9. Beno Cemburu
****
Malam itu sudah terlalu larut bagi Beno untuk keluar dari kamarnya. Mencoba menarik selimut, Beno memejamkan mata erat-erat. Namun semakin lama ia memaksakan, ia cenderung merasa tergelitik dan ingin terjaga semakin lama.
"Aku gak bisa tidur," gumam Beno mengeluh seraya menyibak selimut yang baru saja menelannya bulat-bulat di atas kasur.
Mengedipkan mata berkali-kali, bola mata hitam milik Beno berputar menatap jarum jam yang mengeluarkan bunyi di dinding kamar.
"Setengah dua belas malem, haruskah aku menggedor pintu kamarnya hanya untuk tanya siapa Damia?" gumam Beno lagi seraya menelengkan kepala.
Untuk sesaat perasaan Beno dibuat gundah dan ia tidak bisa hanya diam aja bak patung pancoran yang menunggu dirobohkan.
"Siapa Damia? Kenapa Diarty gak pernah bilang soal statusnya?" gumam Beno lagi lalu diiringi dengan gigitan kecil di bibir bawahnya.
Beno menghela napas, ia merasa bahwa ia gak bisa menahan perasaan anehnya dalam jangka waktu yang lama. Perlahan ia meraih ponselnya yang berhasil ia isi dengan bantuan charger milik Diarty.
Setelah mempertimbangkannya cukup lama akhirnya Beno dengan nekat menelpon Diarty tanpa peduli apakah dia mengganggu atau tidak.
Cukup lama panggilannya tak tersambung, membuat kesabaran Beno nyaris meledak malam itu. Andai aja ini di rumah Beno, mungkin aja pria berambut pendek itu sudah membanting ponselnya ke dinding atau berteriak gila.
Karena panggilannya tak terjawab, Beno segera beranjak dari tempat tidurnya dengan perasaan semakin resah. Ia mondar-mandir seperti juragan pengepul yang sok-sokan sibuk.
"Kenapa gak diangkat sih, Di? Kamu sengaja ya?" bisik Beno berbicara dengan ponselnya.
Kembali menarik napas panjang, Beno meletakkan ponselnya dengan setengah membanting. Bola matanya kembali tertuju ke arah dinding, sepertinya ia nggak bisa nunggu lebih lama lagi.
Bergegas keluar dari kamar, Beno menuju ke kamar Diarty yang terletak hanya beberapa meter dari kamarnya.
Kondisi seluruh ruangan terlihat begitu temaram, pencahayaan yang teduh memungkinkan seluruh anggota keluarga tidur dalam tenang.
Malam itu suara jangkrik di sekitar rumah berbunyi begitu dominan. Setelah menunggu cukup lama, Beno memberanikam diri untuk mengetuk pintu kamar Diarty.
Nekat emang tapi bagi Beno yang notabene adalah warga kota, bodo amat.
Kali ini tak ada jawaban membuat perasaan tak nyaman Beno makin meluap. Sekilas Beno justru membayangkan bagaimana ia berusaha mendobrak pintu itu gegara Diarty yang pasif dan pura-pura gak denger.
Menggelengkan kepala, Beno mencoba menghapus pikiran buruknya yang terlalu dalam. Mana mungkin ia memasuki kamar gadis macam penyamun kurang cinta. Tunggu! Gadis? Ya, kali kalo Diarty masih gadis coba kalau dia janda? Mungkinkah Beno bakal bernasib seperti perjaka yang dapet durian runtuh, beli satu dapet dua.
Mengulur kesabaran bukanlah ahli Beno. Ketika ketukan yang ketiga, dengan rasa tak sabar Beno mengeluarkan suaranya setengah berbisik. "Di, kamu keluar dong. Badanku demam, mungkin kamu bisa bantu?"
Duh, berbohong? Beno tak punya cara lain selain itu. Memancing ikan di malam hari memanglah sulit, salah-salah kait malah nyantol di kaki sendiri malah.
