5. Penjelasan Mengejutkan✓

Happy Reading

*****

"Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan itu. Pantas saja," ucap perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar.

"Apa?" Entah mengapa suara Cakra meninggi.

"Dasar cowok mokondo," hina si perempuan.

"Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke arah si perempuan. Emosinya terpancing dengan kalimat tadi. "Kalau kamu nggak tahu apa-apa, mendingan diem. Kalau aku mokondo, nggak bakalan aku ada di kantormu sekarang."

"Kalau gitu, kenapa kamu kencan sama nenek? Kamu tahu, gara-gara pengen ketemuan sama kamu, nenek melarikan diri dari pemeriksaan rutin kesehatannya. Kamu nggak malu kencan sama perempuan yang pantas jadi nenekmu sendiri?" Wajah perempuan itu benar-benar menjengkelkan dengan segala kalimat yang dikeluarkan.

Cakra mengembuskan napas panjang. Mencoba meredakan emosi yang mulai tak terkendali, tidak mungkin lelaki itu memukul seorang wanita walau mulutnya cukup tajam.

"Andai tahu jika perempuan yang aku kenal adalah nenek-nenek, aku nggak akan mau ketemuan dengannya," ucap Cakra mencoba menjelaskan. "Aku di sini bukan untuk membahas nenekmu atau masalah pribadi lainnya. Aku ke sini atas perintah bosku untuk membicarakan kerja sama kita. Jadi, mari bersikap profesional."

Perempuan itu menatap lawannya. Hanya karena melihat pertemuan dengan sang nenek kemarin, dia membenci dan men-judge Cakra. Padahal dia tidak mengenalnya sama sekali, kesadaran itu muncul setelah mendengar perkataan si lelaki.

"Astagfirullah," ucap Ari lirih, "Mungkin aku telah salah menuduhnya," katanya dalam hati.

"Oke. Mari kita bahas pekerjaan dan lupakan sejenak kejadian kemarin."

Cakra berdeham, mulai mempersiapkan diri untuk presentasi.

Beberapa menit kemudian, lelaki itu selesai dengan semua pembahasan yang ada. Cakra menatap lawannya. "Bagaimana menurut Ibu? Apakah bisa menandatangi kontrak kerja sama sekarang? Besok kita bisa langsung merealisasikan apa yang tertulis dalam kontrak. Saya sendiri yang akan menanganinya langsung. Jadi, selama enam bulan ke depan, saya berada di kantor ini setiap hari."

Perempuan itu menganggukkan kepala. "Jadi, bagian mana yang harus saya tanda tangani?"

"Silakan tanda tangan di sini," pinta Cakra. Menunjukkan bagian kosong yang harus diisi oleh perempuan itu.

Setelah selesai, Cakra mengulurkan tangannya. "Selamat bekerja sama. Mulai besok, saya resmi bekerja dari kantor ini. Jadi, tolong disiapkan untuk meja kerja dan juga ruangannya. Tidak perlu terlalu besar. Asal ada meja, kursi sudah cukup."

"Baik. Saya akan meminta orang menyiapkan semuanya." Ari mengulurkan tangan.

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Untuk salinan kontrak akan segera dikirimkan ke email Ibu."

"Baik." Perempuan itu mencoba bersikap profesional. Ketika Cakra pamit undur diri, Ari mengantarnya sampai pintu.

Namun, ketika perempuan itu akan membukakan pintu tamunya. Heels yang dikenakan menginjak sesuatu, lantai licin hingga dia limbung. Ari pun hampir terjatuh.

Namun, gerakan tangan Cakra jauh lebih cepat untuk menolong perempuan tersebut. Dia menarik pinggang si gadis dengan kuat. Kini, keduanya menempel satu sama lain. Saling menatap tanpa mengatakan apa pun, kedua mata mereka bertemu, saling menyelami.

Cakra memalingkan muka ketika tanpa sengaja dari celah kancing kemeja si perempuan tersembul sesuatu yang seharusnya tak boleh dilihat. Ari sendiri masih tertegun dan tak mampu bergerak.

"Mau sampai kapan Ibu menatap saya seperti ini? Terpesona? Jangan sampai jatuh cinta dengan lelaki mokondo seperti saya," sindir Cakra untuk mengingatkan perkataan perempuan tersebut.

"Dih, kepedean," sahut Ari cepat dengan membuang wajah. Lalu, melepaskan diri dari pelukan si lelaki.

Cakra tersenyum puas bisa mengerjai perempuan yang kemarin hingga saat ini sudah menghinanya. "Bukannya kepedaan, tapi wajah Ibu mengatakan semua. Kalau nggak terpesona, mana mungkin pipinya kemerahan begitu."

"Silakan keluar sekarang," kata Ari cukup keras dengan raut salah tingkahnya membuat Cakra tertawa puas.

