Bertemu kenangan lama
Diva memasang lagi piala kemenangan yang Rion berikan untuk peternakan mereka. Ada rasa haru dan juga bangga. Kakaknya bukan hanya menyumbangkan piala namun uang nyang lumayan banyak juga menyertainya. Uang itu digunakan untuk mengembangkan peternakan.
Sang ayah duduk di kursi goyang sambil memangku Maxi lalu minum segelas brendi untuk merayakan kemenangan Rion. Ibunya, Salsa dan Maura duduk di sekitar mereka dilengkapi hidangan berupa kalkun panggang. Mereka sering memasak besar untuk merayakan hal kecil. Kehangatan keluarga yang mereka utamakan.
“Ada kabar gembira. Ada sebuah perusahaan yang mau mensponsori peternakan kita untuk melakukan pacuan kuda bertaraf internasional yang dilakukan di Italia.”
“Wow.. perusahaan itu berani sekali,” ujar Maura sambil mengambil cemilan di atas meja. “Bukannya biayanya akan sangat mahal. Perusahaan itu sangat percaya pada kita kah?”
“Jangan lewatkan kesempatan emas ini. Jangan pesimis,” timpal Soetopo memberi semangat.
“Tapi apa kuda kita bisa siap untuk pertandinmgan bertaraf internasional. Bukannya pesimis. Kuda-kuda kita unggulan lokal namun belum diuji secara mendunia. Aku pernah membaca kuda unggulan dunia dirawat oleh para ahli dan menyertakan lingkungan yang sempurna. Tentu dengan pakan rumput terpilih. Apa kita sanggup memenuhinya? Aku pernah membaca kuda unggulan harus dirawat di tempat khusus juga, dengan suhu tertentu.”
“Ini tantangan untuk kita kalau perusahaan itu bersedia menggelontorkan dana.”
“sudah..sudah waktunya berhenti bicara. Kita akan minum dan menikmati hidangan.” Iris datang dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas teh hangat. Teh ini sangat nikmat, karena dipetik dan ditanam sendiri.
Namun belum juga menyeruput minuman, Pusing yang Diva alami kembali hingga tangannya bergetar dan gelasnya jatuh ke lantai.
Pyar
“Ada apa?”
“Maaf Mah, kepalaku pusing. Nyeri di kepalaku datang lagi.” Semua orang di sana mengarahkan pandangan pada Kanaya yang kini memijit pelipisnya pelan. Iris dengan sigap menghampiri sang putri lalu menyuruh Maura membersihkan pecahan kaca. Iris langsung membawa Kanaya menuju kamar untuk beristirahat.
“Kita Harus membawa Kanaya ke kota untuk memeriksakannya lagi.” Rion yang berbicara, sudah lama sang istri Salsa memberitahunya jika adiknya sering mengalami sakit kepala.
“Iya. Tapi kita harus bilang apa tentang penyakitnya itu?”
“Memang Kak Kanaya sakit?” sepasang suami istri itu hanya saling menatap, ia lupa ada Maura di sini yang tak tahu apa-apa. Salah-salah mereka bisa membongkar semuanya.
Soetopo perlahan turun dari kursi goyang lalu menyerahkan Max yang tertidur pada sang Ibu, Salsa. “Biar masalah Kanaya papah yang urus.” Soetopo tak mau membuat semua orang panik. Kanaya atau Diva mengalami benturan saat kecelakaan dulu dan mungkin itu yang mendatangkan sakit kepala. Ynag membuat pria paruh baya itu khawatir adalah Bagaimana jika putrinya mengingat masa lalunya dan menuntut kembali pada sang suami. Bagaimana bisa Soetopo menjelaskan bahwa selama ini ia menutupi bahkan menyembunyikan Diva dari hadapan dunia.
🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍑🍒
Alan sudah menemukan alamat peternakan, tempat di mana kuda pacuan kemarin menang. Tak sulit mengorek informasi dengan beberapa lembar uang, yang sulit adalah menghadapi dirinya sendiri. Akankah ia berani menemui Rion seorang diri atau menyuruh orang lain untuk mewakilinya. Alan bukan pengecut lagi pula Diva itu istrinya, ia berhak penuh mengetahui keberadaan sang istri. Dilan juga sangat membutuhkan ibunya.
