Awal penderitaan
Alan membaca sebait demi sebait tulisan dalam ponsel yang Rion sodorkan. Di sana terdapat banyak keterangan yang membuat mulutnya ternganga lebar. Banyak informasi yang ia lewatkan, Alan tak pernah curiga jika orang yang menjadi sahabatnya dari kecil menyimpan jiwa psikopat. Alex beberapa kali hampir membunuhnya hanya gara-gara seorang Diva. Sebegitu besarkah Alex mencintai istrinya. Alan merasa kecil hati, Divanya yang berharga ada yang mencintai dan cintanya jauh lebih besar dari cinta yang Alan tengah usahakan.
"Jadi selama ini Alex berusaha membunuhku dan mencelakai Diva?" tanyanya pada Rion yang tengah mengutak-atik layar cctv. "Sejak kapan dia mencintai adiknya sendiri?"
Rion mengangkat bahu, ia tak tahu pastinya kapan. Tapi itu di mulai dengan rentan waktu yag cukup lama.
"Apa kau mencintai Diva?" tanya Rion balik. Di saat seperti ini Alan masih sempat meragu dengan perasaannya sendiri. Cinta tentu ia punya tapi apakah ada untuk Diva? Alan akan sangat berdosa jika menjawab tidak. Diva memberinya segala hal, masak sedikit cinta saja ia tak punya.
"Aku mencintainya." Rion menghembuskan nafas lega lalu mengetik sesuatu dalam ponselnya kembali.
"Akhirnya perasaaan Diva terbalas. Aku khawatir kau kamu tidak mencintainya."
"Diva mencintaiku?" Rion mengangguk yakin. Senyum Alan mengembang sempurna. Mematenkan Diva sebagai hak miliknya kepada Alex kini terasa dapat dukungan. Ia tak berkecil hati, sebab Diva lebih mencintainya. Sebesar apapun perasaan yang Alex miliki Diva tak akan pernah berpaling dari dirinya.
"Lalu sekarang kita harus bagaimana?"
"Tuan ini tehnya." Obrolan mereka harus terhenti karena Salsa menyuguhkan dua gelas teh hangat. Sebelum teh mendarat tepat di atas meja. Gadis berusia 19 tahun itu melirik Rion denagn ujung matanya. Sayang yang dicuri pandang menyapanya saja tidak. Apa Salsa itu bodoh, bagaimana mau menyapa jika bicara saja Rion tidak bisa.
"Istri saya gimana Sal?"
Salsa menunduk agak dalam. Sejak kegaduhan pesta semalam. NYonya mudanya masih betah menangis, bersedih, diam serta tak mau makan.
"Nyonya di kamar dan tak mau makan." Terpaksa Alan turun tangan. Diva tak bisa terus bersedih dan memikirkan perkataan Alex. Membayangkan jika isi kepala Diva hanya Alex, Alan jadi tak rela. Sedang Rion hanya duduk tak mau berpindah tempat. Masalah mereka adalah masalah keluarga. Rion hanya bawahan, jika kebenaran terungkap ia hanya cukup setia berada di sisi Soetopo serta Diva.
*********************************************
Diva duduk di atas tempat tidur. Air matanya sudah kering namun kesedihannya tak mau aus. Dirinya bukan anak mami Diana. Dirinya bukan seorang Prasodjo. Diva hanya perempuan biasa dan lebih gilanya Alex yang ia sayangi mencintainya sebagai seorang perempuan. Ini kenyataan terpahit dalam hidupnya. Hidupnya baik-baik saja ternyata hanya sebuah sandiwara. Semua orang termasuk Rion menyembunyikan jati dirinya, dimana Diva berasal.
"Va..." panggil sang suami lirih setelah mengetuk pintu. Diva bagai seonggok mayat hidup. matanya membengkak, wajahnya begitu sayu serta tangannya dingin memucat. "Makan Va..."
