Ada petunjuk
Seorang pria datang masuk gerbang rumah tanpa penghalang. Ia berhenti sejenak di halaman rumahnya yang luas sambil menenteng tas ransel. Alex terdiam sembari tersenyum puas, seringainya tak lupa ketinggalan ketika menggumamkan selamat datang untuk dirinya sendiri. Akhirnya ia kembali ke rumah setelah dikurung di jeruji besi. Tapi begini kah keadaaan ketika ia datang tak ada penyambutan selamat datang bahkan dari pelayan.
Alex berjalan perlahan menaiki tangga, tak perlu mengetuk pintu. Salah satu pelayannya sudah membukakan untuk dirinya walau pelayan tua itu terperangah ketika meilhatnya muncul lagi.
“Tuan Alex.” Pekik pelayannya antara girang dan ngeri.
“Mamah gak ada buat nyambut kepulanganku. Sopir juga gak jemput aku di penjara. Apa mamah ada di rumah?”
“Nyonya ada di rumah.”
Alex tak perlu dipersilakan, ia masuk layaknya Tuan rumah yang sebenarnya. Sang mamah seperti megetahui kalau ia datang. Diana perlahan turun dengan anggun melalui tangga sembari memasang sikap waspada.
“Mamah gak pengen memelukku?” Diana menggeleng padahal tangan anaknya sudah merentang. Alex kelihatan lebih kurus dari saat terakhir ia kunjungi.
“Mami senang kamu sudah bebas.”
Diana melipat tangan di depan dada sembari mengamati putranya dari atas hingga bawah. “Sepertinya kau perlu mandi. Kita bicara setelah kau bersih. Kita bisa mengobrol sambil makan.”
Alex tersenyum pahit. Ibunya menganggapnya kutu yang tak pantas menginjak rumah ini lagi tapi Alex akan membuktikan jika pandangan mamahnya yang menganggapnya sampah adalah salah. Alex akan kembali merebut semuanya, semua yang telah ia tinggalkan dan jatuh di bawah kekuasaan Lexa dan Harland.
Alex menuruti yang mamahnya sarankan. Sebelum ke kamar mandinya yang besar. Ia sempatkan mengunjungi walk in closet. Bajunya masih banyak dan tertata rapi. Keadaan tempat ini tak banyak berubah semenjak ia tinggalkan. Kehidupan mewahnya akan kembali. Alex menengadahkan kepalanya ke atas. Hanya satu penyesalannya yaitu kehilangan Diva, tak dapat melacak di mana perempuan yang dicintainya itu berada. Ini semua karena ia terkurung di dalam penjara Cuma karena kesalahan kecil.
Lexa menggandeng tagan Deandra saat masuk ke rumah orang tuanya. Anak sialan ini ternyata ada gunanya juga. Lexa awalnya tak mengingiunkan Deandra namun putri kecilnya ini mampu menarik hati semua orang terutama maminya dan sambil menyelam minum air. Deandra ia gunakan untuk mendekati Alan dan Dilan, rencananya membuahkan hasil yang menggemilangkan.
Dean yang tak tahu apa-apa Cuma tersenyum sambil bersenandung riang ketika memasuki rumah milik Omanya. Gadis kcil itu seperti memiliki kebahagian baru dengn Dilan dan juga ayah adik kecilnya itu. Mereka baru saja selesai jalan-jalan dan membawakan kue kesukaan sang Oma.
“Oma..” teriak Dean gembira namun Omanya tak menyahut. Rumah yang besar ini terasa sepi. “Oma...” panggilan kedua Deandra lontarkan namun yang datang malah beberapa pelayan rumah.
“Siapa ini?” Sebuah suara asing terdengar turun dari tangga. Di sana ada sesosok pria dewasa yang melihatny dengan senyuman hangat. Mata Deandra menyipit seperti pernah melihat Om ini tapi di mana.
“Alex!” teriak Lexa yang menyusul Deandra tak lama kemudian. “Kapan kau ke luar dari penjara. Mami tidak memberitahuku.”
Alex tersenyum pahit lalu menatap putri Lexa sejenak. Banyak yang berubah termasuk sosok bayi merah yang semula Lexa sembunyikan.
“Dean, Ini saudara mamah. Om Alex.”
“Hai.” Alex yang menyapa duluan sambil berjongkok menyesuaikan diri dengan tubuh kecil putri Lexa. “Aku Om kamu, Om Alex. Siapa namamu gadis kecil?”
“Namaku Deandra Om, Panggilanku Dean.”
