Lexa dan rencananya
Lexa yakin rencananya kali ini akan berhasil dengan cemerlang. Alex sudah melakukan bagiannya, dengan bodoh mengakui perasaannya. Lexa memang sangat iri dengan Diva, si bungsu itu mendapatkan kasih sayang ibunya, posisinya di kantor, cinta Alex dan juga calon suaminya. Semua itu harusnya menjadi milik Lexa kan? ah tenang saja semuanya sebentar lagi akan kembali ke tempatnya, Lexa hanya perlu memastikan itu berjalan dengan sangat lancar.
“Nona bisa masuk sekarang.”
Lexa adalah seorang wanita yang kompetitif dan juga manipulatif yang bisa mempengaruhi keputusan seseorang. Ia akan menggunakan keahliannya untuk menyingkirkan Diva.
“Siang Om.”
Di hadapannya sekarang adalah Harland Wijaya, ayah Alan yang memegang kendali atas kehidupan sang putra.
“Aku kaget karena kamu berani kembali Lexa.”
Lexa tersenyum menanggapi ucapan Harland yang terasa dingin itu. “Pada akhirnya aku kembali Om. Maaf aku mengecewakan Om.”
“Semua sudah berlalu. Aku mendapatkan menantu dan sebentar lagui cucu.”
“Om hadir dalam keributan kemarin kan. Om sudah tahu siapa Diva sebenarnya. Om masih menerima sebagai menantu?”
Harland mengerutkan kening. “Diva sedang hamil, asal usulnya tidak penting. Dia akan melahirkan pewaris keluarga Wijaya.”
“Om tidak tahu atau berniat mencari tahu dari mana Diva berasal?”
“Apa itu penting. Apa itu tujuan kamu ke sini? Berharap bisa mengembalikan posisimu?”
Lexa menyeringai. Harland bukan orang suci, bahkan ayah Alan termasuk pria licik dalam jajaran bisnis yang akan melakukan segalanya supaya nama baiknya terjaga dan selalu menang.
“Iya aku ingin posisiku kembali,” jawab Lexa mantap. “Tapi sebelum itu bisa terjadi, aku harus menyingkirkan Diva bukan?”
“Jangan ganggu Diva. Dia sedang mengandung.”
“Soal itu aku tahu Om. Om hanya menginginkan anak dalam perut Diva kan?”
Harland membenahi dasinya yang terasa mencekik lalu menatap Lexa kembali. “Untuk saat ini aku tidak peduli dengan asal usul Diva. Aku hanya kecewa kenapa Diana tidak bilang kalau Diva bukan putri kandungnya, bukan Prasodjo darah murni.”
“Dan bukan salah satu pewaris yang kakek sebutkan dalam surat wasiatnya.” Pernyataan Lexa yang terakhir membuat Harland terkejut. “Diva tak punya sepeser pun harta atas namanya karena kenyataannya perusahaan, saham, semuanya atas nama Mami dan anaknya. Kakek cukup pintar untuk menyelamatkan anak cucunya. Beliau selalu menganggap bahwa Soetopo dan Diva adalah orang lain yang tak berhak atas hartanya sepeser pun.”
Kepanikan mulai terlihat di wajah Harland. Perjodohan Alan bermuara pada harta bukan Cuma kedudukan semata. “Aku tahu kerja sama Om dan mamah. Perusahaan kalian Diva tak akan dapat bagian, anaknya juga. Bukannya Om telah rugi?”
Wajah tua bangka ini merah padam dan Lexa tahu jika ayah Alan siap diajak berunding. “Tapi tetap saja anak Diva adalah cucuku.”
“Itu bisa diatur.” Lexa mengedikkan bahu seolah cuek. “Diva itu anak Soetopo dengan seorang imigran gelap bernama Iris. Darahnya bahkan lebih rendah dari rakyat jelata. Soetopo hanya pegawai kantor milik kakek, mami menyukai kepribadiannya yang baik dan pengertian makanya Soetopo dijadikan suami sekaligus menjadi sosok ayah yang tidak kumiliki dengan Alex.”
“Soetopo membesarkanmu dengan kasih sayang. Kenapa kau berbuat begini? Diva juga selalu menyelesaikan masalahmu, kenapa kau malah ingin mengambil tempatnya?” Yang Harland sadari Lexa sendiri adalah wanita yang berbahaya, bahkan bisa jadi musuh siapa saja. Lexa memang terkenal dengan kecerdasannya, kelicikannya serta mulut manisnya yang beracun.
“Ada istilah darah lebih kental dari pada air. Diva baik tapi karena sikapnya itu orang-orang yang semula menyayangiku bergeser lebih menyayanginya, kecuali kakek. Kakek selalu mendahulukan keturunannya. Kakek benar bahwa Diva dan ayahnya sangat berbahaya, itu baru ku sadari sekarang. Diva itu perebut.”
