5. Ketemu Ibu
***
Mobil APV putih milik Beno Adipati melaju mulus melewati jalanan yang biasanya Diarty lewati ketika pulang. Seperti biasa, laki-laki 23 tahun itu selalu setia buat antar jemput sang pujaan hati.
Setelah berhasil menurunkan Diarty di depan rumahnya, Beno memilih untuk mampir sejenak ke rumah bercat putih itu dengan suka cita. Ia takkan pernah menolak untuk singgah di sana. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, Beno ingin menebus empat tahunnya dengan cara mendekati Diarty lalu melamarnya.
"Mas mau mampir?" tanya Diarty ketika berada di depan pintu rumahnya yang masih terkunci.
Beno mengikuti langkah Diarty sampai di pintu, ia tersenyum tipis. "Emang aku gak boleh mampir, ya? Duh jahat sekali."
"Nggak, nggak gitu, Mas." Diarty menyanggah, dia tertunduk. Ada rasa gusar bersarang di wajahnya. "Gak enak diliat tetangga. Biasanya gak ada yang antar jemput aku kek gini lalu tiba-tiba Mas muncul. Perhatian mereka udah pasti tertuju ke aku. Aku gak pengen jadi bahan gunjingan orang."
Beno menatap wajah Diarty dengan penuh seksama. Pria tampan itu terlihat memahami apa yang dikatakan Diarty. "Aku tahu apa yang kamu rasain. Makanya kamu mau gih nikah ma aku."
Mata Diarty membulat, ia mendongak menatap Beno dengan tatapan agak kesal. "Mas, ini bukan masalah nikah apa nggak. Selama kita ketemu kek gini, mereka gak bakal berhenti buat gosipin aku."
"Lalu aku harus gimana? Aku kan dah bilang, nikah gih sama aku. Dengan begitu mereka gak bakal nyinyirin kamu. Lagian kalo kamu beneran nih ma aku, aku juga gak akan ijinin kamu tinggal di sini. Aku bakal beliin rumah buat kita kalo emang kamu gak bisa sama ibu aku."
Diarty tak berucap, ia menatap mata Beno yang memancarkan keseriusan. Diarty masih tak percaya kalo pria yang sudah ia anggap hilang empat tahun lalu bakal balik lagi dan tiba-tiba nglamar kek gini.
Beno tersenyum ketika melihat ekspresi Diarty kali ini. Tangan kanannya mengusap pipi Diarty dengan lembut.
"Kenapa? Kayaknya kamu gak percaya sama aku," ucap Beno di sela-sela senyum di wajahnya.
"Mas, aku kayaknya gak bisa. Aku gak bisa sama ibu kamu. Kamu tau 'kan gimana reaksi ibu kamu kalo liat aku, dia kayaknya benci banget sama aku. Dan aku nggak bisa bertahan kalo terus-terusan kek gini. Sebaiknya kamu pikirin lagi deh niat kamu buat ..."
Cup.
Tiba-tiba aja Beno main cium. Pria itu mengecup pipi Diarty dengan spontan, membuat Diarty langsung kehilangan kata-kata. Beno tersenyum ketika menikmati ekspresi langka Diarty waktu itu. Ya, Diarty emang gadis yang polos.
"Kamu pasti bisa kok. Aku yakin, beneran yakin. Kita lalui bareng-bareng, ya." Beno berkata dengan begitu entengnya.
Diarty yang terpaku akibat ciuman singkat itu lantas tersadar. Ketika mendapati kesadarannya kembali, wajah Diarty bagai tomat rebus. Merah matang dan panas.
Diarty buru-buru menunduk, ia merasa sangat malu. "Aku harus segera masuk rumah, Mas. Udah sorean, kamu buruan pulang gih."
Diarty membalikkan badan, ia mencari kunci rumahnya di dalam tas bahu lalu membuka pintu rumahnya dengan perasaan yang berkecamuk hebat.
Beno hanya meringis kecil, ia bahkan tak berkata apa-apa setelah ciuman maut itu berhasil ia layangkan. Tahu gak sih, itu adalah ciuman pertama mereka selama mereka pacaran dan empat tahun ini.