Diva tak sanggup mendongak atau bertatap muka dengan suaminya. Ia merasa malu serta tak berharga ketika semuanya tahu kalau dia bukan anak kandung Diana. Dengan perlahan ia menggeser nampan kayu yng di sodorkan Alan. "Aku gak laper..."
"Va...kasihan bayinya kalau kamu gak mau makan." Terlalu larut dalam kesedihan ia terlupa jika ada mahluk lain yang menumpang hidup dalam perutnya. Bayi yang tak bersalah ini pasti merasakan kalau ibunya sedang tertekan karena di rundung masalah. "Makan Va...aku suapin ya?"
Begitu baik Alan kepada dirinya padahal laki-laki itu tahu kalau jati diri Diva itu palsu. Ah tentu pria ini hanya memikirkan bayinya saja. Apa nasib Diva akan sama seperti pada novel romantis, akan dicerai setelah melahirkan buah hati. " Gak perlu, Aku bisa makan sendiri."
Namun nyatanya Alan tetap memaksakan diri. Di raihnya piring Diva yang penuh makanan lalu mengaduknya dengan sendok. "Aku gak percaya kalau kamu bakal makan, kecuali kamu makan dari tangan aku."
Senyum Alan yang tulus mampu membuat pertahanan Diva runtuh. Bagaimana ia bisa berpikir akan berpisah dari laki-laki yang amat ia cintai ini. Diva menangis walau tidak kencang. Hatinya teriris jika ingat Alan yang menghajar kakaknya. Lihat bekas luka memar di buku tangan Alan masih membekas jelas. "Apa yag harus aku lakuin?"
Alan meletakkan piringnya kembali. Ia mengusap air mata Diva yang meleleh di pipi dengan ibu jarinya. "Yang cukup kamu lakuin hanya makan, jadi sehat, jangan sedih buat anak kita. Dia..." Alan mengelus perut Diva yang kini sangat besar, " Dia juga akan sedih kalau ibunya sedih."
Diva semakin menangis karena sempat jadi ibu egois. Melupakan dia yang harusnya tak merasakan apa yang Diva sedang risaukan. Alan dengan penuh kasih sayang memeluknya erat serta mengelus suraunya yang panjang. "Jangan pernah tinggalin aku. Aku takut suatu hari kamu berubah pikiran dan memilih berpisah."
"Sssst....ssst...kamu bisa punya pikiran ngawur seperti itu dari mana? Aku janji gak akan ninggalin kamu." Janji yang diikrarkan Alan terpatri di hati Diva. Janji bukan sekedar janji asal yang bibir ucap agar Diva tenang. Namun sebuah janji seumur hidup yang Alan tepati. Tapi rencana Tuhan pastilah tak terduga. Bagaimana kalau kejadiannya malah sebaliknya Diva yang meninggalkan Alan untuk selama-lamanya.
************************************
Seorang wanita dengan percaya dirinya keluar dari sebuah taksi online sambil menggeret koper besar. Ia kibaskan rambut ikal merahnya ke belakang telinga. Kacamata hitam keluaran Paris ia lepas. Langkahnya begitu mantap menapaki undakan demi undakan tangga sebuah rumah besar bercat putih yang sudah lama ia tak tempati.
Ia rentangkan tangan kemudian berputar satu kali sambil tersenyum lebar. Sudah lama ia tak pulang. Sudah sangat lama ia tak menikmati hidup sebagai putri kesayangan keluarga Prasodjo. Coba dulu tak bertindak bodoh, sudah dipastikan ia akan jadi nyonya besar. Memang mungkin baiknya begitu, ia mendapat sebuah cobaan baru bisa berubah. Tak perlu memencet bel. Ia langsung memutar handle pintu.
"Mami....mami... Lexa pulang." Beberapa pelayan yang melihatnya masuk lewat pintu depan tentu terkejut. Putri sulung keluarga ini yang suka berbuat onar telah datang kembali.
