18-The Choice

Dua minggu berlalu sejak kedatangan keluarga Kiai Abas dari Yogyakarta dan sekarang mereka kembali lagi. Tidak! Hanya Kiai Abas saja beserta supir. Tak ada Yasmin atau istrinya yang membersamai masuk ke kediaman keluarga Abi Falah.

Tiga cangkir teh yang masih tampak uapnya baru saja Ajeng simpan di atas meja. Ia langsung pamit undur dari sana dan berpapasan dengan Arfan sewaktu menuju dapur.

“Calon mertua?” canda Ajeng.
Arfan hanya mendecih pelan sembari membenarkan posisi kopiahnya yang sempat miring.

“Assalamualaikum?” Ia langsung mencium tangan Kiai Abas, lalu duduk di sebelah Abi-nya. Sempat berdeham menetralkan pikirannya yang mendadak kabur juga hati yang tak karuan.

“Bagaimana kabarnya, Gus?” tanya Kiai Abas basa-basi.

Kepala Arfan mengangguk seraya menjawab, “Alhamdulillah, Arfan Baik, Kiai. Kiai sendiri bagaimana? Umi dan ... Mbak Yasmin?”

Kiai Abas terkekeh, lalu mengambil cangkir teh dan meniupnya pelan-pelan. Setelah menyeruput dan disimpan kembali, raut wajah yang semula ceria mendadak kabur, berubah sendu.

“Alhamdulillah.” Hanya itu yang bisa dijadikan jawaban.

“Oh, Iya. Kiai, bagaimana dengan perjodohan anak kita?” tanya Abi Falah yang sebenarnya ia sendiri sudah memiliki jawaban dan mewanti-wanti apakah sama dengan Kiai Abas atau tidak.

Sebelum menjawab, Kiai Abas sempat menyeruput teh yang sudah hangat hingga habis. Tenggorokan mendadak terasa kering kerontang. Ia juga membenarkan posisi duduk, lalu menatap wajah Arfan dan Abi Falah bergantian.

Satu senyuman yang terkesan dipaksakan tercipta begitu saja. “Sehari setelah pertemuan kita dulu, Yasmin ... emmmm, Yasmin menolak untuk dijodohkan dengan alasan mempunyai calon sendiri. Yah, karena saya tidak mau disebut orang tua yang egois, akhirnya salat istikharah dan mampu satu minggu. Setelah mendapatkan jawaban, saya yakin yang terbaik untuk anak-anak kita adalah ....”

“Perjodohan dibatalkan, begitu?” sela Abi Falah. Ia tersenyum sejenak sebelum melirik putra sulungnya yang ikut hadir di ruang tamu.

Kentara sekali kekagetan terpatri di wajah Kiai Falah. “Bagaimana ....”

“Saya juga salat istikharah, seperi Kiai. Dan jawaban yang diberikan dari Allah pada kita sama, mereka tak ada nasib dalam berumah tangga.”

Keduanya saling tertawa lepas setelah melepaskan apa yang menjadi beban pikiran masing-masing. Terkecuali Arfan. Ia kebingungan melihat dua orang pria paruh baya.

“Syukurlah, semua sudah diputuskan,” ujar Abi Falah menyudahi tawanya.

“Iya, Kiai.” Matanya melirik arloji di tangan. “Maaf sekali, Kiai. Saya tidak bisa lama di sini karena ada urusan di kota. Anak kita tidak berjodoh, mungkin cucu-cucu kita nanti,” guraunya yang langsung berdiri.

“Orang sibuk nih, ya, begini. Belum ada sejam sudah pergi lagi. Kalau begitu, hati-hati.”

Setelah bersalaman dengan sahabat lamanya, Abi Falah, juga Arfan, Kiai Abas langsung pergi dengan mobilnya. Tersisa ayah dan anak di ruang tamu. Sebenarnya, ada hal yang ingin Arfan sampaikan setelah mendapatkan jawaban akan masa depannya, tetapi ia urungkan.

