7. Aku Pergi
****
Beranjak dini hari dan mata Diarty belum juga menunjukkan tanda-tanda kantuk. Sebenarnya Diarty sudah lelah namun entah kenapa matanya begitu sulit untuk diajak terlelap.
Menatap langit-langit kamar, Diarty yang rebahan terus saja memikirkan apa yang diucapkan ibunda Beno. Mendadak semua terasa benar di benak Diarty dan Diarty tak punya lagi alasan untuk tetap berada di samping Beno.
Merebahkan diri di samping boneka Ruru, pikiran Diarty mendadak pusing. Sepertinya ia memang harus menyingkir sejauh mungkin dari Beno. Hidup Diarty sudah susah, ia tidak ingin masalah ini menambah kesusahannya di kemudian hari.
Diarty beranjak bangun, ia meraih ponsel dan mengeceknya. Menghela napas, ia mencari kontak Saras dan mulai mengetik sesuatu. Waktu itu jam menunjuk pukul tiga dini hari, mungkin Saras masih asyik dengan alam mimpinya.
"Ras, sepertinya hari ini aku gak masuk kerja dulu. Aku pengen pulang kampung, kangen ibu sama Damia. Gak usah khawatir, aku udah ijin sama Beno."
Diarty ragu untuk menekan tombol send tapi setelah beberapa detik mencoba untuk menimang-nimang akhirnya ia mengirimnya juga.
Setelah berhasil mengirim pesan, Diarty bergegas berdiri dan mulai mengemasi beberapa pakaiannya di koper kecil miliknya yang berwarna ungu.
Permasalahan yang Diarty alami membuat gadis itu mendadak ingin pulang kampung dan bertemu dengan Ibu dan Damia-keponakannya yang berumur tiga tahun.
Sambil mengemasi pakaian, tiba-tiba air mata mengucur begitu saja dari bola mata Diarty. Kenapa? Kenapa ia justru menangis disaat seperti ini? Harusnya ia bahagia karena sebentar lagi akan terlepas dari yang namanya derita karena sebuah hinaan.
"Maaf Mas Beno, sekali lagi maaf."
****
Pagi itu cuaca sepertinya tidak bersahabat. Awan warna abu-abu menggelayut manja di langit, sesekali berarak dan bergerak sedikit lambat menuju arah timur.
Beno keluar dari mobil APV warna putih dengan sedikit tergesa, mobil itu ia parkir di depan pintu rumah Diarty. Dengan langkah mantap si pemuda berjalan menuju arah pintu lalu mengetuknya pelan.
Dua menit, tiga menit. Waktu berjalan cukup lama ketika tidak ada sahutan dari si empunya rumah. Dahi Beno mengerut, sekali lagi ia mencoba mengetuk pintu dengan ketukan lebih keras. Usaha Beno sia-sia ketika tak ada jawaban dari Diarty.
Dering ponsel mengalihkan perhatian Beno. Pria berjaket jeans biru itu segera mengambil ponsel di saku celananya. Sebuah panggilan dari Saras membuat Beno buru-buru untuk segera mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo, Saras, kamu ngerti nggak Diarty kemana? Aku udah ketuk-ketuk pintu tapi orangnya gak keluar-keluar juga. Apa dia sakit ya di dalam?" Beno langsung nerocos tak karuan ketika panggilan itu berhasil menghubungkannya dengan Saras.
"Loh, emangnya Diarty gak ngomong apapun sama kamu Ben? Tadi dia ngirim pesen katanya dia mau pulang kampung, kangen sama ibu katanya." Suara Saras terdengar dari dalam ponsel.
"Apa? Pulang kampung?" Beno terkejut ketika tahu kenyataan yang sebenarnya.
"Iya, Diarty kirim pesen ke aku katanya mau pulang kampung. Dia juga bilang katanya udah minta ijin sama kamu," jawab Saras dengan nada terdengar tenang.
Beno diam seribu bahasa, pria itu memijat dahinya dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan.
"Ben-" suara Saras dari dalam ponsel menyadarkan Beno.
"Ras, kamu tahu nggak dimana kampung Diarty? Setahuku dia gak punya kampung halaman." Beno kembali bertanya pada Saras.
"Dia emang gak punya kampung halaman tapi ibunya punya saudara yang tinggal di kampung. Mungkin Diarty pergi kesana buat jenguk ibuknya." Saras menjelaskan dengan begitu sabar.
"Katakan padaku, kemungkinan dia naik apa kalo pulang kampung?" tanya Beno serius. Pria itu lantas berlari menuju ke mobilnya.
"Naik kereta setahuku, soalnya Diarty pernah cerita kalo kampung halamannya cuma bisa dijangkau dengan kereta."