Diana yang berada di ruang musik berlari tergopoh-gopoh saat mendengar teriakan putrinya yang paling ia tak harapkan pulang. Lexa yag baru datang lebih terkejut ketika sang mamah malah menarik lengannya agar pergi dari ruang tengah menuju ke pintu keluar kembali. Bukan Lexa namanya kalau tak bisa melepaskan diri. "Mami apa-apaan sih."
"Kenapa kamu berani pulang Lexa?"
Lexa yang urat malunya sudah tergadai hanya tersenyum manis sambil merentangkan tangan hendak memeluk ibunya namun sayang sang ibu tak merespon sama sekali. "Aku balik ke rumah aku sendiri. Apa itu salah?
"Salah!!" bentaknya keras. Karena Lexa benar-benar tak punya otak. Datang kembali setelah melahirkan seorang anak. Tentu Diana sayang Lexa namun ia tak mau putrinya bertindak seenaknya. "Dimana anak kamu?" Lexa malas jika membahas anaknya. Bayi itu menghalanginya saja. Toh bayinya kini di bawah pengasuhan orang yang ia percayai.
"Sama pengasuh di rumah. Gak mungkin juga aku ajak dia pulang."
Diana semakin memeijit pangkal hidungnya. Kemarin masalah Diva belum sempat ia selesaikan kini putri sulungnya dengan tak tahu malunya kembali. Lalu apa yang akan ia jelaskan pada suaminya nanti. "Sa, mamah mohon kamu pergi sekarang. Mumpung papi belum pulang."
Lexa tak mau begitu saja menuruti perintah Diana. Ia berhak kapan pun kembali kemari. "Kenapa sih mami takut banget sama papi. Lexa berhak kapan pun balik. Ini rumah Lexa, papi yang sebenarnya cuma numpang di sini."
Diana menahan kedua tangannya agar tak menampar Lexa. Beraninya anaknya itu berkata tak sopan pada orang yang telah memberinya keluarga utuh dan sebuah kehormatan di dalam masyarakat." Tutup mulut kamu!! Ini rumah mami. Mami berhak mengusir siapa pun."
"Oh jadi mami terang-terangan ngusir aku? Mami lupa kalau aku ini anak mami, anak yang keluar dari rahim mami." Diana tak amnesia hingga melindungi kehamilan serta kesalahan Lexa mati-matian. Namun hanya sebatas itu. Ia belum mengijinkan jika Lexa pulang kembali. Diana hanya mengkhawatirkan keadaan keluargnaya yang belum sepenuhnya kondusif.
"Kalau kamu sadar anak mami. Kamu harusnya gak membuat aib. Mau apa kamu ke sini setelah melahirkan Claire?"
"Aku mau posisi aku kembali. Aku mau jadi putri Prasodjo lagi kalau perlu aku akan jadi nyonya Alan Wijaya." Diana seperti tersambar petir ketika mendengar ucapan Lexa. Menggeser posisi Diva, tak ia biarkan hal itu terjadi. Walau Diva bukan putri kandungnya tapi keduanya sama-sama putri yang paling berharga di hidupnya.
"Jangan gila kamu!! Cepat pergi sebelum mami panggilin satpam." Diana menyeret paksa Lexa keluar rumah. Ia harus jadi ratu tega agar anaknya tak semena-mena. Semalam Alex sudah membongkar siapa Diva. Jangan sampai anaknya yag lain menghancurkan kebahagiaan putrinya yang baik dan penurut itu.
"Aku juga punya hak atas rumah ini. Kenapa mami ngusir aku. Ini gak adil Mi buat aku!!." Lexa berteriak tak terima. Tentu aksi nyonya besar serta putri sulungnya itu langsung jadi tontonan gratis untuk pelayan mereka.
"Lexa?" Cekalan Diana di paksa usai ketika mendengar panggilan seseorang yang kini sudah berdiri tepat di undakan paling atas. Diana tak tahu harus menjelaskan apa pada suminya.
#########################
Jangan lupa vote dan komentarnya!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top