yang lebih serius.

"Kesepakatan seperti apa? Kita akan bercerai setelah waktu yang di tentukan, tak ada sex, tak ikut campur urusan pribadi atau kau mau menulis sebuah perjanjian dan kita sama-sama menandatanganinya." Alan menggeleng, ia heran darimana Diva mendapatkan ide seperti itu. Perempuan ini terlalu banyak membaca novel romantis.

"Bukan, kesepakatan pernikahan yang akan kita jalani seumur hidup. Kesepakatan tentang berbagi masalah satu sama lain, berbagi penghasilan, berbagi kehangatan tentu ada sex di dalamnya." Diva terhenyak kaget. Pasalnya kini Alan menaikkan tubuhnya, agak meremas bolongnya agar gendongan Alan mengencang.

"Sex? Apa kau sedang membicarakan pernikahan sampai tua yang sering di dongengkan para tetua. Oh manisnya... lalu apa yang akan kau janjikan padaku agar aku mau bertahan sampai tua bersamamu?" Diva tak yakin pada Alan. Ia tak siap jika patah hati, tak cuma patah mungkin hatinya akan hancur tak berbentuk jika pernikahan mereka berujung kegagalan.

"Kesetiaan?" Diva hampir saja tertawa keras. Mendengar kata setia keluar dari mulut Alan. Kata ajaib yang tak mungkin bisa terwujud dengan mudah. "Aku tak akan berhubungan intim dengan perempuan lain, aku hanya tidur dengan istriku saja dan aku tak akan pergi ke Club atau bersenang-senang tanpa ijinmu. Begitu pula kau, bagaimana?"

"Tawaran yang menarik, aku menyetujuinya Diva tak punya pilihan. Berdamai dengan keadaan dan berusaha menunggu cinta di hati Alan tumbuh bukankah itu lebih baik. Diva hanya ingin bahagia. Bahagianya tidak di dapat secara instan, namun melalui proses yang tak mungkin sebentar. Diva percayakan seluruh hatinya untuk di titipkan pada suaminya.

"Apa kita bisa memulai kesepakatannya dari sekarang?"

"Baiklah, kau sudah tak sabar tentunya."

"Kalau begitu di mulai dengan bercinta di alam terbuka tak terlalu buruk kan?" Diva memundurkan punggungnya karena kaget dengan permintaan Alan.

"Aku tidak mau, aku lebih suka kasur empuk yang tak ada serangganya." Alan tertawa kemudian menepuk pantat Diva dengan sangat keras.

"Baiklah kalau itu maumu!!"

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top