2. Lamaran Sang Nenek✓

Happy Reading

*****

"Tunggu," ucap si perempuan yang rambutnya sudah memutih semua dengan keriput di seluruh wajah.

Berbalik, Cakra menatap perempuan yang lebih pantas menjadi neneknya itu. "Ada apa lagi, Nek? Bukankah sudah jelas perkataan saya tadi? Kita nggak bisa meneruskan hubungan ini. Maaf," ucapnya.

Cakra menyatukan dua tangannya di depan dada. Mungkin belum waktunya lelaki itu memiliki seorang istri. Jadi, walau hatinya masih tak ikhlas melihat kenyataan yang ada, dia tetap berpikir logis dan rasional.

"Duduklah dulu, ada yang mau aku omongin, Sayang," kata si nenek.

Miris, hati Cakra seperti teriris ketika mendengar panggilan sayang dari wanita di depannya. Dulu, sebelum pertemuan ini, tentunya dia sangat bahagia jika Venya memanggilnya seperti itu. Namun, semua berubah ketika dia bertemu dengan sang pujaan.

"Tolong jangan memanggilku seperti itu. Rasanya nggak pantas," pinta Cakra. Demi menghormati orang yang lebih tua, lelaki itu duduk di meja yang sudah di pesan. Buket mawar yang dia bawa, perlahan ditaruh di meja.

Venya tersenyum manis, Cakra harus mengakui jika wanita sepuh di depannya itu cukup cantik. Walau usianya sudah tua, tetapi sisa kecantikannya di masa muda masih sangat terlihat. Kulitnya terawat dengan baik. Wajahnya juga bersih sekali.

"Apa buket ini untukku?"

"Semula iya, tapi sekarang nggak," jawab Cakra ketus. Dia mencoba berpikir waras supaya tidak memberi harapan pada perempuan di depannya.

"Kenapa begitu? Bukankah aku masih cukup pantas untuk menerima buket mawar ini?"

"Nek, tolong. Perbedaan usia kita cukup jauh. Kita lebih pantas menjadi cucu dengan neneknya. Maaf jika selama chating-an, aku pernah berkata kurang ajar. Lebih baik, mari lupakan semua yang pernah terjadi setahun ini." Cakra kembali menangkupkan kedua tangannya, benar-benar memohon supaya melupakan apa yang terjadi selama ini.

Venya memasukkan tangannya ke dalam tas, beberapa detik kemudian dia mengeluarkan map berwarna hitam. "Jika kamu mau menikah denganku. Semua ini akan menjadi milikmu." Menyodorkan map tersebut pada Cakra.

Namun, si lelaki mendorong kembali map tersebut pada si nenek. "Maaf, aku bukan lelaki matre yang hanya bisa menikmati uang serta harta seorang perempuan dalam hidup. Aku punya harga diri, Nek," jelasnya.

Sekilas saja, Cakra bisa membaca apa isi dari map tersebut. Tulisan di sampul map cukup menjelaskan semuanya. Dia bukan lelaki yang haus akan harta benda. Keluarganya mengajarkan bahwa harta yang berkah, hanya bisa didapat dengan cara benar. Bukan seperti sekarang ini.

"Benar kamu nggak mau itu?" tanya lawan bicara Cakra. "Isinya sebuah rumah beserta sertifikat atas namamu. Ada juga sebidang sawah dan juga deposito senilai 100 juta. Apa kamu nggak mau? Kalau kamu setuju dengan lamaranku tadi, semua itu akan menjadi milikmu. Jadi, kamu nggak perlu bekerja." Venya menarik garis bibirnya ke atas.

Cakra mendengkus. "Harga diri seorang lelaki itu bekerja. Bagaimana mungkin nenek menyuruhku nggak kerja. Sekali saya katakan nggak, ya, nggak." Berdiri, hendak meninggalkan Venya. Suara Cakra mulai meninggi, emosinya sedikit terpancing. Beruntung, dia teringat nasihat sang mama yang harus menghormati semua orang tua, jadi dia merapalkan istighfar berkali-kali supaya kemarahannya tidak sampai menyakiti hati si nenek.