Dulu, mereka sama-sama polos. Gak ngerti apa itu ciuman. Pacaran di SMA pun cuma sekadar main bareng, tukeran sarapan atau gandengan tangan. Mungkin Beno ataupun Diarty sedikit tahu tapi mereka gak berani coba-coba.
"Sayang, jangan lupa akhir pekan," ucap Beno lalu tersenyum sebelum Diarty benar-benar masuk ke dalam rumah.
"Jangan lupa siapin diri. Aku bakal lamar kamu akhir pekan ini."
****
Beno terus tersenyum selama perjalanan pulang ke rumahnya. Hatinya terasa hangat ketika membayangkan bagaimana usahanya untuk mencium Diarty waktu itu. Jika ia berusaha mencium, itu bukan berarti dia sudah ahli. Beno hanyalah pria amatiran.
Tau nggak, dia bahkan harus melawan degupan dadanya yang ingin meledak. Ia tidak terbiasa mencium dan ini adalah kali pertama.
Ketika sesampainya di rumah, Beno turun dari dalam mobil dan disambut oleh ibunya yang super bawel dan sangat ditakuti Diarty. Rumah Beno sangat luas, halamannya lebar dan ditumbuhi rumput warna hijau segar. Rumah bercat krem itu terlihat besar dan mewah.
"Beno, akhir pekan kamu ada acara, nggak?" tanya Ibuk menyongsong langkah Beno memasuki rumah. Pakaian wanita paruh baya itu terlihat mencolok, warna kuning kurang sesuai dengan umurnya yang menginjak kepala lima.
"Ada apa, Bu?" tanya Beno dengan wajah datar. Pria itu mengacak rambutnya sebentar.
"Ibu pengen banget ketemu sama keluarganya Lisa. Kamu masih inget Lisa 'kan?" tanya Ibu dengan wajah semringah.
"Lisa? Lisa siapa?" Beno pura-pura gak ingat.
"Masa' kamu lupa? Itu temen kamu waktu SMA. Bukannya dulu kalian pernah deket?" ucap Ibu dengan menggebu-gebu. Wanita paruh baya dengan rambut disanggul itu lalu mengikuti langkah Beno menuju ke kamarnya di lantai dua.
"Bu, aku gak pernah deket dengan cewek manapun. Ibu berhenti deh ngada-ada," ucap Beno dengan mimik wajah serius sambil menaiki tangga.
"Eh, tapi Lisa cakep juga loh. Dia beberapa kali main ke sini, coba deh kamu tembak dia dan jadiin pacar. Selama ini kamu jarang bawa pacar ke rumah," ucap Ibu dengan penuh cerewet sambil terus mengekor langkah Beno.
"Buk, akhir pekan aku bakal lamar seseorang." Beno akhirnya buka suara. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamarnya yang bercat warna krem.
Wajah Ibuk mendadak berbinar ketika mendengar Beno berkata demikian. "Beneran, Ben? Siapa? Ibu dah kenal belum?"
"Ibu dah kenal kok. Jadi, stop jodoh-jodohin aku dengan cewek lain. Dah, aku mau mandi dulu, Bu." Beno berbalik, membuka kunci pintu kamarnya.
"Tapi siapa, Ben? Ibu pengen tau namanya," ucap Ibuk bersikeras, masih berusaha mengulik soal calon mantunya.
"Ntar Ibu juga tau. Sebelum akhir pekan, aku usahain buat ajak dia maen ke sini. Tapi Ibu janji, Ibu gak boleh bawel dan judes ke dia. Aku gak pengen dia nangis gara-gara omongan ibuk."
*****
Sudah beranjak dini hari tapi Diarty belum juga beranjak tidur. Matanya masih menyala bagai lampu 100 watt. Entah apa yang sedang ia pikirkan, mungkinkah bayang Mas Beno masih bermain indah di pelupuk matanya?
Lampu di kamar Diarty masih bersinar terang, ruangan bercat putih bersih itu entah kenapa terlihat begitu nyaman di kedua pelupuk mata sang gadis.
Diarty menggeleng, ia lalu melangkah pelan dari ranjang tempat tidur menuju ke sofa kuning di ruang tamu sambil memeluk Ruru, boneka panda pemberian Beno yang ia letakkan di samping meja kamar tidur.
