15-Saya ... Pamit
Langkahnya terus maju mundur di ambang pintu masuk ke ndalem. Ia terlalu gugup, melihat kondisi mata Ayra yang sekarang sembab.
Setelah mengucapkan basmalah dan meyakinkan diri semuanya baik-baik saja meski ada Arfan di ruang tamu. Lagi dan lagi, ia mematung dekat lemari ruang keluarga. Dari sana, suara Abi terdengar jelas tengah menyidang Arfan.
“Jelaskan alasan kamu menolak perjodohannya, Arfan.” Suara Abi Falah terdengar begitu tegas, membuat bulu kuduk Ayra berdiri.
Pria yang sedang duduk di depan Abi Falah masih diam, tak kunjung mengangkat kepalanya untuk memberikan jawaban. Umi Isna dan Bila yang berada di antara mereka sudah was-was, takut kemarahan Abi Falah semakin menjadi.
“Aurelino Arfan Al-Farizi! Jawab Abi sekarang!”
“Jawab, Nak.” Berbeda dengan suaminya, suara Umi Isna terdengar lembut, tatapannya menoleh ke arah Abi Falah seakan apa yang barusan terjadi adalah salah.
Kepala Arfan perlahan terangkat bersamaan dengan hirupan napas panjang darinya. “Arfan suka seorang gadis, Abi.”
“Siapa, Nak? Bilang sama Umi.” Umi Isna menyela begitu suaminya hendak bertanya lagi.
Dengan nada pasrah, Arfan menjawab, “Ayra, Umi.”
Bukan hanya keluarga Abi Falah yang kaget, wanita yang sedari tadi bersembunyi pun ikut kaget dan tanpa sengaja sikutnya menyenggol lemari.
“Siapa di sana?” tanya Umi Isna.
“Itu Ayra, Umi,” sahut Bila yang tadi sekilas melihat wajah Ayra. Ia langsung mengatupkan bibirnya rapat.
Seolah tak terjadi apa-apa, terdengar Abi Falah memanggil Ayra untuk ikut bergabung bersama mereka ke ruang tamu.
“Ada apa ke mari?” tanya Abi Falah datar.
“Maaf, saya tidak ada maksud untuk menguping. Kedatangan saya ke mari ingin meminta izin untuk pulang.”
Posisi Ayra duduk di lantai, belakang kursi Abi Falah. Ia tak berani menunjukkan diri di depan keluarga gurunya dengan kondisi mata yang tak memungkinkan.
“Kenapa, Mbak Ayra?” Giliran Umi Isna yang bertanya. Ia sempat melirik wajah putra sulungnya yang sempat kaget, meski langsung datar kembali.
“Lusa acara wisuda kakak saya di London, jadi Ayah sama Mama mengirim supir ke mari.”
“Tadi mendengar percakapan kami, kan? Sudah tahu tentang peraturan di sini yang melanggar anak saya menikah dengan santri? Jadi, jika Mbak Ayra juga punya perasaan pada Arfan, hilangkan saja.”
Oksigen di ruang tamu terasa menipis. Dada Ayra kembali sesak mendengar penegasan Abi Falah yang seperti pedang, menghunus tepat ke jantungnya. Arfan juga. Ia sampai berdiri saking tak percaya Abi-nya bisa sampai bicara seperti itu di depan Ayra yang tak tahu menahu.
“Duduk, Nak,” titah Umi Isna lembut. Ia tahu posisinya sekarang adalah menjadi penengah di antara keras kepalanya suami dan anak.
“Dan kamu Bila, jangan ikuti jejak kakamu,” tegas Abi Falah, matanya menatap tajam Bila.
Ayra masih diam, berusaha menahan isakan tangisnya dengan menggigit ujung bibir. Sampai suara Abi Falah terdengar lagi.
“Saya izinkan kamu pulang, Mbak.”
Bukannya pergi, Ayra memilih untuk membuka suara karena tidak tahan lagi dengan semua ketidak masuk akalan di pesantren.
“Apa putra putri Abi ini terlalu mulia sampai tidak boleh bersama santrinya? Terlalu hinakah kami seakan tidak pantas di mata Abi?” Kepalanya terangkat menatap kursi yang sedari tadi membelakanginya.
“Ayra,” panggil pasangan ibu dan anak itu bersamaan, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
“Maaf kalau saya tidak sopan di depan Abi, tetapi mengapa perasaan saya dan Gus Arfan yang menjadi korban di saat semua ini adalah fitrah dari Allah? Jodoh bukan Abi yang ngatur, tetapi Allah.”
Ayra tak menyangka bisa melihat sosok pria yang selama ini selalu lembut pada santri-santrinya, bisa semarah ini. Dari sorot matanya yang tajam bak pisau yang siap mencabik-cabik.
“Mereka anak saya dan ini pesantren saya.”
Ayra beringsut ke depan agar wajahnya bisa terlihat, tak tertutupi kursi yang diduduki Abi Falah.
“Setahu saya, tidak ada hukum Allah ataupun hukum negara yang melarang Gus atau Ning menikah dengan santri selagi memang bukan mahramnya. Tidak menutup kemungkinan saya dan Mas Arfan sudah ditakdirkan untuk berjodoh. Yang menikah adalah anak-anak dari Abi sendiri. Mereka yang akan menjalaninya. Apa Abi berpikir, bahwa dengan perjodohan anak-anak Abi bisa bahagia nantinya? Belum tentu. Apa Abi sudah salat istikharah untuk menentukan jodoh anak-anak Abi ini baik atau tidak? Bukankah seharusnya menyerahkan semuanya pada Allah terlebih dahulu sebelum menentukan keputusan?”
Air mata Ayra terus mengalir dengan deras di pipinya. Semua orang di sana menatap Ayra tidak percaya. Gadis itu dengan berani mengungkapkan semua yang ia rasakan, apa yang menjadi pendapanya, di depan orang yang dihormati di setiap penjuru pesantren? Abi Falah merasa tertohok dengan apa yang diucapkan Ayra. Ia membisu. Tak bisa membantah satu kata pun.
“Dan saya masih ingat Abi menjelaskan. Memilih calon istri atau suami itu yang baik menurutmu, dari segi agama, akhlak, turunan, juga rupa. Tetapi, yang baik menurutmu belum tentu baik menurut Allah. Dan cara agar tahu dia baik atau tidak, tanyakan pada Allah lewat istikharah langsung.”
Ayra menghirup napas sejenak. “Dan saya yakin, keputusan ini baru sekadar pihak manusia, belum melibatkan Allah.”
Semua yang ada di ruang tamu tercenung setelah mendengarkan penjelasan panjang dari gadis biasa, Ayra. Karena memang faktanya, Abi Falah mungkin lupa akan hal itu. jauh dalam hatinya, ia merasa teringatkan dan mulai menggumamkan istighafar meski tanpa suara.
“Karena tadi Abi sudah mengizinkan saya untuk pulang, permisi. Assalamualaikum?”
Ayra beringsut lagi mendekati Umi Isna untuk mencium tangan. Setelah itu, meninggalkan ruang tamu dengan suasana hening. Ia tidak peduli lagi akan kedepannya bagaimana, masih siapkah untuk kembali lagi ke pesantren.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top