"Baik, aku langsung cek ke stasiun aja." Beno lalu mematikan ponselnya, pria itu dengan panik segera masuk ke dalam mobil dan melaju menuju ke stasiun terdekat.
"Di, kenapa kejadian lagi? Kenapa kamu merasa harus ninggalin aku? Kenapa?" Beno bergumam sembari menyetir mobilnya menuju ke arah stasiun.
Sejenak Beno melirik ke arah jam tangan yang ia pakai. Pukul 06.30, ia berharap kereta yang akan membawa Diarty pergi belum juga pergi dari stasiun.
"Tuhan, aku gak pengen pisah dari Di. Gak pengen sama sekali, ijinin aku ketemu sama dia, Tuhan."
****
Suasana stasiun pagi itu sudah begitu ramai. Banyak orang ingin bepergian dengan membawa barang bawaan berupa koper dan tas ransel. Selain itu pedagang keliling yang menjajakan air mineral dan beberapa makanan kecil turut meramaikan suasana geliat stasiun.
Begitu banyak orang yang ingin bepergian membuat Beno harus rela mengantri masuk ke dalam stasiun.
Menatap ke penjuru arah, Beno berusaha untuk menemukan sosok Diarty. Keadaan yang ramai membuatnya terlihat bingung dan gelisah. Sesekali pria itu memutar tubuh, mengamati setiap wajah orang yang ia temui.
Wajah Beno memerah, ia ingin menangis kala itu. Dengan tangan gemetar, Beno merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Ia ingin menelpon Diarty namun panggilannya sama sekali tidak dijawab oleh kekasihnya.
Beno menghela napas. Meskipun panggilannya sama sekali tidak dijawab, pria itu kembali berusaha mencari keberadaan Diarty di setiap kerumunan orang yang berkumpul.
Suasana stasiun yang ramai membuat Beno begitu kesulitan mencari keberadaan Diarty. Ketika ia mulai lelah, pandangannya tertuju pada sebuah kereta yang hendak berangkat.
Pandangan Beno membulat ketika melihat sosok Diarty berjaket putih tengah duduk di pinggir jendela. Gadis itu terlihat melamun dan berwajah murung. Suasana di dalam kereta telah penuh oleh penumpang. Beberapa diantara mereka tengah bercakap-cakap satu sama lain, ada juga yang bercanda dan berkata-kata cukup keras.
Beno segera berlari menghampiri, ia tak lupa mengetuk kaca jendela kereta dengan tangannya. Diarty tersadar, ia membelalakkan mata ketika melihat sosok Beno berusaha untuk berkomunikasi dengannya.
Kereta saat itu mulai berangkat namun Beno terus saja mengejar kereta yang ditumpangi Diarty. Apa yang dilakukan Beno membuat Diarty nyaris menangis. Sebenarnya apa yang sudah ia lakukan pada Beno? Tidak kasihan-kah ia pada Beno yang berusaha menghentikan aksinya untuk pergi meninggalkan kota?
"Di, katakan padaku, ada apa? Kenapa kamu pengen banget pergi dari aku? Kita bisa omongin ini baik-baik 'kan? Di, aku mohon kamu turun. Turun, Di! Turun, kataku!" Beno terus berteriak sembari memukul kaca, kakinya turut berlari mengejar kereta.
Diarty meneteskan air mata, ia hanya melipat kedua tangannya di dada guna memohon maaf pada Beno yang sudah kesekian kalinya ia buat susah.
"Di-" Beno berteriak tapi tak ada guna ketika kereta itu melaju pergi membawa Diarty menjauh.
Mata Beno memerah, ia meyugar rambutnya dengan gelisah. Diarty telah pergi, sama seperti kejadian empat tahun yang lalu.
Beno lalu pergi ke loket tempat penjualan karcis. Setelah bertanya-tanya mengenai kereta yang baru saja berangkat, Beno membeli satu tiket karcis dan berencana untuk menyusul Diarty.
Berjalan dengan lesu menuju ke kursi tunggu, Beno mengamati tiket itu dengan harapan yang mematik bagai api.
"Aku gak tahu apa tindakanku ini bener ato salah, yang aku tahu, aku beneran gak mau kehilangan kamu, Di. Aku gak pengen ngalamin lagi rasa yang sama kayak empat tahun yang lalu. Di, aku bakal kejar kamu walau kamu pindah ke kutub sekalipun. Di, aku bakal kejar kamu."
****
"Di, aku nyusul kamu. Aku pakai kereta kedua setelahmu, aku harap kamu masih mau nungguin aku di stasiun nanti. Di, aku gak bakal lepasin kamu."