Hendak menutup pintu, tetapi suara Abi Falah memanggilnya lagi untuk ke ruang tamu. Langkahnya terasa berat, masih ada beban yang menggelayuti pikiran Arfan.
“Jadi, bagaimana?” tanya Abi Falah begitu Arfan duduk di tempat semula.

Bukan tidak berniat menjawab pertanyaan Abi-nya, hanya saja Arfan tidak tahu maksudnya ke mana. Ia memilih untuk diam sebelum jelas.

“Abi sudah bertanya sama Umi tentang kamu dan ... Mbak Ayra. Meski pun dia belum lama di sini, tetapi banyak perubahan sekali. Umi-mu sering mengamati perkembangan Ayra. Dan satu hal yang membuat Umi langsung sayang sama Ayra, karena pasakannya yang mirip sama ibunya Umi.”

Arfan mulai paham ke mana arah pembicaraan berlangsung. Dalam hati, ia terus berdoa agar diberikan yang terbaik.
“Setelah mempertimbangkan semuanya dari berbagai sudut digabungkan dengan hasil istikharah Abi, kamu masih tetap ingin menikahi Ayra?”

Ini dia yang ditunggu-tunggu. Tanpa jeda lama, kepala Arfan mengangguk mantap.
Abi Falah tersenyum bangga melihat keseriusan yang ada pada putranya itu. “Kalau begitu, besok kamu ke rumahnya untuk melamar. Setelah ada jawaban diterima atau tidak, baru sekeluarga datang ke sana melamar secara resmi.”

“Yes!” pekik Arfan sembari menggoyangkan tangannya ke depan dan belakang.

Baru pertama kali Abi Falah melihat rona bahagia terpancar di wajah sang anak. Hatinya ikut lega. Ia sadar, selama ini selalu menuntut apa yang ia inginkan terjadi pada anak-anak. Padahal seharusnya, orang tua menjadi pengarah dan pengingat yang baik. Bukan seorang pemaksa apalagi diktator.

***

Sesuai keputusan Abi Falah, hari ini Arfan menyetir mobil sendiri ke Bandung. Ia tak kuasa menahan senyum sepanjang perjalanan. Bermodalkan alamat yang ia dapat dari kantor dan GPS, mobilnya sudah terparkir di tepi jalan tepat di depan rumah bercat coklat muda lantai dua. Ada pohon mangga di depannya. Jalanan pun sepi apalagi di jam kantor hari ini.

Baru saja berdiri di depan pintu hendak mengetuknya, sosok pria keluar dari dalam rumah diikuti Ayra di belakangnya. Mereka berdua bergandengan tangan, tetapi langsung Ayra lepas begitu menyadari kehadiran Arfan di sana.

“Gus Arfan,” lirih Ayra.

“Assalamualaikum.” Kepala Arfan mengangguk, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

“Oh, ini Gus Arfan. Kenalkan.” Tangan Salman lebih dahulu terulur. “Saya Salman, kakak tercintanya Ayra.”

“Arfan, Aurelino Arfan Al-Farizi,” balas Arfan, menyambut uluran tangan Salman.

Tubuh Salman sengaja bergeser ke tepi, memberikan jalan agar tamunya bisa masuk ke dalam. “Silakan masuk, Gus. Jauh-jauh dari Yogya, pasti ada yang ingin disampaikan, bukan?”

Dengan ragu-ragu, Arfan melangkah masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Matanya memedar ke sekililing ruangan dan berhenti di satu titi. Foto keluarga Mahendra. Ia tersenyum melihat anak gadis di foto dengan kebaya warna biru tua.

“Saya panggilkan orang tua dulu, kebetulan ada di rumah dua-duanya,” pamit Salman yang diikuti Ayra di belakangnya. Gadis itu hendak mengambil air minum di dapur dan menyajikannya pada Arfan.

