Jatuh cinta begini rasanya.
Alan tak pernah bosan melihat punggung telanjang istrinya dari belakang. Kulit Diva memang tak sebersih kulit Alexandra, namun kenapa kulit eksotis ini begitu menggiurkan dan tak jemu untuk dipandang.
"Hmm...." Tubuh Diva menggeliat bangun, ia merentangkan ke dua tangannya untuk melakukan peregangan. Namun tanpa sengaja, selimut yang membungkus tubuh telanjangnya melorot.
"Jam berapa ini?"
"Baru jam 6," Jawab Alan dengan suara serak. Saat Diva akan melangkah turun, tangan Alan menahannya agar tak beranjak dari ranjang." Masih sempat kan 1 ronde lagi? ".
Dahi Diva berkerut tajam lalu tersenyum sambil menggigit bibir. "Kau pernah mendengar istilah, sekali dayung dua pulau terlampaui?".
Mata mereka bermain kode dan sama-sama memandang ke arah pintu kamar mandi.
"Kya....". Tubuh Diva terangkat naik, Alan langsung membopongnya untuk masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan hal yang menyenangkan di sana.
🌸🌸🍵🍵
Alan kira Diva tak bisa memasak atau ia akan masak sesuatu yang keasinan, kekosongan atau setengah matang. Nyatanya kemampuan memasak Diva bisa di acungi jempol walau hanya menggoreng telur dan memasak nasi putih.
"Kamu bisa masak?".
"Iya tapi yang simpel aja aku bisa". Diva terbiasa Mandiri sejak ia memutuskan sekolah di asrama dam memilih kuliah di luar kota. Diva di paksa harus bisa mengurusi dirinya sendiri dan jauh dari orang tua. Memang ada Rion yang menjaganya namun tetap saja mereka tak 24 jam bersama bukan? Rion dulu hanya menyewa apartemen di samping milik Diva namun tetap membiarkannya kelaparan.
"Apa lagi keahlianmu? Mencuci, mengepel, mengurusku dengan baik?". Diva memutar bola mata dengan malas.
"Aku bukan pembantu tapi kalau cuma menyapu, mengepel asal-asalan aku bisa lagi pula apartemen ini begitu kecil". Memang selama ini Alan membayar orang untuk membersihkan apartemen ibunya. Dia jarang ke mari, ia lebih senang berada di apartemen pribadinya. Ngomong-ngomong dia mau menjual apartemen yang biasa ia tenpati, rencananya Alan akan menyicil rumah dengan uang itu. Tak mungkin ia tinggal di tempat sekecil ini, kalau nanti dia punya anak bagaimana.
"Apa kau hari ini berangkat kerja?".
"Masa cutiku sudah habis". Diva menjawab dengan penuh penyesalan, Alan yang sedang mengunyah telur ceplok meletakkan garpunya. "Kamu kapan masuk?".
"Terserah aku, kan aku pemimpinnya". Jawabnya santai. "Dan kau kenapa tak berhenti bekerja?".
"Lexa pergi, kak Alex sendirian. Mana tega aku lepas tangan!". Diingatkan dengan lexa, Alan langsung murung. Ia mengingat bagaimana perempuan itu meninggalkannya, bukan sakit tak lebih ke arah kecewa telah terkhianati. Diva sadar suaminya melamun saat nama kakaknya di sebut. Apa Alan menyesal telah menikah dengannya?. "Apa kau menyesal, Lexa pergi?".
"Tentu tidak, hanya kenapa ia tak bicara dulu denganku? Bagaimana pun juga, kita berteman".
Setitik kelegaaan hadir di hati Diva. Rasanya menggantikan posisi Lexa bukan keinginannya. Ia takut Alan akan menolak kehadirannya, menolak bersamanya, menghindar lalu pergi dengan sebuah perceraian. Maka dari awal Diva membangun sebuah benteng yang menghalaunya dari luka namun jika
Alan sendiri mengulurkan sebuah kesepakatan bahagia. Apa Diva bisa percaya dan berharap? Jangan sampai menghancurkan hatinya kembali, karena Diva yakin kali ini hatinya akan jadi remahan yang tertiup di bawa oleh angin.
🐤🐤🐤🎆🐤🎆🎆🐤🎆
Ucapan selamat dan karangan bunga memenuhi meja kerja Diva dan juga menyambutnya ketika ia pertama masuk kerja. Ia hanya bisa mengumbar senyum lalu berjalan penuh bahagia. Inikah rasanya jadi pengantin baru? Pipi Diva bersemu merah mengingat malam-malamnya bersama Alan. Malam panas, menggelora, dan penuh dengan keringat. Diva yakin cinta Alan akan tumbuh berjalannya waktu, ia hanya berusaha dengan keras menjadi istri yang baik.
"Ehm... ehmm". Diva menengok ke arah pintu masuk, kakak laki-lakinya sudah berdiri menjulang sambil memasukkan tangannya ke saku celana.