"Apa semua yang aku berikan itu masih kurang? Gimana kalau aku tambah uang bulanan 10 juta?" Venya kembali menaikkan garis bibir untuk merayu lelaki muda di depannya.

Membayangkan jika dirinya jalan berdua dengan perempuan yang pantas menjadi neneknya, seketika Cakra bergidik ngeri. Reflek dengan gerakan secepat mungkin menggelengkan kepalanya.

"Sekali lagi, maafkan aku, Nek." Cakra melanjutkan langkah. Dia harus mengelus dada dengan sikap perempuan sepuh di depannya yang pantang menyerah.

"Tunggu."

"Apa lagi, Nek?" tanya Cakra dengan suara lelah dan putus asa.

"Gimana kalau aku berikan separuh saham dari perusahaan milik keluargaku, tapi syaratnya kamu harus menerima lamaran ini?" tawar Venya. Dia bahkan dengan berani memainkan alis untuk menggoda Cakra. Tangannya mulai bergerak ingin memegang lengan lelaki tampan di depannya.

Menghela napas panjang, Cakra tak habis pikir dengan pemikiran wanita sepuh di depannya. "Harus berapa kali aku katakan, Nek. Aku nggak mau menerima apa pun tawaranmu. Jika Nenek memang benar-benar ingin menikah. Cari saja lelaki lain. Jangan aku, ya. Aku sama sekali nggak tertarik dengan semua tawaran itu. Permisi."

Cepat, Cakra mengayunkan langkah meninggalkan perempuan sepuh itu. Namun, sang nenek malah dengan kuat mencengkeram pergelangan dan menariknya hingga mengakibatkan keseimbangan si lelaki goyah. Hal itu mengakibatkan tubuh atletisnya jatuh ke pelukan si nenek dan tanpa sengaja bibir pun bertemu bibir.

Dari belakang keduanya, ada seorang perempuan yang berteriak. "Mbak, aku sudah menemukan Nenek," teriaknya.

Seorang perempuan berambut panjang hampir sepinggang melotot melihat adegan Cakra dan Venya. Penuh kemarahan, perempuan itu menarik pergelangan tangan Cakra.

"Apa-apaan ini? Kamu nggak malu melakukannya di depan umum seperti ini? Dasar cowok mokondo, bisa-bisanya berbuat mesum pada nenek-nenek," umpatnya keras membuat sebagian pengunjung restoran yang sedang menikmati makan siang memperhatikan mereka.

"Heh! Jangan asal nuduh," ucap Cakra tak terima.

"Apanya yang asal nuduh. Semua bukti sudah jelas terlihat." Si cewek mendelik seolah-olah Cakra adalah lelaki bajingan yang sedang mencari mangsa untuk diperdaya.

"Sialan! Kamu siapa? Jangan asal nuduh! Kalau nggak tahu asal muasal kejadian sebenarnya, mending mulutmu diem saja." Suara Cakra menggelegar. Wajahnya memerah, menahan amarah. Baru sekali ini, dia dikatai bajingan oleh seorang perempuan tak dikenal padahal lelaki itu terkenal baik. Selalu menghormati perempuan bahkan selama setahun menjalin kedekatan secara online dengan Venya, tidak sekalipun Cakra melakukan panggilan video demi menghormati keinginan perempuan itu.

"Heh, lelaki mokondo nggak tahu diri," olok perempuan itu, sekali lagi.

"Tutup mulut busukmu!." Cakra kelepasan. Dia membungkam bibir si cewek dengan tangannya yang kekar.

Plak ...
Beberapa detik kemudian suara tamparan terdengar.

*****
Banyuwangi, 6 Januari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top