"Sampai jumpa besok, Bu. Nanti malam, jangan kepikiran sama cowok mokondo kayak saya, ya." Sengaja, Cakra mengatakan hal yang memprovokasi pada si cewek jutek itu.

"Keluar!" bentak si perempuan.

Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek.

"Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu.

"Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahan, Cakra, kan?"

Perempuan itu mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita."

Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah jatuh cinta sejak pertemuan pertama dengannya. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita."

"Nenek, ingat umur." Si perempuan sampai berteriak mendengar pernyataan sang nenek yang tanpa malu-malu mengatakan hal itu. Bukannya malu jatuh cinta pada lelaki yang jauh lebih muda bahkan lebih pantas menjadi cucunya, si nenek malah terang-terangan menyatakan perasaannya.

"Memangnya kenapa? Banyak kok yang seumuran Nenek menikah dengan lelaki yang lebih muda bahkan usianya jauh di bawah Cakra. Nenek sudah lelah nyuruh kamu nikah, Ar. Daripada nenek nggak punya temen di rumah, mending nenek melamar Cakra. Kalau dia terima lamaran nenek kan rumah ini bakalan rame lagi, nggak sepi seperti sekarang."

"Aku bukannya nggak mau nikah, Nek. Sebentar lagi, deh."

"Kebanyakan janji kamu, Ar." Sambungan terputus. Ari mengumpat dengan perlakuan sang nenek.

Masih kesal dengan kelakuan neneknya, pintu ruangan Ari diketuk. "Siapa? Saya sedang sibuk dan tidak menerima tamu saat ini," ucapnya keras.

"Bu, ini saya, Mega," ucap seorang perempuan dari luar.

"Masuk," putus Ari.

Sang sekretaris masuk dengan membawa paper bag. "Bu, ini HP dan kartu baru." Menyerahkan paper bag tersebut pada sang atasan.

"Makasih, Ga," ucap Ari. Seketika raut wajah yang semula keruh berubah cerah lagi.

"Sama-sama, Bu." Mega berbalik, akan segera pergi meninggalkan ruangan tersebut. Namun, Ari membuka suara.

"Ga, kamu masih terus menyelidiki siapa yang mencuri HP saya, kan?"

"Masih, Bu. Sampai saat ini, pihak IT perusahaan masih memperbaiki rekaman pengawasan di tanggal tersebut."

"Oke. Saya kira kalian lupa. Sudah hampir seminggu, tapi belum ada kabar."

"Mana mungkin saya lupa, Bu. Saya permisi jika nggak ada hal lain lagi."

"Silakan. Terima kasih, ya, Ga."

Sang asisten cuma menganggukkan kepala sebagai jawabannya.

*****
Saat ini, Cakra sudah sampai di tempat kerjanya semula. Dia mulai menyalakan laptop dan bersiap untuk mengerjakan pekerjaannya. Besok, untuk sementara ruangannya akan berpindah ke perusahaan gadis jutek yang dia temui tadi.

"Amit-amit kalau aku sampai punya istri kayak Bu Ari. Cantik, sih, tapi juteknya minta ampun. Pantas saja nggak laku-laku," gumam Cakra sendirian sampai-sampai tak menyadari jika ada yang masuk ke ruangannya.

"Jangan suka ngatain perempuan. Kalau dicatat malaikat dan pada akhirnya Allah menakdirkan kalian jadi pasangan kamu bisa apa?" ucap lelaki berbadan lebih pendek dari Cakra.

"Ish. Ngagetin aja. Tahu-tahu muncul," kata Cakra, "kamu nggak bakalan ngomong kayak tadi kalau ketemu sama cewek yang namanya Ari itu. Buh, orangnya nyebelin."

"Sstt. Pamali ngatain orang. Gimana proyekmu? Lancar?"

"Lancar, tapi, ya, gitu." Mengalirlah cerita Cakra hingga ponselnya berdering berkali-kali.

"Angkat saja, Kra."

"Nomor nggak dikenal, males."

"Siapa tahu klien baru, kan, lumayan," saran rekan kerja Cakra.

Mengikuti saran rekannya, Cakra mengangkat panggilan di ponselnya.

"Halo, Mas. Ini Venya. Maaf, beberapa hari ini nggak bisa menghubungi. HP-ku hilang."

"Hah? Siapa?"

"Venya, Mas. Masak sudah lupa sama suaraku, sih."

Cakra menepuk kening. "Kamu yakin, HP-mu hilang dan belum menghubungi aku sama sekali?"

"Sangat yakin, Mas. Sudah hampir seminggu dan belum ketemu HP itu. Jadi, terpaksa aku ganti baru. Save nomorku, ya."

"Lalu, siapa yang ketemuan sama aku kemarin?"

"Hah? Kapan kita ketemu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top