Meruntut kisah yang terjadi Diva tak bisa disebut perebut malah lebih condong ke arah penyelesai masalah, si perisai tapi Bodo amat. Harland tidak punya empati atau hati nurani, ia harus menyelamatkan nakhodanya sendiri walau dengan menjabat tangan Lexa.
“Lalu apa rencanamu?”
“Om bisa mengambil anak Diva setelah bayi itu lahir dan Om bisa meminta Alan menceraikan Diva juga.”
Harland menimbang lama. Permintaan Lexa serasa mudah terucap namun tidak pelaksanaannya. “Itu tidak mudah. Alan akan keberatan.”
Lexa malah terbahak menanggapi kemustahilan rencana mereka. “Alan tidak mencintai Diva. Akan mudah memisahkan mereka.”
“Tapi Alan peduli pada Diva.”
“Lebih peduli mana kira-kira kehilangan harta atau kehilangan Diva. Om tentu bisa mengaturnya kan?”
Harland tahu sifat putranya sedari awal. Walau Alan jatuh cinta namun logikanya akan senantiasa didahulukan. Seperti saat memutuskan Jessica dulu padahal mereka pacaran lama. Alan tidak akan siap kehilangan harta bagiannya makanya ia menyetujui perjodohan dengan Lexa bahkan Alan tidak protes ketika di saat terakhir Lexa harus digantikan oleh Diva. Putranya pasti bisa berpikir dengan jernih, menimbang keuntungan lebih besar ke mana. Alan tidak akan bertindak bodoh dengan mempertahankan istrinya jika harus melepas sahamnya.
“Alan selalu dapat berpikir jernih.”
Lexa berdiri sambil mengambil tasnya, setelah meminum segelas kopi yang Harland suguhkan. “Aku pamit Om. Lakukan bagian Om.” Walau Harland Cuma diam tapi Lexa calon mertuanya itu akan memenuhi permintaannya. Lebih menguntungkan menikahkan Lexa dengan Alan dari pada bertahan dengan Diva.
🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕
Setelah semua terbongkar, tak ada yang berubah. Alan tetap peduli pada anak dan istrinya, tak peduli jika darah Diva berasal dari kubangan kotor sekalipun. Ia memang belum sepenuhnya mencintai Diva namun ia sangat menyayangi istrinya itu. Mungkin yang berubah adalah persahabatannya dengan Alex, hubungan mereka tidak akan sama apalagi setelah tahu jika Alex seorang pria gila yang terobsesi pada sang istri.
Jam menunjukkan pukul sebelas. Biasanya ia akan berangkat makan siang sebentar lagi namun sang istri mengirim pesan akan berkunjung ke kantor. Katanya Diva akan masak makanan enak, walau penampilannya tomboy masakan istrinya masih bisa diterima lidah.
Alan tersentak kaget saat tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Ayahnya datang dengan wajah garang dan juga muka suram. Harland Wijaya masuk tanpa pemberitahuan, Alan terpaksa berdiri karena tak biasanya ayahnya bersikap seperti ini.
“Papah datang tanpa menelepon?”
“Kamu keberatan? Seorang ayah ingin menemui anaknya tanpa pemberitahuan.”
“Ah tidak. Cuma bukan kebiasaan papah saja.”
Tanpa disuruh Harland duduk seperti penguasa di temapt duduk sang putra. Alan mengamati ayahnya dengan tatapan aneh, seolah papahnya ingin memimpin kembali apa yang telah alani jalankan.
“Papah kenapa ke sini?”
“Kursimu sangat empuk. Kau betah duduk di sini?”
“Maksud papah apa?”
Harland menumpukkan kedua tangannya di meja. “Papah ke sini karena ingin membicarakan tentang Diva.”
Sesuatu yang tidak enak serasa menusuk jantungnya. Papahnya tidak ingin membahas masalah pekerjaan tapi masalah pribadi.
“Diva sehat.”
“Papah minta kamu ceraikan Diva setelah dia melahirkan.”
“Apa!” Alan terperanjat. Permintaan papahnya serasa lelucon di siang bolong. “Apa yang mendorong papah meminta hal itu?”
“Diva bukan bagian dari keluarga Prasodjo. Penggabungan perusahaan yang telah berjalan tidak akan menguntungkan bagi kita. Diva tak akan mendapat harta dari keluarga Prasodjo sepeser pun.”
“hanya karena itu?”
“Itu penting. Sangat penting. Kita tidak akan memiliki kekuasaan yang lebih dominan di penggabungan ini.”
