Harus diakhiri

“Merepotkan.” Satu kata yang membuat Alex menoleh. Lexa datang di sebelahnya dengan membawa segelas jus jeruk. “Kenapa Diva sekarang malah koma.”

“Akan ku bunuh Alan!”

Dahi lexa mengerut dalam, ia sudah lama tahu jika kakaKnya terserang gangguan jiwa tapi terasa menakutkan jika Alan yang dibunuh. Lexa belum bisa merebut pria itu. “kenapa mesti Alan yang dibunuh. Kecelakaan Diva itu musibah.”

“Tidak terjadi jika Alan bisa menjaganya.”

“Bukannya kau beberapa kali mencelakai mereka. Kenapa kaget begitu mengetahui jika Diva celaka, bukannya itu juga tujuanmu?”

Alex berdiri, melotot pada saudara kembarnya. “Aku ingin Alan mati bukan Diva.”

“Aku ingin Diva tersingkir bukan malah koma hingga memakan waktu. Aku menginginkan Alan, jangan berani kau menyentuhnya! Aku sangat berharap Diva yang mati agar semuanya mudah!”

Perkataan Lexa yang lancang dihadiahi Alex dengan cekikan leher. Pria itu tak peduli jika Lexa itu saudaranya, ia akan membunuh siapa pun yang menginginkan Diva celaka. Lexa sendiri sampai berteriak meminta tolong, ia tahu jika Alex sudah kehilangan kendali, riwayatnya bisa saja berakhir. Untungnya Soetopo dan Diana datang tepat waktu melerai keduanya itu pun dengan bantuan para pelayan.

“Alex! Kenapa kamu bersikap seperti ini pada saudaramu?”

Lexa terbatuk sambil mengusap-usap lehernya yang memar dan sakit karena cekikan Alex. “Dia menginginkan Diva mati.”

“Benar begitu Lexa?”

Lexa membuang mukanya yang kesal, maminya bertanya hal yang tak perlu dijawab. “Mami udah tahu jawabannya.”

“Lexa!” teriak Diana. Lexa sendiri malah memilih pergi.

“Mami gak perlu tanya. Karena kalau Diva gak ada segalanya akan mudah. Aku akan mendapatkan posisiku kembali di keluarga ini maupun di kantor.”

Plakk

Diana menampar lexa dengan keras hingga leher putrinya memutar. “Beraninya mami nampar aku!”

“Itu yang pantas kamu dapatkan. Kamu seolah mau kembali tanpa rasa bersalah lalu mengambil semua yang kamu kira  milik kamu. Hidup Diva sudah bahagia.,”

“Mami kira begitu? Mami kira Cuma aku yang menginginkan Diva tiada. Om Harland menyuruh alan menceraikan Diva setelah tahu asal muasalnya dari mana. Diva jadi manusia tidak berguna, Diva tak punya saham apa pun di keluarga kita. Dia tidak ada harganya di hadapan keluarga Wijaya. Tinggal menunggu waktu Alan menceraikannya apalagi sekarang Diva lagi koma. Perceraian itu pasti terwujud, lagi pula Om Harland sudah mendapatkan cucunya.”

Tamparan kedua Diana daratkan itu pun tak membuat Lexa jera malah putrinya itu semakin menunjukkan wajah bengisnya. “Semua yang kamu katakan salah!”

“Aku yang menemui Om Harland secara langsung. Dia berjanji akan memberikan Alan padaku, aku yang akan menjadi menantunya bukan Diva anak kesayangan mami.” Desis Lexa sebelum ke luar rumah. Diana Cuma bisa menangis mengetahui kenyataan pahit ini walau sulit dipercayai tapi mungkin yang dikatakan Lexa benar. Mengingat watak Harland Wijaya yang Cuma memikirkan untung dan rugi. Tapi kesedihan Diana semakin terasa saat Soetopo berdiri tak jauh dari mereka. Suaminya mendengar semuanya, bahkan dengan semua yang Soetopo lakukan untuk keluarga ini tak menjamin jika ia dan putrinya bisa diterima. Soetopo merasa seperti terkhianati apalagi ia juga menemukan beberapa rahasia yang istrinya sembunyikan. Alex yang terobsesi pada Diva, Lexa pergi karena hamil dan sekarang sudah memiliki anak.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Alan dengan setia mengamati istrinya dibalik kaca pembatas ruangan. Semua alat kesehatan telah terpasang, detak jantung, selang oksigen dan beberapa alat penunjang kehidupan. Alan tak pernah tahu kapan istrinya akan bangun. Anak mereka juga masih berada di inkubator berjuang untuk hidup. Kalau bisa mengulang waktu, Alan tak akan menerima kedatangan ayahnya. Ia akan langsung menjemput Diva di rumah, mereka bisa makan siang dengan romantis dan aman.

“Kau akan mudah mengambil keputusan karena kesehatan Diva kan?”

Sang ayah tak punya hati, tak membiarkan Alan bisa tenang walau sesaat. “keputusanku sama dengan semula. Aku tidak akan menceraikan istriku.”

“Dia sekarat, sewaktu-waktu bisa mati.”

“Jaga ucapan papah.”

“Itu kenyataannya, menceraikannya saat ini atau nanti sama saja.”

“Harland!” teriak seseorang yang murka di belakang mereka. Soetopo berdiri, mendengar semua hal yang tidak ingin ia dengar dalam sehari. Besannya menginginkan anaknya mati dan bercerai setelah kenyataan terungkap. Betapa piciknya pikiran Harland, tak ada bedanya dengan Diana yang menganggap putrinya Cuma pion yang bisa dimanfaatkan.

