11-Alergi Ayra
Malam sabtu selalu terasa berat untuk dilalui. Mengapa? Karena setelah seharian libur di hari jumat, harus kembali lagi mengisi waktu dengan duduk di kelas, mengaji, melogat kitab-kitab.
Sembari mendekap buku tebal warna merah di dada, Ayra tak henti-hentinya menguap sejak menaiki anak tangga sampai kini sudah berada di depan pintu. Ia lalu mendorong pintu kamar tanpa mengucapkan salam sama sekali.
“Salam dulu, Ay,” tegur Ajeng tanpa menoleh karena sibuk melahap keripik udang.
Setelah menyimpan buku di meja, Ayra ikut duduk di samping Hana. Rasa lapar mengalahkan kantuk. Hampir saja ia tersungkur ke lantai kalau Hana tidak sigap memegangi tubuhnya.
“Tidur sana, Ay. Mata kamu udah merah gitu,” ucap Hana sembari menepuk-nepuk kasur di belakangnya.
Tak digubris oleh Ayra. Ia malah mengambil keripik dan ikut memakannya meski matanya terpejam.
“Makan sambil merem, sih.” Ajeng geleng-geleng kepala melihat tingkah Ayra sekarang.
“Ngantuk sekaligus lapar, Mbak.”
Baru kunyahan ketiga, mata Ayra langsung terbelalak dan memuntahkan seluruhnya yang ada di mulut.
“Kamu kenapa, Ay?” tanya Hana. Keripik yang baru saja ia ambil menggantung di depan mukut.
“Ini ... ada ....” Ayra menjeda sejenak, seraya memukul dadanya yang terasa sesak. Tangannya melambai-lambai di depan Hana dan Ajeng seperti meminta tolong.
“Kamu kenapa, sih?” Hana mengernyit, lalu menutup mulut saat tubuh Ayra tergeletak tak sadarkan diri di lantai.
“Astagfirullah! Ayra!” pekik Ajeng.
Ajeng mengangkat kepala Ayra di atas pahanya, lalu menepuk-nepuk pipi gadis itu perlahan agar sadar. Tetapi nihil. Mata gadis itu masih terpejam.
“Jangan becanda, deh.” Suara Ajeng terdengar khawatir. Ia lalu menoleh ke arah Hana. “Kita bawa ke ndalem. Minta antar ke rumah sakit.”
Kepala Hana mengangguk. Tubuhnya langsung bangkit untuk meminta bantuan pada teman sebelah kamar. Sangat tidak mungkin mengangkat Ayra sampai ke ndalem hanya berdua. Sekuat-kuatnya tenaga mereka berdua, tidak akan mampu.
“Ay, bangun,” pinta Ajeng. Air matanya sudah mengalir sejak tadi. Ia mulai takut dengan kondisi Ayra yang tak kunjung sadar. Padahal, hidungnya sudah diolesi minyak telon, tetapi tak ada respon.
“Ya Allah, Ayra kenapa?”
Cukup dengan gelengan kepala jawaban yang diberikan Ajeng saat tiga orang dari kamar sebelah masuk.
Sekarang, Ajeng mengalungkan tangan kanan Ayra ke pundaknya, sementara Hana, Intan bagian badan juga bokong. Terakhir Mita dan Lisa di bagian kaki.
Mereka bergerak melewati koridor, mengambil perhatian orang-orang di kamar lantai dua untuk melongok lewat jendela. Tak hanya itu. Nana langsung keluar dan membantu mereka yang kini sudah di lantai satu.
“Dia kenapa?” tanya Nana. Ia mengikuti langkah di belakang mereka.
“Nggak tahu, Mbak. Tiba-tiba pingsan gitu aja pas makan keripik udang,” terang Hana di tengah kepanikan mereka.
Begitu masuk ke ndalem, langsung disambut Gus Arfan yang tengah duduk di meja makan melahap makan malamnya yang berupa nasi goreng hasil jelajah di pinggiran jalan dekat pasar.
“Ini siapa?” tanya Arfan.
“Gus, bisa tolong ....”
“Lho, ini ada apa?” Umi Isna tiba-tiba menyela ucapan Ajeng begitu melihat santri-santri ada di dapur dengan wajah panik.
“Ayra tiba-tiba aja pingsan seudah makan keripik udang, Umi,” terang Ajeng.
Mendengar hal itu, mata Arfan langsung terbelalak. “Dia pasti alergi udang parah. Harus cepat di bawa ke rumah sakit. Kalau tidak ....” Ia menjeda sejenak untuk melihat tubuh lemah Ayra. “Cepat bawa ke mobil!” teriak Arfan.
Mereka mengangguk dan kembali membawa tubuh Ayra ke depan rumah di mana mobil HR-V hitam kesayangan Arfan terparkir di sana, di bawah pohon mangga.
Di bawah remang-remang cahaya bulan, laju mobil yang dikemudikan Arfan di atas rata-rata. Di balik kemudi, berkali-kali pria itu menekan klakson agar mobil-mobil di depan menghindar atau memberi jalan. Umi yang duduk di sampingnya terus menggumamkan istigfar, juga Hana dan Ajeng di kursi belakang.
Tak jarang mulutnya mengumpat karena beberapa kali terjebak lampu merah. Ia khawatir, sangat-sangat khawatir dengan keadaan Ayra. Apalagi, reaksi alergi Ayra sangat marah. Arfan jadi teringat dengan teman sekampus yang sebulan lalu meninggal akibat reaksi alergi dan tidak sempat tertolong.
