17-Pohon Mangga

“Ayra mana, Ma?” tanya Salman begitu duduk di meja makan. Hanya ada dirinya dan Nyonya Mahendra, sedangkan Tuan Mahendra sejak kembali ke Indonesia ia harus terbang ke Balikpapan urusan pekerjaan dan tidak bisa ditunda.

“Di kamar kayaknya.”

“Tumben banget, biasanya udah ngobrol panjang kali lebar. Apalagi kalau ada aku.”

Satu sendok nasi goreng menggantung di depan mulut Nyonya Mahendra, lalu disimpan kembali ke piring. Dua tangannya menopang dagu, tampak sedang memikirkan sesuatu.

“Apa terjadi hal buruk di pesantren?” tebak Salman yang langsung dijawab dengan gelengan kepala.

“Kalau dia berulah, pasti ada laporan ke rumah. Alhamdulillah tidak ada. Tetapi, pas kemarin pulang mata ade kamu itu sembab banget, pas ditanya malah bilang nggak kenapa-kenapa.”

“Ya udah, nanti ditanya, deh. Aku mau panggil dia dulu, suruh makan.”

Suara ketukan pintu tiga kali tak membuat gadis di dalam kamarnya itu bangun. Enggan sekali meninggalkan ranjang empuk meski hanya satu detik. Terlalu berharga meninggalkan kenyamanan terlentang sembari menatap langit-langit yang dipenuhi dengan hiasan bintang.

“Ade! Ayra! Kita makan sarapan dulu, yuk. Mama udah bikinin nasgor kesukaan kamu tahu, enak banget,” teriak Salman dari luar.

Ia mencoba menekan knop pintu, tetapi dikunci pemiliknya dari dalam.

“Males makan, A. Masih kenyang juga, jadi habisin aja nasgornya,” balas Ayra.
Salman berdecak sembari memandang pintu putih yang menjadi penghalang anatar dirinya dan sang adik. “Puasa apa hari jumat, De? Kan nggak boleh puasa sunat pas hari jumat.”

Bodoh, rutuknya dalam hati bersamaan dengan tepukan di jidat.

“Kalau nggak keluar, pintunya Aa’ dobrak, ya.”

Baru mengambil ancang-ancang mendobrak pintu, tiga langkah ke belakang, tubuh Ayra sudah berdiri dan menutup kembali pintu rapat-rapat.

“Apa sih, A, dobrak segala,” cerca Ayra.
Gadis itu berjalan lebih dulu ke meja makan daripada kakaknya.

Begitu duduk, aroma nasi goreng yang mulai dingin langsung menggugah selera makan yang semula tak ada. Ia sempat menyeruput susu vanilla, salah satu kebiasaan sejak kecil sampai sekarang. Terkecuali di pesantren.

***

Tempat ternyaman kedua di rumah ini setelah kamar adalah pohon mangga depan rumah. Di sana, ia bisa berjam-jam diam, merenungkan apa yang menjadi masalah atau menyita pikirannya. Tak peduli usianya sekarang yang sudah sembilan belas tahun, tanggapan tetangga yang berlalu lalang di depannya.

“Anak gadis petakilan banget, sih,” oceh Nyonya Mahendra dari bawah. Di sampingnya berdiri Salman, berkacak pinggang melihat kelakuan sang adik yang tak berubah dari kecil.

“Kalau kamu jatuh, gimana?”

“Jatuh ya, ke bawaha, A’. Gitu aja masa nggak tahu, sih. Katanya lulusan Universitas di London,” ledek Ayra dengan santainya.

Kompak Nyonya Mahendra dan anaknya beristighfar.

“Kalau ada masalah, sini cerita sama Mama, Salman juga,” sambung Nyonya Mahendra lagi.

“Nggak ada apa-apa, Ma. Aku ... aku ... aku cuma rindu suasana di sini aja. Di pesantren nggak bisa naik pohon kayak gini.”

Pasangan ibu dan anak di bawah pohon mangga itu kompak menepuk kening.

“Dulu ngidam apa sampe punya anak begini amat,” bisik Salman. Kepalanya masih menengadah ke atas, mengamati adiknya yang kini mengayunkan kaki secara perlahan.

“Paku,” desis Nyonya Mahendra. Tak ayal membuat anak sulungnya itu tergelak.
Perhatian keduanya kembali tertuju pada Ayra di atas sana.

“De, turun cepet. Cukup kamu nyusahinnya waktu kecil aja. Subuh-subuh nangis minta dipayung terus diajak keliling komplek. Itu terjadi selama seratus hari, lho. Dan sekarang ....”

“Aa’!” teriak Ayra dari atas sana.

Melihat kakaknya tertawa puas di bawah, Ayra menghela napas pasrah. Berpegangan pada pohon, perlahan ia turun sampai berpijak kembali ke tanah. Satu cubitan gadis itu layangkan pada Salman, membuatnya mengganti tawa dengan rintihan.