Sebuah pesan Whatsapp berhasil masuk ke ponsel Diarty. Gadis itu membelalakkan mata, ia tak percaya jika Beno bakal senekat itu buat dapetin dirinya. Mendadak segala kekhawatiran membuncah dalam pikiran Diarty. Gimana kalo Beno ntar tersesat? Dia 'kan jarang pergi pakai transportasi umum?! Trus, apa jadinya kalo dia salah naik kereta terus ilang?
Memikirkan hal itu, hati Diarty merasa tak tenang. Akhirnya ia memilih untuk membalas Whatsapp Beno.
"Mas, pulang gih. Aku gak mau kamu ntar tersesat dan gak bisa pulang. Ibuknya Mas ntar khawatir jadi pulang gih. Aku bakal balik kok."
Tak lama kemudian, Whatsapp Diarty pun berbalas.
"Kamu boong. Aku gak percaya sama kamu. Aku tetep nyusul kamu."
Kekhawatiran Diarty makin menjadi ketika pesan Whatsapp-nya justru hanya dibaca tanpa dibalas sedikitpun.
Saat kereta melaju kencang, pikiran Diarty justru tertuju pada Beno. Bagaimana Beno nanti? Semoga ia mengurungkan niat dan memilih untuk kembali ke pelukan ibunya.
****
Beno nggak main-main. Pria itu melangkahkan kaki turun dari kereta kedua yang membawa tubuh serta hatinya ke wilayah terpencil yang ia sendiri sama sekali nggak kenal.
Mengedarkan pandang ke sekeliling, ia berharap Diarty masih mau menungguinya. Saat itu hari mulai sore dan mendung, Beno merasa resah.
Melangkah risau, Beno keluar dari area stasiun yang ramai dan memilih untuk menunggu di area taman dekat stasiun yang sepi dan hanya ada beberapa pengunjung.
Beno lantas mengambil ponselnya dari saku dan mulai menulis pesan singkat pada Diarty.
"Di, aku udah sampai. Kamu dimana? Datengin aku. Aku berada di taman yang sepi banget. Di, disini mau ujan, apa kamu masih pengen sembunyi dari aku?"
Pesan itu tak berbalas hingga satu jam lamanya. Beno masih bertahan dan masih menunggu di taman dengan sabar.
Satu jam, dua jam.
Hari mulai petang dan Beno masih bertahan. Melihat ponsel dengan daya baterai tinggal 5%, Beno menarik napas dalam-dalam seraya mengusap dahinya dengan kasar.
Perlahan titik-titik hujan yang terkumpul di langit akhirnya jatuh ke bumi. Petang itu, di wilayah yang sama sekali Beno nggak kenal, hujan membasahi tubuh kekar tersebut cukup lebat.
"Di, aku gak percaya dengan apa yang aku alami hari ini. Sama sekali gak percaya." Beno menggumam sedih, ia masih duduk di kursi dengan tetesan hujan yang semakin lebat.
"Di, aku selalu ngusahain kamu. Selalu. Tapi kamu- kamu- " Beno menghentikan ucapannya ketika sebuah payung tiba-tiba memayunginya.
Beno menoleh dan mengangkat wajah, matanya seolah tak percaya ketika melihat sosok Diarty berdiri memayunginya.
"Aku gak pergi, Mas. Aku juga nungguin kamu selama kamu nungguin aku di sini." Diarty berkata lirih dengan cucuran air mata yang membasahi pipi.
"Di, kamu datang bener-bener buat aku 'kan? Kamu gak sedang ngehibur aku 'kan?" Beno berkata lirih, matanya mendadak berkaca-kaca.
Diarty terdiam, ia berusaha menenangkan hatinya yang turut ingin menangis. Perlahan ia menggelengkan kepala, membuat Beno langsung beranjak berdiri dan memeluk tubuh gadis tersebut.
Tak ada ucapan yang keluar dari bibir tipis Beno. Pria itu memeluk Diarty sangat erat, bahkan sangat erat dibanding pelukan-pelukan sebelumnya. "Aku tahu, aku tahu kamu gak bakal setega itu sama aku, Di. Aku tahu dan aku yakin kamu masih sayang sama aku. Makasih Di, makasih."
Beno menangis untuk hal ini dan Diarty turut tersentuh tatkala Beno justru berterima kasih padanya hanya karena hal sepele seperti ini.
Diarty membalas pelukan Beno, air matanya jatuh semakin deras. "Maafin aku, aku udah bikin kamu susah berkali-kali. Maafin aku Mas, aku gak bermaksud buat bikin kamu sakit berkali-kali. Aku-"
"Cukup, aku gak mau denger lagi. Aku hanya pengen peluk kamu kayak gini. Cuma kayak gini. Di, sekali lagi, jangan tinggalin aku ya."
****
Jangan lupa vote dan follow ya.
Makasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top