Perlahan ia menatap boneka panda itu dengan seksama. "Ruru, kamu tau nggak, papa kamu dateng buat nglamar mama. Mama bingung mau jawab apa?!"
Diarty mengembuskan napas panjang, ia lalu memeluk boneka itu di dadanya dengan perasaan gusar. "Ruru, mama gak pengen ketemu dengan ibunya papa. Ibunya judes banget, kira-kira ibunya papa bakal ngomong apa lagi ya kalo ketemu mama?"
Diarty kembali membayangkan bagaimana wanita paruh baya itu memaki-maki dirinya ketika ia ketahuan main ke rumah Beno. Ibu Beno selalu bekerja dan pulang di akhir pekan tapi nggak tahu apa yang terjadi hari itu, sebelum akhir pekan, ibu Beno sudah pulang duluan dan memergoki mereka.
Dari pertemuan itu, Diarty tahu kalo ibu Beno tak menyukainya. Siapa sih yang mau liat anaknya deketan sama cewek gembul dan 'gak enak diliat' macam Diarty?
Apalagi Diarty cuma wanita biasa, bukan anak horang kayah. Tentu saja kesenjangan sosial itu tetep ada.
Triiing .... Triiing ...
Bunyi Whatsapp berbunyi, menyadarkan lamunan panjang Diarty. Gadis itu menoleh ke ponselnya, ia beranjak berdiri lalu mengecek. Sebuah pesan dari nomer baru.
"Kok masih online? Apa belum tidur? Aku udah kangen sama kamu, Di."
Dahi Diarty mengernyit, ia menatap nomer-nomer yang berderet cantik itu dengan penuh seksama. Siapa dia? Kenapa ia tidak ingat siapa pemilik nomer itu?
"Ini siapa ya?" balas Diarty ketika ia tidak ingat apapun tentang nomer itu.
"Malaikat yang bakal lamar kamu di akhir pekan. Nomerku di save, gih. Kamu ingat gak, ini nomer yang kamu pilihin buat aku ketika ganti kartu SIM dulu."
Diarty terdiam, ia meletakkan ponsel. Sejenak ia ragu ketika hendak bertanya darimana pria itu mendapatkan nomernya. Mendadak Diarty ingat bahwa Beno saat ini adalah bos-nya, sudah pastilah dia tahu nomer pribadi Diarty.
"Di, kamu dah tidur, ya? Kok gak dibales?"
Pesan dari Beno bermunculan dan Diarty nggak sanggup buat balas satu per satu.
"Ya udah kalo dah bobok. Met bobok ya, moga mimpi indah. Jangan lupa besok aku jemput ya."
Diarty kembali tak menjawab, ia melempar ponselnya ke atas meja dengan sedikit keras. Perlahan rasa takut menyergap dadanya, Diarty mulai kehilangan rasa tenang. Ia tidak ingin peristiwa lalu terulang lagi.
***
Siang itu entah ada angin apa tiba-tiba wanita yang ditakuti Diarty muncul di toko. Dengan wajah angkuh dan menakutkan, ibu Mas Beno menghampirinya yang tengah menyajikan sebuah kopi latte untuk pelanggan.
Wanita paruh baya dengan sanggul di kepala itu memakai dress warna hijau muda dengan motif bunga melati. Sungguh warna yang kontras dengan kulit beliau yang berwarna kuning langsat.
"Nak, ruangan anakku Beno dimana ya?" tanya wanita itu dengan datar. Rupanya dia tidak memperhatikan dengan siapa kali ini ia tengah berbicara.
"Ruangan Mas Beno ... ehm, maaf, ruangan Pak Beno ada di sebelah timur, Buk." Diarty mengubah ucapannya ketika pandangan wanita tua itu berubah tatkala Diarty menyebut Beno dengan sebutan mas.
Belum juga wanita itu beranjak, Beno kebetulan keluar dari ruangannya. Melihat wajah Diarty yang tegang, Beno menghampiri dan menjumpai ibunya di sana.
"Ibu?!" ucap Beno dengan wajah tak kalah kaget. Wanita paruh baya dengan ciri khas rambut disanggul itu menoleh, wajahnya mendadak berbinar.