“Makanya, nggak usah rese, deh. Ngomongin aib masa kecil segala lagi,” cerca Ayra. Tubuhnya digiring Nyonya Mahendra untuk duduk di teras. Diikuti Salman di belakang sembari mengusap lengannya yang terkena cubitan.

Setelah ketiganya duduk, Nyonya Mahendra memberikan ruang bagi putrinya untuk becerita terlebih dahulu tanpa haru ditanya ada apa dan kenapa murung sejak pulang ke Bandung.

Tak kunjung membuka suara, Salma berdeham terlebih dahulu sebelum memulai obrolan. “Cerita aja kalau ada yang mengganggu pikiran sama hati kamu, De.”

Ayra malah menggigit bibir bawahnya ragu. Pasalnya, selama ia hidup belum pernah bercerita masalah hati pada Salman atau pun Nyonya Mahendra. Gadis itu lebih nyaman dan terbuka pada teman terdekat yang bisa dibilang sahabat.

Ia terlalu malu untuk mengatakan kalau dirinya jatuh cinta pada seorang makhluk Allah. Sampai tepukan Salman di bahunnya membuat Ayra menghirup napas dalam-dalam.

Aku sudah dewasa, jadi tidak ada salahnya, bukan?

“Ada masalah sama keluarga Abi Falah,” cicit Ayra. Ujung kerudungnya ia mainkan sejak tadi.

“Ya Allah!” pekik Nyonya Mahendra tidak percaya. “Kok bisa? Kamu bikin salah apa sama mereka?”

“Tunggu dulu. Abi Falah ini siapa, Ma?” sela Salman yang tidak tahu menahu.

“Beliau ini pimpinan pesantren tempat Ayra.”

Kepala Ayra menunduk dalam. Tiba-tiba saja matanya berembun padahal ia sudah mewanti akan turun hujan lokal.

“Lho, kok. Jangan nangis dulu, Ay. Cerita ada apam terus kalau nyesek baru nangis.”
Satu pukulan dilayangkan Nyonya Mahendra tepat di lengan atas Salman. “Kamu, nih. Adenya lagi ada masalah juga.”

“Ceritain pelan-pelan, Sayang. Ada apa sebenarnya sampai kamu berusan dengan mereka.” Dibelainya punggung Ayra yang mulai bergetar.

Gadis itu terisak sembari memeluk lutut, menyembunyikan kepala dan wajahnya di sana. Sampai tangisnya terhenti, Ayra berani mengangkat kepala dan menghapus air mata menggunakan punggung tangan.

“Ceritanya panjang, Ma. Emang salah aku sebenarnya, tetapi aku juga manusia punya hati dan ada hak untuk menyuarakan pendapat.”

Nyonya Mahendra tahu betul bagaiman watak putrinya itu. Apa yang menurutnya salah dan memang harus dibetulkan, ia akan bersuara meski banyak yang menentang. Seperti waktu sekolah dulu, temannya difitnah mencuri dan dengan berani Ayra menghadap kepala sekolah sebagai saksi.

“Di sana ada peraturan kalau anak-anak Abi Falah nggak boleh sampe nikah sama santrinya dan aku sama Gus Arfan saling suka. Kita nggak saling pacaran, kok.”

Detik-detikn selanjutnya, Ayra menceritakan semua yang terjadi di sana. Pertemuan pertama mereka yang tak sengaja sampai di mana Ayra berani menyuarakan apa yang menjadi pendapatnya.

Tangan Ayra sengaja digenggam Salman dengan erat, memberikan energi juga semangat. “Kamu nggak salah, kok. Hanya saja waktu yang membuat posisi kamu terlihat salah.”

“Dan sekarang, kamu berdoa saja sama Allah minta yang terbaik. Minta didekatkan jika dia yang terbaik dan jauhkan jika Gus Arfan itu bukan jodoh kamu. Mama nggak mau kamu buang-buang waktu untuk orang yang salah apalagi jagain jodoh orang. Dan satu hal lagi, benerin niat kamu  sekarang. Untuk apa Allah ciptain manusia di bumi?”

“Ibadah, Ma,” cicit Ayra.

Bibir Nyonya Mahendra tertarik ke atas, menciptakan satu garis yang membuat kedua anaknya selalu tenang dan nyaman.
Ayra langsung memeluk tubuh Nyonya Mahendra dari samping, membenamkan kepalanya di sandaran ternyaman.

“Iya, aku paham maksud Mama apa. Lagi pula, aku nggak tertarik untuk pacaran. Lebih baik menikah karena banyak pahala di sana. Nikah itu ibadah dan dekati Allah maka Allah akan dekatkan makhluk-Nya. Semua yang didasari ibadah akan selalu mudah.”

“Wih, Ade kecilku sudah dewasa juga ternyata.”

Ucapan Salman mengundang gelak tawa mereka bertiga, bersamaan dengan angin siang yang terasa sejuk di tengah teriknya matahari yang mulai meninggi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top