4. Bertemu Lagi✓

Happy Reading

*****

"Jangan ganggu anak saya lagi, Nek. Usia nenek itu nggak pantes kalau menikah sama anak saya Cakra," lanjut Arimbi.

"Hah?" jawab perempuan di seberang sana.

"Kalau nenek masih terus menganggu Cakra, saya bisa laporkan masalah ini ke pihak berwajib dengan pasal menganggu ketenangan orang lain. Mengerti?" Arimbi segera mematikan sambungan teleponnya. Lalu, menatap si sulung.

"Blokir saja nomornya. Mama nggak suka sama tipe cewek seperti dia. Biarpun kalian seumuran, Mama nggak setuju. Kurang sopan ngomongnya," omel Arimbi.

"Dengerin mamamu, Mas," sindir Sapta.

Si bungsu juga ikut-ikutan menasihati Cakra. "Makanya, nyari yang pasti-pasti saja, Mas. Setahun berhubungan, ternyata hasilnya zonk," ejeknya.

"Diem, Dik." Bola mata Cakra membulat sempurna. Bibirnya maju karena sebal.

Semua anggota keluarga Cakra tertawa padahal si sulung tengah jengkel setengah mati.

"Tau, ah. Aku mau ke kamar saja," kesalnya karena ditertawakan semua orang.

"Bener kata adikmu, Mas. Mendingan nyari yang pasti. Misalnya, putrinya temen papa yang waktu itu. Sudah cantik juga punya usaha bakery. Ya, walau umurnya jauh lebih muda darimu. Tapi, menurut Papa umur 24 bersanding dengan 31 masih sangat cocok," jelas Sapta.

"Males, Pa. Dia terlalu banyak omong. Aku yang basic-nya pemasaran saja kalah kalau ngomong sama dia. Bisa botak aku kalau dengerin omongannya tiap hari." Cakra melambaikan tangannya sambil berjalan menjauhi keluarganya.

****
Malam menjelang, biasanya di jam-jam seperti sekarang, Cakra selalu menghubungi Venya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah pulang dan free. Lalu, keduanya akan menelepon menceritakan semua kejadian yang telah dilalui seharian. Namun, semua itu tak lagi bisa dilakukan oleh lelaki dengan potongan rambut upper cut tersebut.

Cakra menghela napas panjang. Dia harus membiasakan diri dengan segala aktifitas hariannya tanpa kehadiran Venya lagi. Walau bagaimanapun perasaan yang sudah berkembang selama setahun itu tidak akan mudah dihilangkan begitu saja.

"Kenapa, sih, kamu harus berbohong padaku, Ve? Padahal aku tulus mencintaimu. Andai umurmu gak setua itu, meski wajahmu jelek, aku tetap akan menerimanya. Tapi ...." Cakra menyandarkan kepalanya. Memejamkan mata dan mengingat setiap momen yang telah dilewati bersama Venya.

"Astagfirullah," ucap Cakra beberapa saat ketika bayangan wajah si nenek terlintas apalagi saat dia melamarnya. Terlalu banyak memikirkan kisahnya dengan Venya, tanpa terasa kedua indera Cakra menutup sempurna. Dia pun terlelap dengan sendirinya.

Suara panggilan Arimbi disertai ketukan pintu yang cukup keras mampu membuka mata Cakra. Lelaki itu bergegas membuka pintu kamarnya.

"Mama," ucap Cakra sambil menguap. "Bangunin anaknya kayak ada kebakaran aja."

"Kamu kalau nggak dibangunin seperti itu, pasti masih molor." Arimbi berkacak pinggang dengan mata mendelik.

Cup ....
Cakra mencium pipi mamanya untuk menghentikan kemarahan.

"Cepet mandi sana. Adik sama Papa sudah nungguin," titah Arimbi, masih dengan mode galak.

"Iya. Nggak sampai dua menit sudah selesai."

"Tumben mbangkong. Biasanya bangun lebih dulu dari yang lain?"

Cakra menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Susah, ah. Kalau Mama ngomel terus, aku nggak bakalan bisa cepat ngerjain semua." Segera menutup pintu membuat Arimbi berteriak keras.

Rutinitas pagi keluarga Cakra, selalu diawali dengan salat subuh. Untuk para lelaki, mereka akan pergi berjamaah di Musala, sedangkan Arimbi cukup di rumah saja. Setelahnya, barulah mereka sarapan dan memulai segala aktivitas masing-masing.

Seperti pagi ini, Cakra tergesa-gesa menghabiskan sarapannya karena sudah mendapat telepon dari sang atasan.