Tak lama, pasangan suami istri itu datang bersama dua putranya menyambut Arfan dengan ramah. Kentara sekali kalau wajah Arfan sekarang gugup, lebih grogi daripada sidang skripsinya dulu.

“Wah ... senang sekali bisa kedatangan tamu agung dari Mranggen. Sendirian, Gus?” tanya Tuan Mahendra begitu menjatuhkan bokongnya di kursi, tepat menghadap Arfan.

Pria itu tersenyum kikuk. “Ada salam dari Abi sama Umi, maaf belum bisa datang ke mari.”

Tuan Mahendra terkekeh. “Tidak apa-apa, Gus. Saya paham dan mengerti kalau beliau ini sangat sangat sibuk. Silakan diminum dulu, Gus.”

Segelas sirup jeruk segar yang disajikan Ayra langsung ia teguk dan tersisa setengah. Maklum, cuaca Bandung siang ini terasa panas dari biasanya. Setelah meletakkan gelas kembali ke meja, Arfan segera menghirup napas dalam-dalam sebelum masuk ke inti permasalahan.

“Begini, Pak, Bu. Saya ke sini bukan tanpa maksud.” Ia menjeda sejenak untuk merasakan keringat yang mengalir di pelipis sampai terjatuh ke atas pahanya.

“Tujuan datang ke mari adalah ingin menjadikan putri Bapak dan Ibu sebagai keluarga saya.”

Kepala Ayra langsung menunduk. Entah ia harus senang atau ... sedih. Tetapi, atas dasar apa ia harus sedih?

“Saya sudah mendengar ceritanya dari Ayra, Gus. Tetapi, saya ingin tahu bagaimana tanggapan Kiai Falah?”

Cukup mewakili apa yang ada di benak Ayra. Meski banyak pertanyaan lain yang ingin ia ajukan. Tetapi, sorot mata Nyonya Mahendra seakan menyuruhnya untuk tetap diam dulu.

“Beliau sudah setuju, Pak.”

“Kebahagiaan kami selalu orang tua adalah melihat anaknya bahagia. Dan dengan siapa dia bahagia, itu ada pada tangan Ayra sendiri. Meski pun suami saya ada hak untuk menikahkannya tanpa izin, tetapi alangkah bijaknya jika kami bertanya dulu pada Ayra yang akan menjalankan kehidupannya.” Nyonya Mahendra mengambil alih pembicaraan. Ia tahun bagaimana terlukanya Ayra saat itu.

“Bagaimana, Ay?” tanya Tuan Mahendra.
Semua orang menoleh pada Ayra yang sekarang masih menunduk, menatap jari jemarinya yang asyik memainkan ujung kerudung. Khas sekali kalau ia sedang gugup.

Sikutan lengan Salman membuat gadis itu mendongak. Hatinya bergemuruh hebat sata tak sengaja menatap bola matak kecoklatan milik Arfan. Ada ketenangan yang ia temukan di sana. Tetapi, Ayra langsung menggelengkan kepala pelan menyadarkan kembali akan lukanya meski bukan salah Arfan.

“Maaf, Gus. Kasta kita berbeda.”

Hanya itu yang dikatakan Ayra yang setelahnya pergi menuju kamar diiringi isak tangis. Semua memandangi punggung rapuh gadis itu yang kini menghilang di balik dinding. Arfan paham bagaimana kondisi Ayra sekarang.

“Dia perlu waktu, Gus.” Nyonya Mahendra berdiri. “Kita makan bersama dulu. Kebetulan, saya baru selesai masak.”

Ajakan yang tak bisa ditolak Arfan. Ia pun berdiri dan mengikuti langkah tuan rumah sampai ke meja makan. Selama berada di sekliling keluarga Mahendra, yang Arfan rasakan hanya bahagia karena mereka menganggap dirinya bukan orang asing, melainkan keluarga.

Di dalam kamar, Ayra tak menangis lagi. Ia memilih memeluk bonek Doraemon berukuran sedang sembari menghadap ke luar jendela.

Aku telah mengecewakanmu, Gus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top