3. Bos Baru itu Adalah ....
Setelah mengendarai mobil cukup lama akhirnya mereka sampai di area belakang kampus pertanian. Beberapa deret rumah dengan warna cat berbeda tersuguh di sana. Keluar dari dalam mobil, Beno menatap deretan rumah itu dengan rasa penasaran.
Rumah berderet tersebut terlihat begitu rapi dengan taman kecil di depan rumah. Beberapa bunga sengaja di taman di masing-masing rumah agar terlihat asri dan nyaman.
"Jadi, yang mana rumahmu? Yang bercat hijau, kuning, atau putih?" tanya Beno menelisik. Pemuda berpostur tinggi itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana hitam miliknya.
Diarty belum menjawab, sebenarnya ia sama sekali tidak ingin Beno tahu rumah kontrakannya. Ia tahu betul Beno orangnya seperti apa. Sekali ia berusaha maka ia akan terus berusaha. Diarty takut kalo-kalo cowok itu tiba-tiba hadir di depan pintu ketika dia cuma pakai celana pendek doang. Kan ngeri?!
"Rumahmu pasti yang warna putih," tebak Beno memutuskan membuat mata Diarty membeliak.
"Darimana kamu tahu?" desis Diarty nyaris tak terdengar. Gadis itu sedikit melirik ke arah Beno dengan tatapan penuh selidik.
"Aku tahu warna kesukaan pacar aku," tandas Beno tenang. Pemuda berpostur tinggi itu lantas keluar dari dalam mobil.
Rumah Diarty tampak sederhana, beberapa bunga mawar merah mekar di halaman rumah dengan sangat indah. Beberapa bunga yang lain tampak di gantung di depan rumah. Warna cantik yang ditampilkan sang bunga membuat cat rumah Diarty yang putih terlihat begitu hidup.
Mendengar jawaban Beno, Diarty menutup mulut rapat-rapat. Jantungnya mendadak berdebar, wajahnya pun memanas tak karuan. Ya Tuhan, jangan sampai Beno tahu warna wajahnya saat ini. Sungguh memalukan jika Beno tahu kalau Diarty nyaris pingsan gegara denger doi bilang gitu.
Diarty tersentak tatkala pintu mobil di sampingnya terbuka. Tanpa babibu Beno lantas meraih tubuh Diarty buat dibopong tapi Diarty lantas menepis tangan Beno sedikit keras.
"Kenapa?" protes Beno mencuramkan alis, merasa heran dengan sikap spontan yang dilakukan Diarty padanya.
"Aku bisa jalan sendiri, jangan bopong-bopong aku lagi." Diarty bersikeras menolak. Wajahnya terus memanas.
Gadis itu mencoba berdiri lalu berjalan menuju ke rumah bercat putih dengan tertatih. Beno yang menyaksikan hal tersebut hanya menggelengkan kepala atas kebengalan Diarty.
Sesampainya di depan pintu, Diarty lalu merogoh saku roknya guna mencari kunci rumah. Gadis bernetra hitam segera masuk ke dalam rumah diikuti oleh Beno. Pria itu mengedarkan pandang hingga akhirnya tatapan matanya tertuju pada boneka panda berwarna putih yang teronggok di sofa ruang tamu.
Beno tersenyum tipis ketika melihat boneka tersebut. Mendadak hatinya terasa hangat. Ia tak percaya jika hadiah boneka panda yang ia berikan pada Diarty empat tahun lalu sewaktu kelas 12 SMA masih terawat dengan bagus.
Menyadari bahwa Beno sedang memperhatikan boneka panda-nya, Diarty menipiskan bibir dengan hati ketar-ketir. Tak ingin Beno terus salah paham, Diarty lantas meraih boneka panda tersebut lalu melemparnya ke dalam kamar yang berada di sebelah ruang tamu.
"Maaf, rumahku berantakan." Diarty mencoba mengalihkan pembicaraan.
Beno tak menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya lalu duduk di sofa dimana boneka panda tadi berada.
Tatapan Beno mengedar, ia bisa melihat bagaimana kondisi dalam rumah Diarty. Sungguh sangat rapi, beberapa buku ditata dengan apik. Tanaman hias semacam lidah mertua ia letakkan dengan rapi di sudut ruangan. Lalu kenapa gadis itu mengatakan bahwa rumahnya berantakan? Sepertinya Diarty hanya berusaha mengalihkan perhatian.
"Dimana P3K-mu? Kakimu harus segera ditolong," ucap Beno mencoba mencairkan suasana canggung diantara mereka.
"Di dekat pintu dapur, aku akan mengambilnya." Diarty lalu beranjak menuju ke dapur namun ....