Tak ada jawaban, membuat emosi Beno benar-benar di ujung ubun-ubun. Ketika ia hendak merangsek masuk atau justru mendobrak pintu dengan kekuatan kakinya, pintu itu berderit dan terbuka.
"Mas Beno, ada apa?" tanya Diarty pelan seraya mengucek matanya yang terasa begitu perih.
Untuk sesaat Beno melongo. Jadi begini, dia sudah tertidur dan mendayung sampan mimpi sedangkan Beno bagai orang gila hanya karena teka-teki yang Diarty berikan tadi sore.
Menahan kesabaran yang hendak jebol, Beno lantas menarik pergelangan tangan Diarty untuk keluar dari kamar. "Ayo keluar, kita harus bicara!"
Diarty mengerutkan dahi ketika Beno menggelandangnya keluar dari dalam rumah. Membuka kancing pintu dengan mudah, Beno mengajak Diarty ke taman samping rumah.
"Mas Beno, ada apa?" Suara Diarty terlihat panik. Beno menghentikan langkah lalu berbalik secepat kilat.
Mereka bertatapan cukup lama, tak ada suara dari bibir tipis Beno yang menahan getar.
Dengan cepat, Beno mengarahkan tangan kanannya dan mendorong Diarty ke belakang. Diarty kaget, ia terhempas dan terduduk di kursi taman yang basah oleh embun malam.
Diarty mendongak, tak mengerti maksud Beno. Terlebih pria itu berdiri di hadapannya, mencondongkan tubuh dengan salah satu lutut bertumpu di atas kursi. Tuhan, apakah ini salah satu gerakan erotis?
"Mas Beno .... " Diarty mendesis, ia tak bisa menebak apa yang dilakukan Beno padanya.
"Jelaskan padaku sekarang, siapa Damia? Apakah dia anakmu?" tanya Beno tanpa tedeng aling-aling.
Sinar rembulan malam itu begitu utuh, semua terlihat begitu jelas termasuk bagaimana raut wajah Beno ketika menyebut anak di hadapan Diarty.
"Mas, aku tadi kan dah bilang ke Mas, kita bahas besok aja ya." Diarty berkata sangat pelan, membuat kesabaran Beno makin habis.
Beno menipiskan bibir, ia mencondongkan wajahnya ke hadapan Diarty. Lebih dekat dari sebelumnya. "Gak bisa, harus sekarang."
"Tapi Mas, ini udah malem. Ntar kalau warga kampung ngeronda terus liat kita kayak gini, mereka bakal salah paham. Bisa-bisa besok kita disuruh nikah lagi di KUA."
"Bodo amat, pokoknya kamu harus jawab ato aku bakal nahan kamu di sini semaleman." Beno pura-pura mengancam, menetralisir perasaan yang ia indikasi bahwa itu adalah cemburu.
"Mas, kamu cemburu sama Damia? Kamu cemburu sama anak kecil?" celetuk Diarty menatap bola mata Beno dengan wajah pura-pura tenang.
"Hah? Apa? Cemburu sama bocah?" ulang Beno tak percaya namun wajahnya langsung merebak merah dan panas.
"Iya, lihatlah kau bahkan bersikap kayak bocah seperti itu. Untuk masalah Damia, aku bisa ceritain besok. Apa kamu gak bisa nunggu?"
Perasaan Beno makin campur aduk. Lihatlah betapa tenangnya Diarty berkata begitu, sedangkan dia harus guling-guling semalaman hanya untuk menunggu jawaban tentang siapa Damia.
Menggenggam erat jemari tangannya, Beno berusaha menahan rasa tidak adil yang memberontak dalam jiwanya.
"Udah malem Mas, yuk bobo. Aku janji besok bakal ceritain siapa Damia itu. Aku yakin kamu bakal suka sama dia." Diarty mencoba tersenyum manis.