"Kakak!!". Diva tersenyum ceria tapi entah kenapa kakinya terpaku di tempat. Sorot mata kakaknya tak sehangat dahulu.
"Hari ini kita sibuk sekali Diva, bisa tolong seseorang untuk menyingkirkan bunga-bunga dari ruanganmu?". Senyum Diva yang tadi mengembang penuh kini berangsur-angsur hilang di telan kegetiran. Bunga-bunga ini masih ingin Diva pandangi. Tulisannya masih ingin Diva baca dan resapi.
"Baiklah kak, nanti akan aku suruh OB untuk menyingkirkannya". Alex berbalik pergi begitu saja tanpa menghampiri adik kesayangannya. Hatinya sangat sakit ketika melihat berbagai macam tulisan selamat dan karangan bunga yang di susun cantik hanya untuk Diva dan juga Alan. Apalagi Diva tadi tak memeluknya atau memberikan kecupan pipi seperti biasanya.
Namun Alex sudah menyusun sebuah rencana agar Alan dan Diva semakin menjauh dan akhirnya berpisah. Rencana yang amat matang, Alex memanfaatkan ketidak adaaan Rion agar bisa mengintimidasi Diva di kantor.
Diva rasa kakaknya mungkin sedang galau, atau bertengkar dengan tunangannya makanya berwajah tak menyenangkan seperti tadi tapi ada sedikit yang mengganggu pikiran sih, apa kakaknya itu marah Diva tak pulang malah mengungsi ke rumah Rion. Diva kan sudah biasa melakukan hal itu, apa yang salah?
"Bodoh... bodoh...". Diva ingat hubungan dirinya dengan Rion harusnya di beri jarak karena dia kan sudah menikah. Kalau Diva terlalu akrab dengan Rion pastilah keluarga Alan akan salah paham dan berdampak pada nama baik keluarga prasodjo dan Wijaya.
Diva juga merasakan kalau kepergian Lexa berpengaruh besar. Buktinya semua pekerjaan kakak perempuannya di alihkan ke dirinya. Belum lagi dia harus menyelesaikan pekerjaannya sendiri karena kelamaan mengambil cuti. Alexandra itu seorang manager marketing, dia pintar melobi kolega tentu dengan kata-kata manis dan juga mengangkat rok. Sedang Diva bisa di katakan tak punya kemampuan seperti itu.
Kenapa juga Alexander tak mencari pengganti Alexandra padahal ayah mereka sudah menyuruh untuk memecat Alexandra dan mengakuisisi sahamnya di hotel. Karena kakak perempuan Diva itu telah mencoreng nama baik keluarga.
Diva beberapa kali menguap kelelahan. Sudah jam berapa ini? Ia tadi saja melewatkan jam makan siang karena terlalu sibuk dan
"Astaga!!". Dia mengecek ponsel, ternyata sudah hampir jam 8 malam. Ada beberapa kali panggilan dari Alan dan juga Rion yang Diva abaikan. Dengan kecepatan penuh ia berlari menuju lift dan turun ke lantai basement, tempat mobilnya berada tapi kesialan tak pernah beranjak dari Diva. Ban mobilnya kempes. Terpaksa dia memesan taksi agar bisa pulang.
Alex ternyata belum pulang, ia mengamati Diva dari layar monitor yang dihubungkan ke CCTV kantor. Alex tersenyum puas ketika melihat Diva kelabakan karena terlalu banyak pekerjaan dan dengan liciknya ia menyuruh orang untuk mengempeskan ban mobil Diva. Ini baru permulaan masih banyak nanti hal yang akan Alex lakukan agar Diva dan Alan menjauh perlahan-lahan.
Pukul 9 Diva baru sampai apartemen dengan berjalan mengendap-endap. Ia takut di marahi Alan namun Diva terkejut saat tahu Alan menunggunya di ruang tamu dengan berbagai macam makanan yang telah dingin.
"Kau baru pulang?".
Dengan muka penuh rasa bersalah, ia meletakkan tas kerjanya di sudut sofa lalu ikut duduk. "Maaf aku mengabaikanmu, aku sangat sibuk di kantor. Karena cuti dan lexa pergi pekerjaanku jadi banyak sekali".
"Mari makan, aku menunggumu dari tadi dan setelah itu baru mandi". Diva tak menyangka Alan tak akan marah, apa dia berharap suaminya marah dan memakinya? Tentu tidak, dia lebih suka Alan jadi pengertian namun reaksi Alan begitu aneh menurutnya untuk suami yang di abaikan istri seharian penuh padahal mereka masih pengantin baru.
Diva mengabaikan semua pikiran absurbnya, ia mengambil makanan dan mengunyahnya. Lebih baik seperti ini, mengisi perut kini lebih utama sebab Diva sangat kelaparan. Alan malah semakin aneh dengan mrngambilkan makanan untuk istrinya, dia sendiri malah tak menyentuh makanannya sama sekali.
