3. Bukan Kebahagiaan, tetapi Kesialan✓
Happy Reading
*****
Cakra membulatkan mata secara sempurna. Habis sudah kesabarannya. Dia tak lagi bisa menahan, tangannya reflek mencengkeram rambut si cewek yang menamparnya tadi.
"Dasar cewek arogan. Kamu apanya nenek itu, hah?!" tanya Cakra keras.
"Hei, jangan memakai kekerasan. Sudahlah," cegah Venya. Sang nenek berusaha keras melepaskan cengkeraman Cakra pada rambut si cewek.
"Apa dia cucumu, Nek?" tanya Cakra. Matanya mendelik masih dipenuhi amarah. "Tolong ajari sopan santun supaya nggak sembarangan menuduh orang lain apalagi sampai menampar seperti yang dilakukannya tadi."
Melepas cengkeramannya, tanpa kata dan penjelasan lagi. Cakra meninggalkan Venya dan si cewek dengan sejuta kekesalan dan kekecewaan. Hilang sudah semua harapan yang dipupuk selama ini.
Sepeninggal lelaki itu, si nenek menatap tajam cewek yang menampar Cakra tadi.
"Kamu bener-bener, Ar," kesal sang nenek.
"Nenek, tunggu." Perempuan yang dipanggil Ar itu berusaha mengejar neneknya yang marah. "Nenek," panggilnya lagi.
"Apa? Nenek marah, jangan ikuti lagi. Pulang sana. Kerja aja terus nggak usah mikir nikah," omel sang nenek.
"Berhenti atau aku akan keluar negeri lagi," ancam Ari.
"Pergi sana kalau berani." Hidung si nenek terangkat membuat mukanya lucu. Persis anak kecil ketika sedang merajuk pada orang tuanya.
"Nenek kesal karena aku gangguin tadi, ya? Nenek beneran cinta sama cowok sontoloyo itu?" Ari menatap kedalaman mata sang nenek. Perempuan sepuh itu adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Tentu, dia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya apalagi sampai ditipu oleh lelaki yang pantas menjadi cucunya.
"Diam! Jangan ganggu Nenek lagi." Perempuan berambut putih tersebut mengibaskan tangannya, lalu meninggalkan sang cucu sendirian.
"Mbak, nenek beneran suka sama cowok tadi? Apa beliau puber lagi?" ucap sekretaris Ari yang langsung mendapat pelototan.
"Jaga mulutmu. Kamu kurang kerjaan banget, ya? Mau aku kirim ke cabang pelosok yang nggak ada sinyal internetnya?" bentak perempuan yang tahun ini memasuki usia kepala tiga.
*****
Pulang membawa rasa jengkel, Cakra masuk rumah tanpa mengucap salam.
"Eh ... eh. Masuk kok nggak pake salam?" tanya Arimbi ketika putra sulungnya masuk.
Wajah Cakra terlihat kusut apalagi bibirnya maju beberapa sentimeter saat ini. Kening Arimbi berkerut melihat raut muka si sulung.
"Assalamualaikum, Mama yang cantik," ucap Cakra dan langsung duduk di sebelah Arimbi. Meletakkan kepalanya di pundak perempuan yang sudah melahirkannya itu sambil melingkarkan tangannya ke pinggang.
"Waalaikumussalam. Kenapa mukanya kusut gitu?" Arimbi membelai rambut si sulung. Jika Cakra mulai manja seperti sekarang. Pasti ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi.
"Maafkan Mas, ya, Ma. Tahun ini belum bisa bawa menantu."
"Lha, kenapa sama pacar online-mu itu? Nggak sesuai ekspektasi? Pasti dia jelek, jadi kamu langsung ilfil."
"Ma, aku bukan tipe cowok yang Mandang fisik, lho. Jadi, jelek atau cantik bagiku nggak masalah."
"Terus masalahnya apa? Kok, muka ini butek banget kayak air comberan," Arimbi mencubit gemas pipi si sulung.
"Kalau aku cerita, Mama janji jangan tertawa, ya." Mendongakkan kepala menatap perempuan yang telah melahirkannya. Lalu, Cakra teringat dengan Venya. Wajah yang sudah keriput dengan rambut berwarna putih semuanya.
Bagaimana bisa selama ini Cakra tertipu oleh perempuan sepuh seperti Venya. Membayangkan perempuan yang sudah menjadi kekasihnya itu, si sulung bergidik ngeri.
"Mas, hei, Mas," panggil Arimbi karena si sulung bengong dengan tatapan mata lurus ke depan. "Eh, kok, sepertinya ada yang begitu mengecewakan, Mas? Ada apa?"
"Janji dulu nggak bakalan ketawa setelah aku ceritakan semua." Cakra mengacungkan jari kelingking.