Apa? Menyukainya? Apa Diarty sudah juling?! Malam ini Beno terindikasi cemburu sama bocah, mana mungkin esok hari ia bisa menyukainya? Yang ada, mungkin malah jadi musuh.
Beno tak juga menjawab ucapan Diarty yang ia anggap adalah bujukan manis sesaat. Bagaimana jika Diarty benar-benar janda?
Bagi Beno yang udah kadung cinta mati beneran, soal status janda mungkin 70% ia bisa menerima. Tapi, janda dan bawa anak? Mana bisa ia menerima hal itu dengan mudah?!
Menatap Diarty dengan benak kacau, Beno berusaha menerima kenyataan bahwa Diarty adalah janda beranak satu. Meski hal itu mengacaukan hasratnya, ia begitu cinta sama Diarty. Mana mungkin ia menanggalkan kesetiaan hanya karena status janda yang tersemat dalam diri Diarty?
"Mas, ayo bobo. Udah malem," ucap Diarty menyadarkan lamunan ruwet yang ada di pikiran Beno.
Pria itu menarik napas, ia menatap wajah Diarty sekali lagi. Mengamati wajah kekasihnya, ia mencoba ikhlas atas segala yang terjadi esok.
Perlahan jemari tangan Beno terulur dan menyentuh pipi Diarty dengan lembut. Menarik napas, pria itu mencoba mengendapkan perasaan cemburunya yang membakar.
"Di, walau kamu seorang janda dan beranak satu, aku tetep nerima kamu kok. Hal ini emang sulit tapi aku akan berusaha buat nerima. Aku akan berusaha, Di."
Cup.
Beno melabuhkan ciumannya di bibir Diarty.
Angin malam yang dingin tiba-tiba menyapu kulit tubuh mereka. Dingin dan juga basah.
Darah keduanya berdesir seiring kulit bibir Beno yang menyapu permukaan bibir Diarty secara perlahan. Sebuah gigitan kecil, gigitan termanis yang ia berikan setelah ia merasa cemburu dan itu belum juga tertuntaskan.
Melepaskan lumatan, Beno berusaha memandang wajah Diarty yang tertunduk karena malu. "Di, aku beneran cinta sama kamu. Jangan mainin perasaanku terlalu lama. Aku takut aku gak kuat lalu gila."
****
Beno mengecek ponselnya yang begitu ramai dengan pesan-pesan singkat. Dihitung ada 15 pesan masuk di Whatsapp, 20 kali panggilan tak terjawab dan ada tiga 3 buah pesan di SMS.
Beno menghela napas, ia meletakkan ponselnya lalu mengedarkan pandang ke hamparan halaman luas rumah Diarty yang dipenuhi dengan hamparan tanaman singkong berdaun lebat.
Memikirkan pesan-pesan tersebut, Beno tak berani membukanya. Sudah jelas, ibuk pasti kalang kabut karena semalaman Beno gak kasih kabar kemana dia pergi sedari pagi.
"Kamu dah bangun sepagi ini?" sapa Bibi Nosi di ambang pintu seraya menggendong Damia.
Beno menoleh, menatap bibi Nosi sekaligus Damia secara bergantian. Melihat Damia, kepala Beno kembali berdenyut. Sepertinya ia memang harus siap menerima status Diarty.
"Udah, Bi. Aku gak bisa tidur semalaman," jawab Beno pelan seraya mengusap salah satu bola matanya.
Bibi Nosi tak bersuara, ia lantas duduk di samping Beno tanpa lupa menaruh Damia di samping Beno. Saat ini mereka tengah berbagi kursi panjang yang tersedia di teras Diarty.
Beno melirik anak kecil itu sejenak, ada perasaan asing tapi ia tak perlu bereaksi berlebihan. Ia telah kehilangan akal tadi malam dan itu hanya karena seorang bocah yang kini asyik bermain di sampingnya.