Alan menunggu di sebuah rumah makan, kakinya tak berhenti bergetar. Agennya yang diperintahkannya memberitahu bahwa pemilik peternakan akan menemuinya sendiri. Alan sengaja membelakangi pintu, siapa pun pemilik peternakan tak boleh tahu bahwa Alan yang menunggu.
Alan merasakan ketegangan luar biasa saat mendengar derap langkah sepatu. Seorang pelayan mempersilahkan seseorang yang coba ia gali suaranya.
“Tuan, silakan duduk.” Agennya yang pertama menyambut baru kemudian ia berbalik. Di hadapannya kini ada Soetopo yang sama tegang dan terkejutnya seperti dirinya. Pria tua itu terlihat sama seperti lima tahun lalu yang membedakan adalah tubuh Soetopo lebih kurus serta aura wibawanya kini tak ada digantikan raut tua yang lebih bijaksana.
Soetopo duduk di depan Alan dengan enggan. Ia memasang senyum ramah terpaksa berbeda dengan Alan yang tak mau menunjukkan basa-basi. Ia memasang Ekspresi kaku dan kejam.
“Bisa tinggalkan kami berdua.”
“Bukannya kalian membutuhkan perantara agar lebih santai membicarakan tentang bisnis.” Dan sepertinya sang agen keberatan meninggalkan mereka.
“Tuan, sebaiknya kami bicara berdua tanpa ada penghalang. Kami akan tetap membayar jasa anda.” Jika itu berhubungan dengan uang setiap orang jadi memiliki otak. Agen itu pergi dengan rela meninggalkan keduanya untuk berbicara empat mata.
“Apa kabar Pi?”
“Baik.” Tak ada nada ramah dari keduanya. “ Akhirnya kau menemukanku?”
“Butuh waktu lama kan Pi. Terus terang saja aku mau tahu kabar Diva, istriku.” Sengaja Alan menekan kalimat terakhirnya.
“Bukannya kau sudah ku suruh mengurusi perceraian kalian? Diva bukan lagi istrimu kan, dia juga sudah menghilang terlalu lama.”
“Aku tidak pernah menceraikannya, secara teknis ia masih istriku. Sekarang di mana dia berada?” Desisnya penuh penekanan. Badan Alan sengaja condong ke depan untuk mengintimidasi Soetopo. Tak ada gunanya sopan santun, pria ini menyembunyikan sang istri terlalu lama.
Soetopo Cuma diam seolah menimbang sesuatu. “ Dia jelas masih hidup kan?”
“Diva masih hidup, menjalani hidupnya yang sekarang dnegan bahagia. Kau bisa membiarkannya terus begitu. Kalian bisa menjalani hidup masing-masing dengan baik sampai sekarang.”
Tidak semudah yang diucapkan. Jelas Alan membutuhkan sang istri, ia lambat menyadari jika perasaan pada Diva bercokol kuat. Singkatnya Alan mencintai istrinya hingga sekarang. “Bagaimana Papi bisa bicara seperti itu? Papi lupa kami punya anak. Anak itu butuh ibunya.”
Untuk sesaat raut wajah Soetopo goyah. Ia lupa jika Diva sebenarnya mempunyai seorang putra, putra Diva setahun lebih tua dari Max cucunya. “Kenapa kau tidak cerita saja kalau ibunya telah meninggal.”
“Papi telah memisahkan ibu dan anak lalu Papi menyuruhku mengarang cerita sekeji itu. Di mana Hati Papi, putraku juga darah daging papi.” Namun kesehatan mental Diva bahkan jauh lebih penting. Bagaimana jika Diva belum siap menerima kenyataan bahwa ia adalah seroang istri yang terbuang, tersingkir karena bisnis semata juga sekaligus ibu yang nyawanya tak lebih berharga dari anak yang dilahirkannya. Mungkin keputusan Soetopo dulu memang diliputi emosi serta ego namun terbukti pilihannya tepat. Memisahkan hidup Diva dengan keluarga Wijaya serta Prasodjo.
“Keadaannya sudah berbeda. Kenapa Diva selama ini tidak datang padamu, lalu mengambil anaknya kalau dia masih hidup? Kau tidak mau alasannya.”