Alan tahu obsesi ayahnya hanya tentang harta, itu yang membuat mereka kerap berselisih paham awalnya Alan menentang tapi setelah menjalani kehidupan pernikahan yang tenang ia menjadi lebih banyak mengalah namun ketika hubungannya yang sudah berjalan nyaman, anak yang dinantinya akan datang, ayahnya meminta sesuatu yang sulit dikabulkan. Menceraikan Diva sama saja mengambil separuh nyawanya.
“Apa itu saja yang papah pikirkan? Bagaimana anakku, bagaimana kebahagiaanku?”
Harland mendesah, perlahan ia berdiri lalu berjalan mendekat ke arah sang putra. “Anakmu adalah bagian keluarga kita, kita akan membesarkannya. Banyak perempuan di luar sana yang lebih dari pada Diva. Berpikirlah dengan menjadi duda, maka kau akan lebih bebas dan leluasa mendekati para wanita. Aku mengembalikan kesenanganmu dulu.”
Sayangnya kesenangan itu telah Alan kubur dalam-dalam semenjak memiliki Diva sebagai istrinya. “Tidak Pah, aku tidak mau.”
“Jangan bodoh. Berpikirlah jernih. Sebagai gantinya kau dapat menikahi Lexa. Lexa lebih praktis, istri yang lebih logis dan bisa berkompromi jika kau masih menginginkan perempuan lain.”
Alan tidak bisa membayangkan berpasangan dengan Lexa. Hidupnya sudah teratur semenjak Diva ada. Ia butuh kestabilan, butuh hubungan hangat berlandaskan kasih sayang dan tentu saja hubungan yang harmonis agar tak ada lagi anak seperti dirinya, tak ada lagi wanita yang menderita seperti sang ibu kandung.
“Lexa yang meninggalkanku lalu dia ingin kembali setelah membuang mempelainya. Ini juga tidak adil untuk Diva. Diva mengorbankan segalanya, menggantikan kakaknya yang tidak bertanggung jawab dan hampir dicelakai oleh kakaknya yang lain.”
“Itu sebanding dengan hidup yang Diva peroleh. Keluarga kaya, koneksi luas, harta berlimpah dan tak pernah kekurangan. Bayangkan jika ayah Diva tak menikahi Ibu Lexa, Diva akan jadi gelandangan bahkan tak akan sederajat berdiri denganmu. Lagi pula setelah perceraian kalian Diva akan menerima kompensasi yang pantas.”
Telapak tangan Alan mengepal, ia benar-benar marah dan murka. Hidupnya memang bukan miliknya semenjak ia terlahir sebagai keluarga Wijaya, ia selalu mencari bahagia dengan menghamburkan kesenangan dan uang setelah yang namanya kebahagiaan ia capai. Sang ayah hendak menyingkirkannya. Alan tak bisa terima. “Apa di mata papah, aku Cuma boneka yang menuruti semua keinginan papah. Aku tetap dengan keputusanku. Aku tidak mau menceraikan Diva. Silakan papah angkat kaki dari ruanganku.”
Harland menggeram murka namun ia tutupi dengan senyum licik nan penuh ancaman. “ Semua yang kau miliki pemberian papah, termasuk ruangan dan posisi ini. Kau berani mengusir papah?”
“Baiklah, kalau begitu biar aku yang pergi.”
Mata Tua Harland sempat melebar sedikit, Alan berani menentangnya tapi itu tidak akan berlangsung lama. “Kau akan jatuh miskin. Pikirkan permintaan papah baik-baik.”.
Alan malah mencopot dan melempar jasnya sebelum pergi. Ia menantang ayahnya, toh Alan sudah muak menuruti kehendak Harland. Terus terang ia bukan wayang dan Harland sebagai dalangnya.
Para karyawannya merasa aneh saat Alan ke luar ruangan dengan muka dan penampilan kusut. Hanya sang sekertaris yang bernai mendekat sambil membawa rantang. “Pak, tadi Bu Diva kemari tapi karena gak mau mengganggu bapak dan Pak Harland. Dia buru-buru pamit pergi.”
Alan terpaku di tempat sambil menerima wadah makanan. Diva sempat ke sini, mereka bukannya janjian makan siang hari ini. Istrinya datang dan mendengar percakapan yang tak enak diterima itu. Diva tentu saja pergi karena sadar telah dibicarakan. Tak menunggu lama, Alan lari menuju ke parkiran menyusul Diva, mencari keberadaan istrinya namun begitu membuka mobil. Ia menerima telepon dari sebuah nomer asing. Alan awalnya tak mau mengangkat namun setelah menempatkan diri di kursi pengemudi. Teleponnya enggan berhenti berbunyi. Dengan asal-asalan Alan mengangkatnya namun baru beberapa detik ia menjatuhkan ponselnya karena sangat terkejut dengan berita yang baru saja ia dengar.
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
Jangan lupa vote dan komentarnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top