7. Atasan Super Nyebelin ✓

Happy Reading

*****

Cakra memilih melarikan diri daripada menyapa dan menjawab perempuan tadi. Namun, di tikungan jalan yang tak jauh dari taman, langkahnya terhenti karena ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang menghadangnya.

"Kamu nggak bisa kabur begitu saja. Ibu ingin bicara," ucap salah satu dari mereka yang berwajah paling menakutkan karena memiliki tato hampir seluruh badan.

"Ibu siapa?" Cakra mengerutkan kening. Bukannya dia tidak bisa melawan orang yang menghadangnya saat ini, tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Walau ilmu bela dirinya cukup tinggi. Namun, dengan banyaknya lawan, tentu dia akan babak belur juga jika melawan.

Salah satu dari mereka menunjuk dengan dagu siapa ibu yang dimaksud. Si nenek-nenek yang pernah mengaku sebagai Venya itu menampilkan deretan giginya.

Mendengkus, Cakra terpaksa menaikkan garis bibirnya. "Nenek mau apa lagi, Ya Allah? Nggak usah ngaku-ngaku Venya, deh. Saya tahu Nenek bohong." Mengembuskan napas panjang. Cakra dibuat putus asa oleh si nenek.

"Siapa yang ngaku-ngaku? Aku memang Venya, kok." Sang nenek berjalan mendekati Cakra.

"Stop. Sebaiknya, Nenek nggak usah main-main. Astagfirullah," ucap Cakra. Emosinya mulai naik karena sikap keras kepala sang nenek.

Bukannya menuruti perkataan Cakra, si nenek malah memegang pipi dan mengelusnya. Lelaki itu benar-benar kehabisan akal untuk mengusir perempuan sepuh tersebut. Berkali-kali menepis, nyatanya Cakra tidak bisa menghentikan aksi si nenek.

"Ganteng, benar-benar ganteng. Kulitmu juga halus. Duh," ucap si nenek.

"Astagfirullah," keluh Cakra, "Nek, saya ini pantesnya jadi cucu. Sudah, ya. Nggak usah ngelucu lagi."

"Kenapa, sih? Kamu nggak pernah dengar kabar pernikahan perempuan berumur 75 tahun dengan seorang laki-laki berusia 20 tahunan? Beritanya viral, lho."

"Nek!" bentak Cakra, "Ya Allah. Dari mana sih datangnya nenek ini? Kenapa susah banget dikasih pengertian," keluhnya.

"Kenapa, Sayang?" Perempuan dengan dress hitam beserta topi bunga tersebut, tersenyum manis.

"Jangan panggil sayang sembarangan." Cakra membulatkan mata. Setelahnya, membuang muka sambil bersedekap.

"Bukankah kalau kita menikah, panggilan itu akan terdengar sangat manis. Bisa menambah kemesraan kita." Si nenek memainkan alisnya, naik-turun.

"Stop!" ucap Cakra keras. Tangan kanannya terangkat, menghentikan perkataan si nenek. "Kira-kira, apa nenek masih mampu melayani saya di ranjang dengan usia seperti sekarang? Saya punya fantasi liar yang pengen terwujud saat menikah nanti."

Sungguh, jika boleh jujur. Cakra ingin sekali tertawa keras saat ini apalagi melihat wajah di nenek yang memucat. Mungkin, perkataan si sulung tadi, akan menjadi senjata ampuh. Memukul mundur semua keinginan sang nenek. Lagian, Cakra sudah mengetahui jika perempuan sepuh di depannya ini bukanlah Venya. Entah siapa dia, kenapa begitu gigih mendekatinya.

"Lain kali, aku bakalan menemui kamu lagi," ucap si nenek. Berbalik, mengajak beberapa orang yang sejak tadi berdiri tenang mendengarkan percakapannya dengan Cakra.

Cakra tertawa keras setelah si nenek berada jauh dari pandangannya. "Rasain. Mungkin, harus mengatakan hal seperti itu, ya. Biar dia nggak berani dekat-dekat aku lagi."

Sepanjang perjalanan pulang, Cakra menaikkan garis bibirnya.

*****

Berpakaian rapi dengan segala atribut  khas orang kantoran, Cakra tersenyum lebar menyambut sapaan salah satu karyawan di tempat kerjanya yang baru.

"Mas, karyawan baru, ya?" sapa salah satu perempuan berambut pendek dengan kemeja ketat yang menampilkan tonjolan di beberapa bagian tubuhnya.

Cakra menarik garis bibir. "Saya bukan karyawan tetap, Mbak. Cuma bekerja beberapa bulan saja di sini."

Kedua karyawan itu mengerutkan kening.

"Kok, bisa?" tanya salah satu dari mereka.

"Jangan-jangan, Mas ini karyawan mitra kerja pemasaran yang ditugaskan membantu mall kita supaya lebih rame lagi?" kata yang lain beberapa saat kemudian setelah sempat terdiam cukup lama.