Alex tersenyum tulus lalu mengelus kepala Deandra dengan sayang, untungnya anak ini tidak mewarisi wajah sang Ibu yang menyebalkan. Deandra bermata biru layaknya orang asing, Kulitnya juga seputih susu, rambutnya ikal bewarna coklat gelap. Apa Lexa hamil dengan pacar bulenya namun Lexa jarang berhubungan dengan pria asing atau ayah kandung Deandra adalah salah satu kolega mereka namun kolega yang mana.
“Kalian sudah datang?” suara Diana memecahkan keakraban mereka.
“Oma..” panggil Deandra nyaring. Alex melihat ekspresi ibunya berubah dari perempuan angkuh menjadi seseorang yang hangat hanya dengan memeluk anak Lexa itu. Bukan rahasia lagi setelah kepergian Soetopo dan Diva, perangai Diana yang hangat berubah menjadi lebih dingin.
“Ayo kita makan sama-sama.”
Mereka makan layaknya keluarga setelah hampir lima tahun tidak melakukannya. Alex makan dengan lahap sebab makanan rumah lebih enak dari makanan penjara sedang Lexa hanya makan sedikit sambil melirik kakaknya yang seperti gelandangan yang tidak makan berabad-abad.
“Kapan kau akan masuk kantor?”
“Aku belum bisa dalam waktu dekat ini. Lexa sudah menduduki kekuasaan di perusahaan biarlah dia yang mengurus semuanya.”
Diana nampak tak suka dengan jawaban Alex setelah mantan suaminya menghilang pekerjaannya jadi berat belum lagi lexa yang suka sekali mengambil keputusan sembrono. “Aku membayar mahal untuk kebebasanmu dan semuanya tidaklah gratis.”
Alex tahu jika hukumannya yang divonis sepuluh tahun kini tinggal separuhnya berkat kekuatan uang dan koneksi. “Aku tidak bisa kosentrasi pada pekerjaan kalau belum menemukan di mana Diva.”
Lexa merespon perkataan sang kakak dengan menekan alas gelas pada meja dengan sangat keras. Diana tahu pertengkaran akan terjadi makanya ia menyuruh salah satu pelayan membawa Deandra untuk makan di taman belakang.
“Kenapa tidak kamu mau pun Alan selalu memikirkan Diva.”
Alex menyeringai tipis. “Sampai sekarang kau belum mendapatkan Alan?”
“Alan terus mencari Diva, berharap istrinya akan ditemukan padahal mungkin saja Diva sudah jadi bangkai di suatu tempat.”
“Tutup mulutmu Lexa!” teriak Alex memberi peringatan. Baginya Diva masih hidup, tak ada di dalam pikirannya jika Diva mati.
“Sudah bertahun-tahun Diva menghilang dan bukannya saat terakhir Diva juga koma. Tak ada yang bisa menjamin kalau perempuan itu akan selamat dan sehat. Bisa saja dia hidup dan menjadi cacat.”
“Lexa!” kali ini peringatan datang dari Diana.
“Kalian semua tidak bisa melupakan Diva dan ayahnya kan? Mereka Cuma parasit yang menumpang hidup pada kita. Baguslah kalau mereka tahu diri dan pergi. Mereka yang tak mau kita temukan, sudah jelas mereka mau kita melupakannya! Alan bahkan tidak mau melupakan wanita itu dan sekarang kakakku juga melakukan hal yang sama. Apa kalian semua tidak memikirkan perasaanku?”
“Tahu malulah sedikit Lexa,” ungkap Diana yang membuat lexa menggeram marah. “Tidakkah kamu punya malu, ingin memiliki suami saudaramu? Kamu menjadi penyebab kenapa Diva dan keluarganya pergi. Bagaimana bisa kamu memikirkan perasaan kamu sendiri. Bagaimana dengan mami yang kehilangan suami mami dan anak mami?”
“Diva bukan saudaraku! Mami harus berhenti menganggapnya anak.”
“harusnya kau mencari sasaran lain begitu Alan menolakmu mentah-mentah.” Ucapan Alex begitu menghujam hati saudara kembarnya. Biar saja Lexa sadr jika tindakannya mendatangkan konsekuensi yang berbahaya.
“Koalisi kami akan mendatangkan keuntungan besar di perusahaan. Hubungan kami akan sangat sepadan. Ini bukan Cuma masalah hati tapi juga ekonomi.”
Alex meraih serbet lalu megelap mulutnya dengan benda itu sebelum menghempaskannya ke lantai. “Percuma bicara padamu yang tak memiliki hati. Aku pamit karena sudah selesai makan. Aku akan kembali ke perusahaan secepatnya. Otak Lexa kurang waras jika memimpin perusahaan.” Karena Alex tahu Harland Wijaya mulai andil dalam keputusan-keputusan Lexa.
