10. Meminta Ijin

****

Bibi Nosi mengedipkan bola mata beberapa kali, ia menatap bola mata warna cokelat yang kini berkilat indah di hadapannya. "Apa kau yakin?"

Beno tersenyum, ia tertunduk sejenak dengan wajah merona merah. "Tentu aja Bi, aku gak main-main sama ucapan aku."

Bibi Nosi terdiam, ia sama sekali belum menjawab. Kedua tangannya masih menimang-nimang Damia yang begitu aktif.

"Bukanya Bibi gak suka ya, kamu kan anak kota, apa kamu yakin bakal jadi papanya Damia?"

"Kenapa nggak, Bi? Aku niatnya tulus kok. Lagipula Di juga udah jadi mamanya, aku siap jadiin anak ini sebagai anak aku juga." Beno bersikeras tanpa menunjukkan urat lehernya.

Bibi Nosi tersenyum tipis lalu beranjak berdiri, "Kalo kamu udah niat ya udah, jalanin aja niat kamu. Bibi cuma bisa kasih restu sama kamu. Lalu, bagaimana dengan Diarty? Bibi yakin kamu pasti kesulitan ngadepin Diarty, iya'kan?"

Beno menganggukkan kepala perlahan dengan wajah sedikit terlihat masam.

"Gak usah khawatir, Bibi yakin kok kalo Diarty bakal terima perjuangan kamu suatu saat nanti," nasehat Bibi Nosi lalu tersenyum.

Beno terdiam sejenak, ia mencerna setiap ucapan yang dilontarkan Bibi Nosi kepadanya.

"Ya udah, Bibi masuk dulu ya. Damia udah waktunya mandi, mungkin mamanya masih sibuk bikin sarapan di dapur. Sebagai seorang papa, apa kamu gak mau bantu Mamanya Damia masak?" kelakar Bibi Nosi  sambil tersenyum geli.

"Eh?" Beno terkejut, wajahnya semakin memerah ketika Bibi Nosi menggodanya.

Bibi Nosi tertawa lirih lalu menggendong Damia masuk ke dalam rumah, meninggalkan Beno yang salting akibat godaan yang ia lontarkan.

****

"Di, kamu bikin sarapan apa? Mungkin aku bisa bantu," tawar Beno seraya menghampiri Diarty yang sibuk menggoreng pisang di dapur.

Diarty menoleh, ia menatap ke arah Beno sejenak. "Gak usah Mas Beno, Mas diluar aja. Pisang gorengnya bentar lagi matang kok."

Beno tertegun ketika melihat wajah Diarty yang terkena tepung pisang goreng di pipi kirinya. Melihat hal itu, senyum lucu tergambar di wajah Beno.

Pria berperawakan jangkung itu mendekat ke arah Diarty yang masih sibuk membolak-balik pisang goreng di penggorengan.

"Mas Beno, apakah Damia sama Bibi? Kok aku gak denger suaranya," ujar Diarty tanpa memperhatikan Beno yang kini sudah berada di belakangnya.

"Anak kita lagi sama Bibinya, jangan khawatir. Terus aja goreng pisangnya, jangan sampai gosong." Beno berkata dengan santai dan tenang, membuat dahi Diarty mengerut lalu menoleh ke arah Beno.

"Apa?" Diarty tak habis pikir.

Beno tersenyum tipis, ia menatap Diarty dengan tatapan lembut lalu menyentuh pipi gadis itu. Mengusap manja pada pipi yang tercoreng tepung, Beno berkata dengan berbisik. "Iya, aku bilang anak kita sedang sama bibinya. Jadi kamu gak usah khawatir."

"Mas Beno, kamu aneh deh?!" celetuk Diarty semakin tak mengerti.

Gadis itu kembali mengalihkan tatap ke penggorengan di hadapannya. Ia mengangkat pisang gorengnya ketika sudah matang lalu mematikan kompor secara perlahan.

"Mas Beno, pisangnya udah matang. Maaf di sini gak ada roti bakar kayak di kota," ujar Diarty tanpa menatap Beno. Gadis yang masih memakai piyama bergambar buah pisang itu segera mencari piring dan menaruh pisang gorengnya yang harum di sana.

"Selama ada kamu di sisiku, gak makan roti bakar seumur hidup pun aku rela kok Di." Beno menyeletuk, ia tak kunjung pergi dari samping Diarty.

Diarty kembali mengerutkan dahi, ia menatap aneh pada Beno yang tersenyum manis kepadanya. Meletakkan piring pisang gorengnya, Diarty lantas menempelkan telapak tangan di dahi Beno. "Kamu gak demam 'kan, Mas?"

"Enggak, aku biasa aja kok."

"Lalu ada apa dengan ucapanmu hari ini? Kamu aneh, tau?!" Diarty menggelengkan kepala lalu meraih piringnya dan membawanya ke meja makan.