"Yup, bener," jawab Cakra. Oleh karena dia tidak suka berinteraksi terlalu intim dengan lawan jenis, lelaki itu memutuskan pamit. Namun, sebelum Cakra melangkahkan kakinya, suara seseorang terdengar.

"Jangan coba-coba mengganggu karyawan di sini apalagi sampai menjalin hubungan dekat. Nggak usah sok ganteng, deh," sindir perempuan dengan kemeja baby blue berbahan satin dan rok hitam.

Cakra melongo mendengar ucapan si perempuan. Diam sebentar sambil, mengamati perempuan itu dari ujung kepala hingga kaki. lalu, tersenyum meremehkan.

"Apa senyum-senyum?" bentak si perempuan.

"Apa?" jawab Cakra, menantang. "Pantas saja kalau masih jomblo. Galak, sih. Pasti nggak akan ada cowok yang mau deket."

"Kamu!" Jari telunjuk si perempuan mengacung, tepat di hidung Cakra. Kelopak matanya terbuka lebar. "Mending jomblo daripada suka ngakalin nenek-nenek. Dasar nggak tahu diri."

"Kalau nggak tahu mending diem. Aku nggak tahu darimana nenekmu mengenalku."

"Ya, jelas kamu yang mengganggu nenek terlebih dulu. Nggak mungkin nenek tiba-tiba kenal lelaki menyebalkan sepertimu," dengkus perempuan yang tak ain adalah Ari. "Kamu pasti sudah menyelidiki siapa nenekku. Iya, kan?"

"Cewek stres. Siapa juga yang suka sama nenekmu. Dia saja yang keganjenan," ucap Cakra membuat dua karyawan yang tadi menyapanya menahan tawa.

Ari bertambah jengkel. Kesal, dia pun menginjak kaki Cakra.

"Aduh," rintih si lelaki. Walau memakai sepatu, tetapi rasa sakit yang diakibatkan injakan tersebut, tidak bisa dihindari. Mungkin, perempuan itu menginjaknya dengan kekuatan penuh.

"Rasain, wee." Menjulurkan lidah. Lalu, menaikkan hidung, mengejek Cakra sambi berjalan menjauh.

"Cewek sedeng," umpat Cakra membuat dua karyawan itu tertawa lebar.

"Jangan-jangan, Mas sama Bu Ari jodoh," celetuk salah satu karyawan.

"Heh, ngawur." Cakra melengos hendak meninggalkan kedua karyawan tersebut.

"Secara, Bu Ari itu jarang banget bersikap seperti tadi. Beliau itu terkenal dingin, nggak kekanakan kayak tadi. Mungkin, beliau ada rasa sama masnya," tambah yang lain.

"Sembarangan kalau ngomong."

"Kalian nggak kerja? Malah asyik ngerumpi," ucap perempuan yang diketahui Cakra adalah asisten si cewek jutek. Lalu, dia melirik pada lelaki tersebut.

"Sebaiknya Pak Cakra menjaga sikap. Di sini bukan tempatnya tebar pesona," ucap Mega seolah dia adalah bosnya di kantor itu.

"Heh?!" kata Cakra, reflek. "Nggak salah kamu ngomong gitu? Dasar, asisten sama bos sama-sama berpikiran negatif. Jomblo, sih. Jadi gitu, deh."

Kali ini, Cakra mempercepat langkahnya menuju ruangan setelah bertanya di mana tempat kerjanya berada. Tak mau lagi mendengar drama-drama yang diucapkan Mega dan lainnya.

Baru saja ingin mendaratkan tubuhnya, telepon di meja kerja Cakra berdering.

"Halo," ucap Cakra menyapa sang penelepon.

"Pak Cakra diminta ke ruang meeting. Bu Ari ingin membicarakan hal penting. Kurang dari lima menit, Bapak diharapkan sudah berada di sana." Lawan bicara Cakra langsung memutus sambungannya membuat lelaki itu mengumpat keras.

Walau berat hati, nyatanya lelaki itu tetap melaksanakan apa yang sudah diperintahkan si penelepon. Mencari ruang meeting, Cakra kembali bertemu dengan sosok cantik, tetapi berwajah menyebalkan.

Cakra dan Ari sama-sama berjalan menuju ruang meeting. Si lelaki mengedarkan pandangan ke arah lain agar tidak fokus melihat lawannya, hal sama pun dilakukan si perempuan. Namun, hal tak terduga terjadi pada Ari.

Oleh karena dia tidak fokus pada jalannya, keseimbangan tubuhnya goyah. Hal itu membuat Ari hampir tersungkur. Reflek, Cakra menarik tangan si perempuan. Tangan yang lain melingkar di pinggang Ari.

"Lepas! Berani-beraninya kamu memeluk saya," bentak si bos.

"Hei," teriak Cakra tidak mau kalah.





******
Banyuwangi, 30 Januari 2025


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top