“Beraninya kau mendoakan putriku mati!” Walau Soetopo sudah lanjut usia namun ia masih mampu mencekik bahkan memukul Harland sampai tak sadarkan diri.

“Aku berharap dia segera sadar agar bisa menandatangani surat cerai.”

“Sudah ku bilang aku tidak akan menceraikan Diva!” Alan yang kali ini berteriak. Ayahnya benar-benar tuli hingga tak mengerti apa yang ia inginkan.

“Kalian akan tetap berpisah pada akhirnya.”

“Apa fungsi putriku Cuma melahirkan keturuananmu dan setelah itu kau bisa membuangnya seperti sampah. Apa kau tidak pernah sedikit pun peduli dan menyayanginya sebagai menantu?”

Harland mengeraskan hati karena sejatinya rasa kasih sayang tak mendapatkan keuntungan apa pun. “Hubungan kita terjadi karena sebuah kesepakatan bisnis. Bila salah satu merasa tidak diuntungkan bukannya kontrak harus diakhiri.”

“Kau pikir pernikahan mereka adalah kontrak.”

“Iya. Bukankah kita yang menyetujuinya tanpa mereka bilang bersedia. Ayolah kau tidak boleh munafik. Kau juga tahu pernikahan mereka adalah sebuah kesepakatan. Kau tidak menikahkan putrimu dengan orang yang ia cinta. Kita sama jadi jangan berlagak menjadi korban dan berpura-pura teraniaya.”

Soetopo mengepalkan tangan. Ia tahu apa kewajibannya. Dulu menikahkan Alan dan Diva, Soetopo berpikir bisa mendekatkan kekerabatan dengan Harland sekaligus menemukan pria baik untuk putrinya namun terkaannya salah. Ia mendorong Diva ke lubang buaya, ke lubang yang berisi kesengsaraan. Tak terasa mata Soetopo basah, ia ikut andil dalam hidup sang putri. Bagaimana ia akan menemui Diva jika sadar nanti.

“Pi, aku tidak akan menceraikan Diva.”

Soetopo merentangkan tangan merasa bahwa janji Alan tak menjamin apa pun. Putrinya yang sedang koma adalah korban keserakahan semua orang. Ia yang harus menyelamatkannya, ia yang harus meraih tangan putrinya untuk bangkit. “Papi Cuma ingin Diva segera sadar.”

“Pi...” panggil Diana yang baru saja datang berkunjung bersama Alex.

“Papi tenang aja, kalau Om Harland nekat memisahkan Diva dan Alan biar nanti Alex yang menerima Diva.”

“Cukup..” Soetopo berucap sembari memasang wajah penuh keputus asaan.

“Diva gak akan menerima kamu sebagai pasangan, kamu bagi Diva adalah kakaknya.”

Alex tersenyum tenang seolah semua hal dapat ia atasi. “Lama kelamaan Diva pasti bisa menerima Alex.”

“Cukup sekali papi memaksa Diva menerima suami yang tidak dia inginkan. Tidak ada kedua kali.”

“Papi kamu benar Alex. Bagaimana nanti Diva akan aman dalam perlindungan kami. Mami tak peduli dengan kalian, yang terpenting Diva bisa sembuh dulu.”

Andai semuanya bisa kembali seperti semula namun bagi Soetopo kebohongan istrinya telah membuat rasa percayanya hilang. Soetopo seolah kembali menjadi bawahan orang tua Diana yang tak bisa memberi saran atau keputusan walau sudah diangkat sebagai menantu. “Untuk apa? Untuk bisa kamu manfaatkan lagi untuk menambal kesalahan putrimu. Aku tahu Lexa pergi kabur bukan karena tidak ingin menikah. Dia hamil kan, mengandung anak pria lain dan sekarang berniat kembali untuk mengambil apa yang menjadi miliknya.”

“Pi...”

“Diva putriku selalu mengalah dengan Lexa dan juga selalu melindunginya. Tugas putriku sudah selesai sekarang, hutang budiku harusnya sudah lunas.” Diana hendak meraih bahu suaminya untuk dipeluk namun dilihat dari ekspresi Soetopo. Pria paruh baya itu berusaha menjauh. Yang membuat Diana terbelalak adalah kedua tangan Soetopo mengatup dan di letakkan di depan dada. “Ku mohon padamu dan keluargamu. Lepaskan kami dari pengabdian dan balas budi ini.”

“Pi jangan begitu. Kita keluarga, Diva juga putriku.”

“Kau bisa mengatakan seribu kali kalau Diva juga putrimu namun kenyatannya dia Cuma ban serep dan penambal. Dia punya kewajiban terhadap keluarga ini pada saat anakmu yang lain berbuat seenaknya. Diva tak punya hak atas harta orang lain yang ia jaga. Terima kasih karena memberi kami nama, makan, sandang dan kedudukan. Memberi kami tempat terhormat, tapi kami sudah lelah dan menyerah. Nama Prasodjo tak cocok lagi untuk kami.”

Diana menutup mulut, menangis pilu. Begitukah yang selama ini suaminya pikirkan bahwa ia sengaja menjadikan Soetopo suami sekaligus tameng lalu terpaksa menerima Diva memberi nama keluarganya. Memanfaatkan mereka sebagai bidaknya. Demi Tuhan Diana menyayangi Diva dan juga mencintai suaminya namun ia memang tak punya kuasa atas keputusan sang ayah. Soetopo menjabat sebagai direktur memang Cuma simbol, tetap saja yang menguasai saham perusahaan adalah Diana beserta anaknya. Diva bekerja keras untuk memajukan perusahaan namun tetap saja semua pengorbanannya tak pernah cukup hingga harus mengorbankan hidupnya juga.

🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top