"Mas, aku mau mandiin Damia dulu. Kamu sarapan gih?" ucap Diarty tanpa menatap Beno. Gadis berambut panjang seolah mengabaikan Beno yang sedari tadi terus mendekatinya.

Beno mengangkat alis, "Di, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."

Diarty yang hendak keluar dari area dapur terdiam sejenak, ia melayangkan tatapan serius ke dalam bola mata Beno yang bersinar indah. "Ngomong apa Mas?"

Beno menghela napas, ia tertunduk sesaat lalu meraih tangan Diarty dengan erat. "Aku udah denger semuanya, udah denger kisah kamu sama Damia. Aku harap kamu mau terima aku sebagai papanya Damia."

"Apa Mas? Kamu yakin?" Diarty merasa ragu sedangkan Beno hanya bisa menganggukkan kepala dengan begitu yakin.

"Mas mungkin setuju tapi bagaimana dengan ibuk? Jujur Mas, aku lelah kalo mikirin ibuk. Kita berbeda dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ibuk liat aku aja benci apalagi kalo liat Damia, aku gak bisa bayangin gimana jadinya kalo ibuk juga bakal benci sama Damia."

"Di, aku akan berusaha yakinin ibuk. Kamu sabar ya?" pinta Beno dengan wajah terlihat memelas. Pria itu meremas ujung jari Diarty dengan penuh harap.

"Tapi Mas, masalahnya gak segampang itu. Aku gak seberani itu buat nantang keputusan Ibuk. Mas, pikirin lagi deh niat kamu daripada kita semakin terluka pada akhirnya."

Diarty menghela napas, ia melepaskan remasan jari Beno lalu meninggalkan Beno di dapur seorang diri.

****

"Kemana sih bocah ini? Dari kemarin gak pulang. Nggak biasanya Beno kayak gini," gumam ibu Beno seraya menekan-nekan tombol panggil di layar ponselnya.

Wanita itu harus menelan kecewa tatkala panggilannya sama sekali tak diangkat oleh Beno. "Ini semua gara-gara betina itu! Beno cinta mati sama dia hingga lupa sama ibuknya."

Ibu Beno melempar ponsel ke atas meja lalu berdiri sambil berkacak pinggang, "Apa yang harus aku lakukan? Besok adalah akhir pekan, aku sudah kadung buat janji sama keluarga Lisa buat ketemuan. Jika Beno gak pulang hari ini maka aku bakal menanggung malu seumur hidup."

Ibunda Beno berjalan mondar-mandir dengan tatapan gelisah, ia melirik kembali pada ponselnya.

"Aku harus hubungi Beno sekali lagi. Aku gak bisa berdiam diri aja," gumam Ibunda Beno lalu duduk dan kembali meraih ponselnya.

Kali ini ia berharap putra semata wayangnya mau denger panggilan teleponnya. Jika tidak maka ibunda Beno tetap akan melakukan hal yang sama hingga akhirnya Beno bosen dan mau angkat teleponnya.

****

Beno terus memperhatikan bagaimana Diarty begitu pandai menghibur Damia yang sedang rewel makan. Tanpa sadar ia tersenyum, pikiran liarnya kembali beraksi.

Melihat gadis itu begitu piawai dalam menangani masalah anak, Beno yakin jika mereka kelak menikah, Beno tidak akan ragu lagi mempercayakan anaknya di tangan Beno.

Dering ponsel Beno berbunyi ketika Damia rewel dan baru saja menumpahkan makanannya. Perhatian Diarty juga tertuju pada Beno tatkala pria itu tak kunjung mengangkat panggilan di ponselnya.

"Mas, siapa? Kenapa gak diangkat?" tanya Diarty terheran-heran seraya menimang Damia yang mulai menangis.

"Dari ibuk tapi aku ragu buat angkat," jawab Beno lalu meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

Diarty terdiam sejenak, "Mas, angkat gih telponnya. Gak baik kalo diemin ibuk terlalu lama, lagipula Mas pergi gak pamit kan?"

"Kamu yakin aku harus angkat telepon?" Beno meminta pertimbangan.

"Ya, siapa tahu itu penting Mas." Diarty lalu menggendong Damia dan menenangkan tangisannya.

Beno menghela napas, ia meraih ponselnya lalu mengangkat panggilan dari ibunya.

"Bu, ada apa?" sapa Beno dengan nada sedikit malas.

"Ben, kamu dimana? Cepet pulang, ibuk dadanya sakit sedari tadi malam. Udah ya, cepetan pulang, ibuk dah gak kuat."

Telepon segera terputus, tak membiarkan Beno bertanya lebih lanjut. Wajah Beno yang terlihat serius membuat Diarty bertanya-tanya dalam hati.