"Tumben, Mas?" tanya Kresna. Pasalnya, si sulung adalah yang paling santai dalam hal pekerjaan. Biasanya dia berangkat belakangan setelah papa dan adiknya. Namun, hari ini lain.

"Ada proyek baru, Dik. Jadi, harus datang lebih pagi. Kata si bos, kliennya kali ini adalah orang yang paling tepat waktu. Telat sedetik saja bisa gagal mendapatkan proyek," jelas Cakra. Dia sudah berdiri dan bersiap menyalami tangan kedua orang tuanya.

"Bagus itu, biar kamu lebih menghargai waktu, Mas," sahut Arimbi.

"Wah, jarang-jarang ada bos seperti itu. Kalau perempuan dan belum menikah wajib kamu dekati, Mas. Dia bisa mengontrol kamu yang sering telatan," tambah Sapta membuat anggota keluarga lainnya tertawa.

"Ejek terus," jawab Cakra, tetapi lelaki itu tidak marah sama sekali. Suasana seperti ini sudah hal biasa di keluarganya.

"Hati-hati di jalan, Mas. Nggak usah ngebut. Jaga keselamatan. Ingat, mama masih pengen gendong cucu darimu," nasihat Arimbi ketika putranya berjalan menjauhi meja makan.

Cakra menjawab dengan mengangkat tangan dan menyatukan jempol serta telunjuknya. Setelahnya, dia pergi dengan mengendarai motor karena tidak ingin terjebak macet.

Kurang dari sepuluh menit, lelaki itu sudah sampai di kantor, tetapi sang atasan malah menyuruhnya untuk mendatangi klien mereka di tempat kerjanya.

"Elah, Pak. Tahu gitu saya langsung ke alamat ini saja. Biar nggak ngabisin bensin," gerutu Cakra. Dia berani protes karena sang atasan adalah kakak kelas dan juga teman satu organisasi ketika meraih gelar sarjana.

"Protes aja. Sana samperin dia di kantornya. Siapa tahu dari klien akan jadi pasangan," seru sang atasan penuh semangat.

"Memangnya dia cewek dan belum nikah?"

"Yup. Pepet aja, Cak. Setahuku, umurnya nggak beda jauh denganmu dan dari desas-desus yang aku dengar, keluarga sudah mendesaknya nikah. Siapa tahu kalian berjodoh, kan, sama-sama jomblo." Si bos tertawa setelah mengatakan jomblo.

"Duh, malah diperjelas." Cakra memasang tampang melas.

Si bos mengeraskan tawa. "Sana pergi keburu telat, dia ngambek nanti."

"Oke, deh. Doakan berhasil, ya. Jadi, kita bisa tetap mempertahankan nama baik perusahaan pemasaran ini," ucap Cakra.

"Insya Allah, usaha kita akan tetap yang terbaik dan semakin baik lagi."

Memasuki sebuah mall yang cukup besar di kota tersebut, Cakra sempat melirik ke segala arah sebelum memutuskan naik ke kantor pengelola. Di lantai 4, tepatnya di depan resepsionis, Cakra mengatakan maksud dan tujuannya.

"Silakan, Pak. Sudah ditunggu oleh Ibu," ucap sang resepsionis.

"Terima kasih." Cakra berjalan mengikuti sang resepsionis.

Beberapa orang sempat menatapnya aneh. Cakra sampai salah tingkah dibuatnya, takut jika ada yang salah dengan pakaian ataupun penampilannya.

Di depan pintu berwarna gading, resepsionis tersebut berhenti karena ada asisten si bos.

"Mbak, ini utusan Pak Hardinata, kantor pemasaran yang terkenal itu," terang si resepsionis.

"Oke." Sang asisten mengangkat wajah dan menatap lelaki di depannya. Keningnya berkerut dengan mata menyipit. "Lha, kok?"

"Ada apa, Mbak?" tanya Cakra tanpa rasa curiga sedikitpun.

Sang asisten segera menggelengkan kepala, mengenyahkan segala macam pikiran buruknya. "Mari silakan masuk, Pak. Ibu sudah menunggu di dalam."

"Apa dia lupa sama aku?" tambah sang asisten dalam hati. "Bukankah dia cowok yang kemarin?"

Cakra menganggukkan kepala. Sopan, dia menyapa perempuan yang duduk membelakanginya saat ini.

"Selamat pagi, Bu," ucap Cakra sekali lagi ketika sapaannya tadi tidak ditanggapi.

Sang pemilik ruangan memutar kursi hingga kini berhadapan dengan Cakra.

"Kamu?" ucap mereka bersamaan. Saling terkejut karena bisa bertemu lagi.

*****
Banyuwangi, 8 Januari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top