“Ya Allah, selamatkan dia.”
***
Orang yang pertama bangkit dan menghampiri dokter adalah Arfan. Pria itu memang sudah sangat khawatir sejak tadi. Berdiri ke sana kemari seperti setrika, lalu duduk. Tak lama, kembali terulang lagi.
“Dok, gimana keadannya?” Ia begitu tak sabar mendengar kabar Ayra.
“Iya, Dok. Gimana kabar santri saya?” tanya Umi Isna. Suaranya terdengar agak parau. Wajah keriput tampak khawatir, air mata sudah mengalir sejak tadi. Ia juga takut terjadi sesuatu pada santrinya.
“Saya sudah berhasil meredakan reaksi alerginya. Dan sekarang, pasien berada di ruang rawat. Insya Allah, pasien akan baik-baik saja dengan meminum obat,” terang Dokter Risa yang kebetulan jaga malam ini di IGD.
“Alhamdulillah,” ucap semua bersamaan begitu mendengar tak ada hal yang sangat buruk menimpa Ayra.
Satu garis tipis tercetak di bibir Arfan. Dadanya yang sedari terasa di timpa beban yang teramat berat, berangsur membaik. Iya, pria itu takut kalau sampai kondisi Ayra tak terselamatkan.
“Pasien masih belum sadar, tapi kalian sudah boleh masuk,” lanjut Dokter Risa lagi. “Kalau begitu, saya permisi.”
Sepeninggalnya Dokter Risa, mereka langsung masuk ke ruangan serba putih, tempat di mana Ayra terbaring lemah di atas bed pasien. Bagian hidung dan bibirnya terhalang masker oksigen.
Begitu duduk di samping Ayra, tangan Umi Isna langsung menggenggam dan menciumnya beberapa kali. “Cepat bangun, Mbak,” pintanya tulus.
Doa semua orang yang ada di sana terkabul. Mata Ayra terbuka secara perlahan, kemudian menoleh ke kana dan kiri, tampak mengamati sekeliling ruangan yang baginya asing.
“Ayra sudah sadar,” ujar Arfan girang. Sorot matanya bahagia, apalagi paras tampannya yang pertama kali dilihat gadis itu.
Ajeng yang semula berada di dekat jendela, kini berusaha membantu Ayra yang hendak duduk, lalu melepas masker oksigen.
“Maaf, merepotkan kalian,” sesal Ayra. Ia menundukkan kepala sembari memerhatikan punggung tangannya yang tersambung selang infus.
“Tidak sama sekali, Sayang.” Umi Isna membelai kepala Ayra yang masih mengenakan kerudung warna hitam. “Sekarang, kamu istirahat dulu aja. Ini udah malam.”
“Umi pulang dulu aja sama Gus Arfan, biar Ayra kami yang jaga,” usul Ajeng. Sesaat, ia melirik satu-satu yang pria yang ada di sana.
“Iya, Umi pulang aja. Aku udah baikan, kok. Tapi ....” Kalimat Ayra terpotong karena dering ponsel berasal dari saku jas Arfan.
Arfan merogoh saku jas sebelah kanan, lalu mengeluarkan satu buah ponsel dan menempelkannya di telinga kiri. Tubuh tinggi tegap berbalik dan menjauhi Ayra dan menghilang di balik pintu.
“Tapi, apa?” tanya Umi Isna setelah suara decitan pintu ditutup.
Kepala Ayra menunduk beberapa saat, sampai akhirnya terangkat kembali untuk menatap sosok teduh di hadapannya. “Jangan beri tahu keluarga di rumah. Mereka pasti khawatir, Umi. Ayra mohon!”
Melihat mata Ayra yang berkaca-kaca juga wajah yang memelas, membuat Umi Isna tak kuasa untuk menolak permintaanya. Ia pun mengangguk, diikuti Ajeng dan Hana.
Sekembalinya Arfan ke ruang rawat Ayra, gadis itu baru menyadari pesona sang gus yang tampan. Ah, satu titik yang selalu membuat Ayra diam tak berkutik, mengunci tatapannya. Saat Arfan dengan sengaja atau memang gayanya yang melipat lengan koko hampir sesiku. Apalagi jam tangan khas pria melingkar di tangan kekar yang kentara garis-garit urat berwarna hijau.
“Ay,” panggil Umi Isna sampai membuat Ayra terkesiap.
“Iya, Umi.”
“Kok, malah bengong.”
Respon Ayra hanya tertawa layaknya orang bodoh.
“Ya sudah. Ayra, lain kali kalau kamu punya riwayat alergi atau penyakit, bilang. Jangan bikin orang panik setengah mati, ya,” peringat Umi.
Lagi, Ayra hanya tertawa sekaligus mengangguk bersamaan. Entahlah, ia merasa kikuk saat ada Arfan di sana. Apalagi, gusnya itu tak jarang tersenyum dan membuat hati si gadis lega.
Setelah satu persatu santrinya mencium tangan tanda hormat pada guru, Umi Isna juga Arfan langsung pergi dan menghilang di balik pintu putih. Tersisa Hana dan Ajeng yang kini menatap Ayra, menuntut penjelasan.
“Maaf, deh. Kan tadi ngantuk banget, jadi nggak tanya dulu, Mbak.” Jari telunjuk dan manis Ayra terangkat di udara, jari lainnya terlipat. Tak lupa, senyum bodohnya tercetak, membuat Hana ingin mencekik hidup-hidup.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top