“Lexa tekan ego kamu kalau kamu masih menginginkan Alan. Mami juga sudah selesai.” Diana memundurkan meja padahal makanan pada piringnya juga belum tersentyuh sama sekali.
“Mami akan bermain bersama Deandra.”
Keduanya meninggalkan Lexa dengan perasaan kesal luar biasa. Tak ada yang mendukungnya, tak ada yang mempercayainya. Semuanya gara-gara satu orang yaitu Diva.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Alan mendapatkan undangan untuk menyaksikan pacuan kuda dari koleganya. Alan tak suka berjudi bahkan dia membenci permainan itu namun demi menghindari menghabiskan waktu bersama Lexa. Ia menerima ajakan kawannya untuk menonton pacuan kuda sekalian ia mengajak Dilan dengan alasan memperlihatkan anak itu beberapa kuda poni.
“Papah akan memberikanku kuda poni?” Alan mengangguk yakin walau ia tak yakin mau menaruh kuda itu di mana. Di rumah tak ada lahan besar untuk memelihara seekor kuda walau kuda kecil. “Pasti Kak Deandra akan sangat iri.”
“kalian bisa kan menaiki kuda itu bersama-sama, main bersama-sama.” Walau jalan bersama Lexa membuatnya jengah namun sosok Deandra membuat Alan menjadi nyaman. Gadis itu berkelakuan manis serta baik sekali pada Dilan.
“Memang kudanya besar ya Pah?”
“Iya, cukup besar untuk mengangkut dua orang anak kecil.”
“kau memasang taruhan untuk kuda nomer berapa?”
Alan tak ingat berapa sebab ia hanya menulis asal-asalan. “Mungkin nomer lima, aku tidak begitu tertarik. Dilan yang lebih antusias melihat kuda-kuda,” jawabnya untuk pertanyaan sang kolega yang mempunyai hobi bertaruh pada pacuan kuda.
“Kuda jagoanku bernomor dua, itu yang warnanya coklat. Dia terkenal cepat, peternakan dari kuda jagoanku terkenal menciptakan bibit-bibit unggul tapi sayang mereka tak memiliki kuda poni.”
Alan Cuma mengangguk, ia menjadi pendengar yang baik karena sama sekali tak tahu menahu soal kuda. Bunyi pistol diletuskan, itu tandanya pacuan dimulai. Banyak kuda yang berlomba tentu dengan joki yang cukup mumpuni. Kuda nomer dua sangat mendominasi permainan bahkan kuda itu berhasil meninggalkan kuda yang lainnya di belakang.
“Benar kan dugaanku. Aku menang taruhan.”
Alan tak peduli, yang terpenting Dilan begitu tertarik dan antusias. Tak apa ia harus kehilangan beberapa lembar uang namun matanya seolah menajam ketika penunggang kuda nomer dua membuka topinya setelah memenangkan pertandingan. Lelaki yang berperan sebagai joki wajahnya begitu familiar. Alan menyipitkan mata untuk menajamkan netra lalu membelalakkan mata begitu menyadari itu siapa.
Rion ada di sana tertawa merayakan kemenangannya. Lelaki itu tak sebersih dulu, wajah Rion ditumbuhi kumis tipis dan bulu halus pada janggutnya namun alan masih bisa mengenalinya dengan baik. Kalau Rion sudah ia ketahui keberadaannya maka Alan akan otomatis tahu kabar Diva. Ia dengan tergesa-gesa menuju ke area peserta.
“Papah!” Tapi kakinya tertahan ketika suara lengkingan anaknya muncul. Bagaimana ia bisa ceroboh melupakan anaknya yang masih duduk di bangku penonton. Untungnya sang kolega mau menggendong anaknya yang berlinangan air mata. Dilan merasa ekspresi papahnya aneh dan dia menangis karena merasa ditinggalkan.
“Kamu mau pergi ke mana sampai meninggalkan anakmu? Kamu seperti melihat hantu.”
“Terima kasih. Kamu mau menjaga Dilan.”
Masalah Rion bisa diurusnya nanti. Akan mudah menemukan alamat pria itu dengan membayar panitia pacuan kuda yang mau memberinya informasi atau ia bisa bertanya pada koleganya ini. Tadi bukannya koleganya bilang bahwa peternakan kuda yang Rion tunggangi menghasilkan kuda bibit unggul, setidaknya koleganya tahu nama peternakannya.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Alex kenapa masuk penjara.
Diva dan Alan ada di KBM. Di KBM partnya udah jauh dan OTW karya karsa. Di wp masih dilanjut tapi slow ye...
Jangan lupa vote dan komentarnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top