"Gak usah, biar aku aja. Kamu duduk aja di situ," sanggah Beno lalu beranjak menuju ke pintu dapur.
Tak lama kemudian Beno muncul membawa peralatan P3K milik Diarty. Dengan cekatan Beno membuka P3K dan mengambil beberapa obat.
"Liat kakimu," ucap Beno seraya berjongkok di hadapan Diarty.
"Gak usah Mas, aku bisa sendiri kok." Diarty mencoba menolak. Gadis yang memakai rok selutut tersebut merasa segan ketika melihat Beno berjongkok di depannya guna merawat luka di kaki Diarty.
"Udah diem aja," ujar Beno bersikeras seraya meraih kaki kiri Diarty guna memeriksa pergelangan kakinya yang terkilir.
"Tapi Mas, aku nggak enak. Udah deh, kamu berdiri aja ya. Biar lukanya aku sendiri yang obatin," ucap Diarty semakin merasa canggung.
"Di, kamu denger aku nggak? Biar aku yang obatin. Kamu tenang aja, gak mungkin aku bakal intip isi rok kamu."
Lagi-lagi Diarty dibuat gak bisa bicara sama Beno. Wajah gadis itu kembali merebak merah, ia sangat malu ketika Beno mendapati gelang kaki pemberian Beno empat tahun lalu masih ia pakai. Bodoh! Kenapa hari ini ia kalah telak?!
Beno terdiam ketika melihat gelang kaki tersebut. Ingatannya kembali terlempar dimana ia memakaikan gelang kaki tersebut tepat di kaki kiri Diarty.
"Mas Beno, udah gak usah repot lagi. Biar aku telpon dokter aja biar dokternya ke sini," ucap Diarty dengan wajah malu seraya menarik kaki kirinya dari tangan Beno.
"Gak, gak papa kok. Kamu diem aja ya biar aku urut bentar," ucap Beno menolak. Pria itu kembali meraih pergelangan kaki Diarty lalu mulai mengurutnya pelan.
Tak ada percakapan diantara keduanya. Diarty sibuk menahan rasa sakit sedangkan Beno sibuk mengurut kaki Diarty yang terkilir.
"Gak biasanya kamu pakai high-heel kenapa harus pakai?" tanya Beno tanpa menatap wajah Diarty yang tengah meringis karena kesakitan.
"Aku kan cewek, Mas. Aku juga pengen pake high heel," tutur Diarty tanpa menatap wajah Beno.
"Kamu gak biasanya gini. Jadilah kamu yang apa adanya," balas Beno pelan. Pria itu lantas mengoles balsem di pergelangan kaki Diarty dengan lembut.
Setelah selesai merawat pergelangan kaki Diarty, Beno lantas mengoles obat ke lutut Diarty yang tergores.
"Makasih Mas udah nolongin aku," ucap Diarty lirih ketika Beno telah usai mengoleskan obat. Pria itu belum menjawab, ia merapikan semua obat ke dalam kotak P3K.
Tatapan Diarty tertuju pada Beno yang menyimpan kembali kotak P3K ke samping pintu dapur.
"Aku gak tahu apa alasan kamu begitu ingin ngehindar dari aku. Aku juga gak tahu, sebenarnya salah aku dimana hingga kamu bersikap demikian ke aku," ucap Beno lalu menghampiri Diarty dan duduk di hadapannya.
Diarty menatap bola mata Beno sejenak, ia menggigit bibir bawahnya keras-keras sambil tertunduk.
"Di, kita udah dewasa, aku harap kamu bisa jelasin ke aku duduk persoalan kita waktu itu," ucap Beno dengan serius. Tatapannya terus lekat pada pemilik tubuh sintal di hadapannya.
"Mas Beno, semua itu sudah berlalu. Bisa nggak kita gak bahas itu lagi, aku-"
"Emang semudah itu, Di? Mungkin kamu mudah tapi aku enggak," tutur Beno pelan namun terasa bagai cambuk di hati Diarty.
Gadis berkemeja ungu terus tertunduk, kedua tangannya bertaut dengan resah. Sudah kebiasaan bagi Diarty ketika ia merasa takut maka kedua tangannya saling bertaut seperti itu.
"Di, aku gak bermaksud buat nakutin kamu tapi apa kamu gak merasa kasihan sama aku? Kita pacaran gak hanya bentar, Di. Dan sekarang, jujur aja, aku masing nganggep kamu sebagai pacar aku."
Diam, hening. Tak ada percakapan setelah Beno mengungkapkan isi hatinya.
"Di, sampai kapanpun aku tetep sayang sama kamu. Meski kamu udah gantung aku selama empat tahun, aku masih sayang sama kamu. Di, kali ini kasihanilah aku. Mari kita sama-sama lagi dan jangan gantung aku."