"Dih, kayak anak TK aja. Iya ... iya. Mama janji."
"Jadi gini, Ma." Cakra mulai menceritakan pertemuannya dengan Venya yang ternyata seorang nenek dengan taksiran umur 75 tahun. Di pertengahan cerita ketika Arimbi mulai tidak bisa menahan tawa, si sulung menghentikan ceritanya. "Tuh, kan. Mama pasti ngetawain aku."
"Bentar, deh, Mas. Selama setahun berhubungan dengan si Venya itu, kamu nggak pernah dikirimi fotonya gitu?" tanya Arimbi. Merasa ada yang mengganjal dengan cerita si sulung.
Bagaimana mungkin, seseorang berpendidikan dengan pengalaman mengahadapi banyak orang bisa tertipu begitu mudahnya oleh seorang wanita. Padahal jelas-jelas, Cakra adalah seseorang yang tidak mudah ditipu. Selalu berhati-hati serta teliti dalam berbagai hal.
Cakra pun menggelengkan kepala setelah sang mama penyelesaian pertanyaannya.
"Astagfirullah, Mas ... Mas. Kok, bisanya sudah kenal setahun, tapi nggak pernah kirim-kirim foto. Jadi, ya, jangan salahkan nenek itu."
"Ma, aku pernah tanya umur. Katanya, setahun di bawahku artinya kan sekitar 30 tahunan. Lakok yang tak temui tadi malah nenek-nenek. Ya, walaupun cantik, tapi kan umurnya beda jauh sama aku."
Plak ....
"Aduh," rintih Cakra.
Arimbi gemas dengan kalimat terakhir si sulung. Bisa-bisanya memuji si nenek cantik padahal dia sendiri sudah ketakutan ketika perempuan itu melamarnya.
"Rasain," kesal Arimbi, "kalau kamu ngomong cantik. Kenapa nggak diterima saja lamarannya?"
"Elah, Ma. Apa kata dunia jika aku nikah sama nenek itu," sahut Cakra.
"Heh, kok bahas nenek dan nikah. Ada apa?" tanya sang Papa. Di belakangnya, sudah ada Kresna dengan muka keponya.
"Ini, nih. Mas Cakra, katanya dilamar Nenek-nenek. Asal dia mau, banyak harta yang bakalan didapat," jelas Arimbi.
"Mama kok gitu, sih. Aku bukan cowok matre, ya," sanggah Cakra.
"Mas, beneran dilamar Nenek-nenek? Jangan-jangan pacar online-mu itu Nenek-nenek, ya?" sahut Kresna, heboh dengan segala kekepoannya. Tawa pun keluar dari bibir.
"Beneran itu, Mas?" tanya sang Kepala keluarga."
"Au ah." Cakra berdiri hendak meninggalkan keluarganya. Namun, ponselnya berdering dan nama Venya terlihat di layar.
"Ma ... Ma, tolong. Angkat dan katakan kalau Mama nggak sudi punya menantu nenek-nenek. Tumben nelpon padahal biasanya nggak pernah."
Sang kepala keluarga dengan si bungsu saling sikut, keduanya menertawakan si sulung yang memucat.
Sesuai permintaan si sulung, Arimbi terpaksa mengangkat panggilan si Venya.
"Halo," sapa Arimbi.
"Eh, ini siapa? Kok berani-beraninya mengangkat telpon di HP-nya Mas Cakra," kata suara di seberang, nadanya sedikit meninggi.
Arimbi mengerutkan kening. Menatap si sulung dan mulai meragukan ceritanya.
"Mas, beneran dia ini nenek-nenek? Kok, suaranya seperti anak muda. Kamu nggak bohong sama Mama, kan?" tanya Arimbi memastikan semua kebenaran supaya dia tidak salah. Tangannya menutup speaker ponsel supaya sang penelepon tidak mendengar pertanyaannya pada si sulung.
"Beneran, Ma. Lebih baik, Mama marahin dia sekarang juga," bisik Cakra supaya si nenek itu mundur dan berhenti mengejarnya.
Arimbi mengangguk. Mulai memasang wajah serius walau si lawan bicara tidak mengetahui ekspresinya.
"Kamu sendiri siapanya Cakra? Berani-beraninya bertanya dengan suara tinggi."
"Aku pacarnya Mas Cakra. Siapa kamu, cepat katakan," ucap Venya dengan suara yang bisa didengar oleh seluruh keluarga Cakra.
"Baru juga pacar, lagaknya sudah seperti istri. Aku nggak mau, ya, punya menantu sepertimu. Sudah nenek-nenek, ngomongnya kasar. Dasar nenek-nenek ganjen."
"Hah, nenek-nenek gimana maksudnya?"
*****
Banyuwangi, 7 Januari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top