"Kenapa gak bisa tidur? Banyak nyamuk ya? Mas Beno, hidup di desa itu ya seperti ini keadaannya. Harus menyesuaikan karena semua serba tidak ada. " Bibi Nosi mulai berbincang dengan tenang, sesekali ia bermain dengan Damia dengan perasaan riang.
Tak ada suara dari bibir Beno. Tawa cekikikan Damia kembali menuai lirikan tajam Beno ke arahnya. Ia tak tahan untuk tahu siapa Damia ini. Lalu ....
"Bi, siapa bocah ini? Apa dia anak Diarty? Sejak kapan Diarty nikah? Diarty gak pernah ngomong apapun soal status dia yang janda ke aku," ucap Beno bertanya bagai kereta gantung tanpa rem.
Bibi Nosi terdiam, ia tercekat cukup lama hingga akhirnya suara cekikikan muncul dari bibir bibi Nosi. Wanita paruh baya itu tertawa dan merasa kocak dengan pertanyaan Beno.
"Jadi, kamu nganggep ponakan bibi itu udah janda, to?" tanya Bibi Nosi penuh selidik. Wajahnya yang penuh dengan rasa geli belum juga hilang.
Wajah Beno memerah bagai kepiting, "Bi, walau Diarty janda, aku tetep terima kok. Hanya aja aku merasa asing sama bocah ini. Diarty gak jujur sama aku sejak semula, mana aku bisa menyiapkan mental kalo kayak gini."
"Kamu ngeluh atau ngadu sama bibi, hah? Coba jawab pertanyaan Bibi?!"
Beno menggeser-geser bokongnya dengan resah, ia melirik sekilas ke arah bibi Nosi dan enggan untuk menjawab. Buat apa jawab kalo bakal diketawain pada akhirnya.
Bibi Nosi menatap wajah canggung Beno dengan seksama. Ia menghela napas lalu meraih Damia dan mendudukkan bocah itu di pangkuannya.
"Damia itu anak dari kakak laki-laki Diarty. Dia yatim piatu," ucap Bibi Nosi dengan serius, membuat pandangan Beno teralih ke arahnya.
"Empat tahun yang lalu Di kehilangan ayahnya, ibunya lumpuh dan memiliki mental yang terguncang. Di gak punya pilihan selain pulang kampung dan melanjutkan sekolah di sini. Belum habis kesedihannya, setahun kemudian kakak laki-laki beserta istrinya juga meninggal dalam sebuah kecelakaan motor. Mereka pamit mau beli susu buat Damia tapi kabar yang pulang justru mereka kecelakaan karena menyenggol sebuah truk. Kakak Di meninggalkan Damia yang baru setahun, membuat Damia tak kenal siapa ayah dan ibunya. Bibi selalu sedih kalo denger Damia manggil mama sama Diarty. Bagaimanapun Diarty masih perawan, ia akan kesulitan menemukan jodoh dengan panggilan mama yang tersemat pada dirinya. Walau begitu, Diarty gak pernah ngeluh. Dia gak keberatan jika Damia manggil dia mama. Mulanya ia bekerja di sekitaran sini tapi kebutuhan Damia dan juga ibunya semakin banyak, Diarty memutuskan bekerja di kota. Damia dan ibuknya dititipin ke aku. Berbekal kiriman uang dari Di, Damia bisa hidup dan udah segedhe ini."
Bibi Nosi bercerita panjang lebar. Wanita itu lalu menimang-nimang Damia dan mencium pipi bocah itu berkali-kali.
Cless.
Ada perasaan lega dalam dada Beno. Semalaman ia memikirkan hal ini hingga matanya memerah dan memiliki sedikit kantung mata. Ia nggak nyangka jika bocah ini begitu menyedihkan dalam hidupnya. Memperhatikan bocah itu sedikit lebih lama, menatapnya yang senyam-senyum tanpa dosa membuat pandangan Beno terhadapnya berubah total.
"Bibi, aku mau kok jadi papanya dia. Beneran."
*****
Yuk votenya mana yuk?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top