"Kau tahu, Lexa itu benar-benar kakak sialan. Selain meninggalkan pengantinnya, dia juga meninggalkan banyak pekerjaan yang sangat banyak ". Di singgung masalah Lexa, Alan kini malah tersenyum sambil memijit tangan Diva yang pegal. "Beruntunglah kau tak menikahinya, para kolega Lexa itu orang yang sangat genit. Aku yakin Lexa banyak mendapatkan uang tambahan dari para investor". Diva asyik berceloteh tentang pekerjaannya namun Alan malah melamun, sibuk dengan pikirannya sendiri. Ingatannya terlempar ke siang tadi, ia yang tengah bersantai tiba-tiba di hubungi seseorang yang menangis tersedu-sedu dan mengajak bertemu.
"Alan!!". Jessica langsung berhambur memeluk Alan dengan erat sambil menumpahkan tangisannya di pelukan cinta pertamanya.
"Hey, Jessi jangan seperti ini. Sebaiknya kita duduk dan memesan makanan saja". Tentu Alan merasakan risih saat Jessica memeluknya apalagi kini semua penghuni restoran memandang ke arah mereka berdua.
"Ada apa?". Tanyanya hangat, Alan kini sudah berhadap-hadapan dengan Jessica.
"Aku di usir oleh anak suamiku, mereka menuduh kalau anak yang aku kandung bukan saudara mereka". Alan meneguk ludahnya kasar, ia pun ragu siapa sebenarnya ayah dari anak yang di kandung Jessica namun untuk bertanya langsung, mana tega. "Aku terpaksa kembali ke Jakarta, aku bingung harus bagaimana. Suamiku baru saja meninggal dan kau tahu aku tak punya siapapun".
Alan kenal betul, Jessica seorang yatim piatu. Ia perempuan yang hidup cukup sulit dari kecil. Alan mewajari sikap tamak dan materialisnya. Hidup tanpa orang tua dan harus kelaparan serta menghadapi kerasnya jalanan menjadikan Jessica perempuan tak tahu malu dan menghalalkan segala cara agar mencapai tujuan hidup yaitu harta dan kedudukan terhormat. Namun untuk di jadikan Jessica tempat sandaran lagi, Alan rasa ia tak mampu.
"Lalu kenapa kau tiba-tiba menghubungi ku?".
"Seburuk apapun masa lalu kita, kamu adalah orang yang paling dekat denganku bukan?". Inilah yang Alan benci dari dirinya. Tatapan Jessica yang seperti anak anjing minta makan dan di kasihani, membuatnya lemah dari kecil. Alan bertemu Jessica ketika berusia 12 tahun, mereka bertemu di jalanan dengan Jessica kecil yang jauh penampilan nya dari Jessica dewasa.
"Iya".
"Tolong jangan tinggalkan aku seperti mereka".
"Tapi kini berbeda Jessica, aku sudah punya seorang istri". Dalam hati tentu Jessica tak terima, Alan mengatakan kalau dirinya sudah jadi suami orang. Alan selamanya hanya untuknya, tempatnya pulang bukan milik orang lain. Tapi tetap saja Jessica pintar memasang mimik wajah yang biasa saja.
"Kita berteman, aku tidak meminta lebih. Aku cukup tahu diri". Alan tak tahu harus mengatakan apa, dia memikirkan janjinya pada Diva. Dengan mengulurkan kepedulian terhadap Jessica secara tak langsung ia telah Mengkhianati sumpah setianya pada sang istri namun jika harus mengabaikan Jessica ia tak sanggup.
"Kak Alex juga semakin menyebalkan semenjak Lexa tak ada. Dia seperti menumpukan semua pekerjaan padaku. Kau tahu mobilku bannya kempes dan ku tinggal di hotel". Diva merasakan keheranan, pijitan Alan tak berpindah tempat. Tatapan mata suaminya kosong, Alan dari tadi sebenarnya mendengar ucapan atau tidak sih.
"Hey...". Dengan terpaksa Diva mengguncang tubuh Alan.
"Iya aku tahu, aku mendengarkanmu". Jawabnya sekenanya. Tak mau Diva berceloteh lebih panjang lagi, Alan memeluk tubuhnya dengan erat. Mereka kini sama-sama merebahkan diri di atas tempat tidur. "Apa kau tak lelah berbicara terus dari tadi?".
"Ehm... kenapa kau tak suka memiliki istri yang cerewet?".
Alan mencium puncak kepala istrinya, menghirup dalam aroma shampo yang Diva pakai. Ia menemukan kedamaian, menemukan apa yang di sebut keluarga di sini. Diva merasa aneh Alan memeluknya semakin kencang dan erat.
"Aku menyukai segalanya yang tentang dirimu".
Bantu aku Diva, bantu aku untuk mencintaimu.
"Aku juga menyukaimu". Bukan hanya menyukai tapi juga aku mencintaimu.
🍆🍆🍆🍆🍆🍆🍆🍆🍆
Lama gak update, karena ngurus karya lain. Sekarang berusaha mengikuti jadwal namun masih suka gak tepat janji.
Silahkan vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top