***
"Hai, Di, Kamu nggak papa 'kan?" suara Saras terdengar panik dari balik ponsel.
Diarty mengerutkan dahi. Darimana ia harus menceritakan awal mula pertemuannya dengan Beno Adipati? Haruskah ia langsung bercerita dan ....
"Di, kamu gak tidur 'kan?" suara Saras sekali lagi terdengar nyaring.
"Nggak kok, aku denger kamu ngomong," suara Diarty terdengar kacau. Gadis itu merebahkan diri di atas kasur seraya mengacak rambutnya dengan kasar.
Kasur berseprei ungu itu telah menemaninya dua tahun ini. Tempat paling nyaman untuk telepon, curhat dengan boneka, dan juga makan cemilan kacang polong kesukaannya.
"Kenapa gak balik kerja?" tanya Saras pengen tahu. Suaranya terdengar mengintimidasi.
"Maaf, Ras. Aku pulang gara-gara jatuh tadi," jawab Diarty lalu berguling dan kini berganti posisi menjadi tengkurap. Tangan kirinya menggapai boneka panda di atas meja lalu mendekapnya erat.
"Kok bisa? Kamu nggak lagi berkhayal ketemu pangeran 'kan sampe-sampe jatuh kek gitu?" timpal Saras dengan gaya selengekannya.
Diarty terdiam, ingatannya kembali terlempar pada peristiwa tadi siang. Ia memejamkan mata lalu mengacak rambutnya sekali lagi.
"Eh, Di, kamu tau nggak kalo hari ini bos baru kita datang loh ke kedai." Saras mulai menceritakan peristiwa yang terjadi tadi siang di kedai kopi.
"Eh, beneran kamu?" Diarty terbelalak tak percaya.
"Iyalah. Kamu tahu nggak siapa bos baru kita?" ucap Saras penuh teka-teki.
"Siapa?" tanya Diarty penasaran, nyaris berteriak karena rasa ingin tahunya yang tinggi.
"Kamu pasti gak percaya deh sama bos baru kita," timpal Saras semakin menggebu dalam bercerita.
"Apaan sih? Aku makin gak ngerti apa maksud kamu," dengkus Diarty kesal. Gadis itu menurunkan ponsel dari telinganya, menekan tombol loudspeaker lalu kembali berguling gak karuan.
"Jadi gini, kamu pasti gak percaya kalo Beno Adipati bakal jadi bos baru kita." Saras akhirnya memberitahu.
"Tunggu! Apa?" Diarty nyaris berteriak.
"Iya, kamu gak percaya 'kan? Sama. Aku mulanya juga gak percaya kalo Beno bakal jadi bos kita. Tapi setelah dia datang tadi sore sama bos lama, aku baru percaya kalo Beno bakal ngelola tuh kedai."
Diarty membungkam mulut, kini perasaannya berkecamuk hebat. Bagaimana ia harus menghadapi besok? Bagaimana coba?!
"Di, hello? Kamu gak pingsan 'kan?" selidik Saras ketika Diarty tak bicara sedikit pun.
"Menurutmu, apa Beno tau aku juga kerja di situ?" Diarty mencoba bertanya, dia harap Beno belum tahu dengan begitu ia bisa kabur dan cari pekerjaan lain.
"Sayangnya dia dah tahu, Di. Bos lama sih yang nanyain kamu," ucap Saras dengan wajah bersungut.
"Beneran? Trus apa lagi?"
"Aku bilang kalo kamu pergi makan gitu aja."
"Beno, gak gimana-gimana gitu?"
"Nggak, dia diem aja. Oh ya, besok kalo kamu masuk, jangan pingsan apalagi mati berdiri ya. Aku takut kamu gak kuat terus pingsan deh."
"Iya aku tahu. Sepertinya besok aku juga belum bisa masuk."
"Kenapa? Apa kakimu separah itu?"
"Kakiku terkilir, butuh dua hari buat istirahat."
"Oh, gitu. Jadi, aku harus kasih tau bos baru kita kalo kamu terkilir dan minta ijin dua hari gitu?"
Diarty terdiam, mendadak ia merasa bingung dengan alasan yang akan ia sodorkan ke hadapan Beno.
"Ehm, sebaiknya jangan bilang apapun. Aku gak mau dia khawatir."
"Cieee ..., kayaknya ada aroma CLBK nih." Saras terdengar sedang menggoda.
"Apaan sih?!" sungut Diarty seraya memperhatikan kaos oblong warna pink lusuh yang tengah ia pakai saat ini.
"Ciee ... pakai nanya apaan. Percaya deh, Beno pastinya khawatirlah ama kamu." Saras terus saja menggoda dibalik telepon.