"Mas, ada apa? Kok bentar banget telponnya?" tanya Diarty terheran-heran.

"Ibuk sakit, Di." Beno menjawab singkat.

"Ya udah, Mas balik aja. Lagipula ibuk gak ada temennya, siapa tahu ibuk emang beneran sakit dan butuh seseorang." Diarty tak kalah serius.

Beno terdiam sesaat, ia tengah memikirkan sesuatu hingga akhirnya pandangannya tertuju pada Diarty. "Di, balik gih sama aku. Aku gak bisa kalo pulang sendirian."

"Loh Mas kok gitu? Aku ragu soalnya tau sendiri Mas, ibuk benci benci banget kalo liat aku."

"Tapi Di, aku juga butuh kamu. Aku gak bisa pulang sendiri ke kota," ucap Beno dengan wajah memelas.

"Mas, apa nggak apa kalo aku balik sama Mas. Aku takut ntar sakit ibuk makin parah kalo liat aku," balas Diarty sedih.

Beno beranjak berdiri dari duduknya, ia mendekati Diarty lalu menyentuh bahu mungil gadis itu. "Sama seperti ibuk, aku juga butuh kamu di sampingku. Di, kamu cinta 'kan sama aku?"

Diarty terdiam, ia tertunduk dan merasa berat. Perlahan ia melirik ke arah ibunya yang duduk di kursi roda, menghadap ke luar jendela.

"Mas, aku gak bisa ninggalin ibukku. Dia juga butuh diriku, Mas ngerti 'kan?"

Beno menarik napas, ia menatap ke arah ibu Diarty yang termenung dengan tatapan kosong di sana. Perlahan Beno mendekat, berjalan ke arah dimana ibu Diarty lebih sibuk dengan dunianya sendiri.

"Mas ...," Diarty mengikuti langkah Beno. Sesaat Bibi Nosi datang, membuat Diarty harus menyerahkan Damia sejenak ke pelukan bibinya.

Beno berjongkok di samping kursi roda ibunda Diarty, pria itu bisa merasakan tatapan kosong di mata wanita tua yang kini rambutnya nyaris berwarna putih.

Perlahan Beno meraih tangan ibu Diarty lalu menciumnya dengan lembut, membuat Diarty dan juga Bibi Nosi terkejut heran.

"Buk, assalamualaikum, aku Beno buk, pacar Diarty, calon menantu ibuk. Buk, aku minta ijin sama ibuk buat lamar Di. Ibu, boleh ya? Beno cinta mati sama Diarty, Beno janji bakal jaga mereka berdua, jaga Di sama Damia. Buk, saya minta ijin buat bawa Diarty turut balik ke kota," ucap Beno dengan lembut seraya mengelus-elus telapak tangan ibunda Diarty.

Diarty tercengang, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan seakan tak percaya dengan apa yang diucapkan Beno pada ibunya. Tak terasa sudut mata Diarty mulai menggenang.

"Buk, aku tahu ibuk juga sakit, aku juga tahu Ibuk butuh Di di samping ibuk. Tapi, Beno juga sama kayak ibuk, Beno butuh Diarty di samping Beno. Bu, Beno ijin bawa Diarty pergi ya? Hanya sebentar setelah itu, Beno bakal balik lagi ke rumah ini. Bukan sebagai pacar Di lagi tapi sebagai menantu ibuk. Ibu mau'kan?"

Sunyi senyap tapi reaksi setelahnya sungguh mengejutkan. Ibunda Diarty perlahan memutar kepala, menoleh ke arah Beno dengan tatapan seorang ibu.

Diarty terkesiap begitu pun dengan Bibi Nosi. Mereka tak percaya jika hati ibunda Diarty tergerak hanya karena mendengar suara dari Beno.

Menelengkan kepala sejenak, ibunda Diarty meraih pipi Beno dengan tangan bergetar. "Anakku."

Tangis Diarty pecah namun ia tak sanggup untuk mendekat ke arah ibunya. Ia sungguh tak percaya jika ibunya bisa merespon apa dikatakan Beno padanya.

Ibunda Diarty menatap Beno dengan tatapan dalam. Ia menatap Beno seolah menemukan kembali sosok anak laki-lakinya yang telah pergi meninggalkannya.

"Diarty, anakku satu-satunya telah cukup banyak menderita. Bawa ia pergi, bawa ia di sampingmu, jaga dia baik-baik."

Beno mengulas senyum, sebutir air mata tiba-tiba mengalir di pipi kirinya.

Ibunda Diarty mengusap air mata itu dengan perlahan. "Bawa dia pergi, bahagiakan dia. Berjanjilah padaku, Anakku."

****

Yang kangen Mas Beno, hayuk merapat.
Terima kasih.
Btw, Naysilla Mirdad kayaknya cocok buat cast-nya Diarty.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top