"Beno, anakku."
"Ibu, ngapain ke sini?" tanya Beno menghampiri ibunya dengan wajah tak kalah kaget. Wanita itu tersenyum lalu meraih tangan Beno dengan rasa cinta.
"Ibu semalaman gak bisa tidur gara-gara kamu bilang mau bawa calon mantu ke rumah. Ibu penasaran sama dia, ibuk pengen tanya lagi tadi pagi tapi liat kamu udah terburu-buru, ibuk gak enak buat hentiin kamu. Beno, bisa gak kamu atur jadwal biar kita bisa ketemu?" pinta Ibu Beno dengan suara menggebu-gebu.
Beno terdiam, ia melirik sejenak ke arah Diarty. Gadis itu memerah wajahnya, ia menggelengkan kepala tanda menolak. Namun berbeda dengan Beno, pria itu menatap ibunya lalu memegang kedua lengan ibunya dengan sayang. "Tapi Ibu janji ya, setelah ketemu dia, Ibu gak boleh cerewet atau judes ke dia. Kasian Bu, ntar kalo dia kabur, Beno yang rugi."
Duh! Kenapa juga Beno berkata begitu?! Wajah Diarty kembali memerah. Ia membalikkan badan, menyiapkan kopi untuk diantar ke pelanggan.
"Nggak-lah, Nak. Masa'Ibu kek gitu?! Ibu beneran pengen liat calon mantu. Kamu bisa'kan mempertemukan kita?" rengek ibunda Beno tak sabaran.
Beno terus melirik ke arah dimana Diarty melayani pelayan. Ketika gadis itu kembali, Beno lantas memanggilnya. "Di, coba ke sini!"
Jantung Diarty berhenti seketika, napasnya tertahan ketika Beno memanggil dan melambaikan tangan ke arahnya. Dengan langkah ragu, Diarty menghampiri Beno. Wajah gusar kini membayang di wajah ayu gadis tersebut.
"Buk, kenalin, ini jodoh aku. Diarty namanya," ucap Beno dengan gentle ketika Diarty sudah sampai di sampingnya.
Wajah Ibu terpana, ada rasa tidak suka terbayang di sana. "Diarty? Diarty siapa ya? Apa Diarty yang dulu Ibu usir dulu?"
"Ibu, jangan ngomong gitu!" Beno memperingatkan ibunya. Diarty terdiam, ia menggigit bibir bawahnya dengan sangat kuat. Tatapan tak percaya kini kembali tertuju pada Diarty.
"Bu, saya Diarty." Diarty mencoba menyapa, ia mengulurkan tangan ke arah ibunda Beno.
"Nggak usah!" Ibuk Beno kembali ke sifat lama, wajahnya bersungut tak berkenan. Bahkan ia menampar tangan Diarty dengan cukup keras.
"Beno, Ibu pulang dulu. Jangan lupa akhir pekan buat temenin Ibu ketemu sama keluarganya Lisa."
Wanita paruh baya itu melirik sekilas ke arah Diarty lalu berbalik arah dan meninggalkan mereka berdua. Keadaan terasa begitu tegang, Diarty merasakan sesak yang teramat dalam di sekitar dadanya.
"Di, kamu nggak papa 'kan?" tanya Beno seraya meraih pergelangan tangan Diarty.
Gadis itu mencoba tersenyum walau air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Nggak, aku nggak papa kok. Gak papa."
Diarty membalikkan badan lalu berjalan setengah berlari ke arah toilet di arah dapur kedai.
"Di ...." panggil Beno pada Diarty, perasaan pria itu mendadak tak enak. Ia turut berlari ke arah dapur kedai. Kejadian itu disaksikan banyak mata tak terkecuali oleh Saras. Namun gadis itu tak bisa berbuat banyak kecuali hanya diam dan turut bersimpati dengan Diarty.
"Di ...." ucap Beno lirih ketika menjumpai Diarty berdiri di samping pintu seraya menghapus air mata yang nggak sanggup untuk dia bendung.
"Aku beneran gak papa. Tolong jangan deketin aku lagi, hari ini udah cukup buat aku. Udah cukup, Mas. Aku gak pengen dapet yang kek gini lagi."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top