"Udah ah, aku mau istirahat. Bye."
Diarty buru-buru menekan tanda tombol merah. Gadis itu kembali tengkurap, menutup wajahnya yang panas dengan kedua telapak tangannya.
"Kenapa sih harus ketemu Mas Beno lagi? Aku kan gak pengen ketemu dia," dengkus Diarty bicara pada dirinya sendiri.
Ingatan gadis itu kembali melayang. Ia teringat bagaimana wajah ibunda Beno kala itu. Ada rasa jijik ketika beliau bercakap dengan Diarty.
Waktu itu ia dan Beno masih sama-sama sekolah di kelas 12 SMA. Ibu Beno selalu bekerja hingga akhir pekan. Rumah Beno sering kosong dan Beno sering mengajaknya main ke rumah.
Pertemuan hari itu masih teringat jelas di otak Diarty. Bagaimana tatapan ibu Beno begitu menusuk, Diarty sangat terluka.
Ketukan pintu sore itu membuyarkan lamunan Diarty pada masa lalunya. Segera beranjak, Diarty tertatih menuju ke pintu dan melihat siapa yang bertamu.
Biasanya jika sore begini, ada tetangga sebelah yang baik hati memberikan sayur dan lauk. Makhlum mereka adalah sepasang suami istri yang anaknya merantau jauh. Mungkin jika melihat Diarty, rindu mereka sedikit terobati.
Ketukan pintu itu kian tidak sabar membuat Diarty harus berteriak di rumahnya sendiri. "Tunggu bentar!"
Diarty membuka pintu, matanya membulat ketika melihat sosok Beno berdiri di depan pintu.
"Mas Beno-" ucapan Diarty tertahan ketika Beno tiba-tiba mengangkat kantong plastik putih di depan wajah Diarty.
"Aku ingat, sepertinya tadi kamu mau pergi ke kedai mi pedas tapi keburu ketemu aku 'kan? Jadi, aku beliin mi pedas buat kamu."
"Tapi Mas-"
"Boleh aku numpang makan di sini?"
Tuh, 'kan! Beno memang begitu. Dia selalu punya cara buat deketin Diarty lagi. Jangankan berencana buat pergi, ngehindar aja kayaknya udah susah.
"Di," tegur Beno pada Diarty yang melamun.
Diarty kembali pada kesadarannya. Ia menghela napas, tidak enak rasanya menolak tamu apalagi Beno udah susah payah pesenin mi pedas kesukaannya.
"Masuk aja Mas." Akhirnya Diarty pasrah, dia membuka pintu rumahnya buat Beno.
Beno tersenyum tipis, ia lantas masuk dan duduk di sofa kuning ruang tamu. Sekali lagi bola matanya melihat boneka panda itu di berada di atas ranjang Diarty yang kebetulan kamarnya terbuka.
"Di, Ruru kayaknya baik-baik aja di rumah kamu, ya. Sepertinya kau merawatnya dengan baik," ucap Beno setelah melirik sekilas pada boneka panda yang dulu kami namai Ruru.
Diarty meringis, dengan tertatih ia menuju ke pintu kamar lalu menutupnya rapat-rapat. Ia tidak ingin Beno melihatnya dan menyimpulkan bahwa selama ini Diarty gak bisa move-on dari Beno.
"Di, aku ambil piring ke dapur, ya." Beno berucap sambil berjalan menuju ke dapur.
Diarty tak menjawab, ia masih sibuk mengurusi boneka pandanya. Setelah kembali ke ruang depan, ia sudah melihat Beno menyiapkan dua mangkuk mi pedas.
"Ayo duduk! Aku tadi beli mi pedas dua porsi. Kamu yang ini, yang pedasnya level tujuh. Kamu suka pedas' kan?" ucap Beno seraya menyodorkan mangkuk mi yang sudah ia sajikan ke hadapan Diarty.
Diarty duduk perlahan, ia memperhatikan wajah Beno yang terlihat begitu berminat dengan mi pedas di mangkuknya. "Kalo soal pedas, aku emang selalu kalah dari Di. Tapi bukan berarti aku gak berani makan pedas loh."
Sejenak Diarty tersenyum, ia teringat kembali masa-masa dimana mereka saling bertukar mi pedas dahulu kala.
"Di, mi pedas adalah makanan favorit kita. Aku senang bisa makan mi pedas lagi bareng kamu. Di, Nanti kita tukeran mi pedas lagi, ya."
***
KISAH INI SUDAH BISA KALIAN BACA DALAM VERSI E-BOOK DENGAN JUDUL YANG SAMA.
KARYA INI BISA KALIAN BELI DI GOOGLE PLAY STORE.
TERIMA KASIH. ☺🧡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top