“Dia mungkin tidak kembali karena takut pada papi.” Terkaan Alan salah, Soetopo menggeleng pelan sambil meringis pedih. Diingatkan dengan perjuangannya membuat Diva tersadar dan menjalani hidupnya dengan normal.
“Setelah kecelakaan itu Diva koma selama dua tahun. Dia bangun tapi kakinya sempat lumpuh. Butuh terapi enam bulan untuk memulihkan keadaan seperti semula namun ada hal lain yang menimpa Diva. Dia kehilangan ingatannya, dia awalnya tidak mengingatku. Diva tidak pernah datang kepadamu karena ingatannya hilang. Ini kabar baik sekaligus buruk, baik karena Diva bisa memulai hidupnya kembali buruk karena aku harus membuat keluarga idaman untuknya. Membuat ingatan baru yang tak ada sangkut pautnya dengan masa lalu.”
Alan Cuma dapat membuka mulut mengetahui kenyataan yang baru saja mertuanya lontarkan. Itu kenapa selama ini Diva sulit terlacak. Diva melupakannya, Diva tidak mengingat jika memiliki anak dan suami. Diva melupakan kenangan manis serta pahit saat menjalani hidup bersamanya.“Papi tidak menceritakan semuanya pada Diva. Seluruh masa lalunya?”
“Buat apa? Ia akan sakit hati. Mengetahui jika memilki keluarga lain yang bahkan tidak menginginkannya atau mengetahui jika saat nyawanya di ujung tanduk, suaminya berniat meninggalkannya atau yang lebih buruk tahu kalau kakak tirinya terobsesi memilikinya? Mana pilihan masa lalu Diva yang dapat ku ceritakan?”
Alan tak kuat, air matanya meluncur. “Ini terlalu kejam untukku dan Dilan Pi. Dilan putraku selalu merindukan ibunya, berharap ibunya akan pulang.”
Soetopo menarik nafas, menahan pedih saat diingatkan dengan darah daging Diva yang tak pernah ia lihat. “ Kau pernah berpikir jika Diva ingat semuanya, ia akan merasa murka. Ingat semua penderitaannya karena kamu dan ayahmu. Jika Diva kembali, memang kamu mampu melindunginya dari Alex bahkan papimu sendiri? Kenapa kau begitu ngotot ingin menemukannya, Bagimu Diva Cuma istri hasil kesepakatan dan tempat melahirkan pewarismu.”
“Tidak Pi,” Alan menggeleng lemah, menyembunyikan kesedihan serta sikap cengengnya. “Aku mencintainya, aku ingin menemukannya, aku menginginkan keluargaku utuh, anakku butuh ibunya. Aku mohon Pi pertemukanku dengan Diva.”
Soetopo tak bisa menolak, terus menghindar bukan pilihan baik bahkan jika lari ke ujung dunia pun. Anak Diva mengikat batin putrinya dengan Alan. “Baiklah jika itu keinginanmu. Aku akan mempertemukanmu dengan Diva tapi perlu kau tahu. Dia tidak ingat apa pun tentang dirimu, jangan memaksanya mengingat atau bahkan dengan lancang mengaku sebagai suaminya. Kau akan ku kenalkan sebagai kolegaku, Tidak lebih. Mengerti?”
Memang Alan punya pilihan lain setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu. Ia sangat merindukan sang istri bahkan syarat sesulit apa pun akan ia penuhi. Untuk saat ini mengajak Dilan juga bukan pilihan yang tepat, anaknya akan mengacau sebab Dilan tahu wajah sang ibu kandung.
🍄🍄🍄🍄🍄🍄🍄🍄
Diva dan Alan udah bisa dibeli di karya karsa atau di Kbm aplikasi. Karya karsa bisa diakses melalui web ya, selain juga disediakan di google play store. Cari akunku ya Rhea Sadewa di dua tempat itu
Beli karya karsa juga bisa melalui shopee pay loh dan beberapa debit bank juga. Diva dan Alan Harganya murah 10 ribu terdiri dari empat atau lima bab versi Wattpad. Diva dan Alan belum tamat ya baik di karya karsa dan kBM.
Di wattpad masih dilanjut walau slow update. Terima kasih.
Jangan lupa vote dan komentarnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top