09-Pengakuan Hasan

Dengan handuk yang menutupi kepala, wajah Ayra tertekuk sejak keluar kamar mandi sampai kamar. Ia tak peduli dengan tatapan aneh santri-santri yang lain. Pintu kamar yang tak pernah dikunci langsung Ayra dorong dan menghentakkan kaki ke lantai.

"Sebel, sebel, sebel. Main ambil aja."

"Kenapa?" tana Ajeng heran. Suapan nasinya menggantung di depan mulut sembari menunggu jawaban dari Ayra.

Setelah mendudukan diri di kasur, menyilangkan kaki dan bersidekap, barulah Ayra menjawab, "Masa ya, ember cucianku entah ke mana perginya. Padahal kan baru tadi aku simpan di bawah rak sabun, eh, pas aku mau nyuci sambil mandi ...." Ia menjeda sejenak. Matanya menatap langit-langit kamar sembari mengapalkan tangan geram. "tersisa bajunya aja di lantai. Kan sebel, Mbak. Itu maling namanya."

Kalau bukan karena nasi yang masih dikunyah, mungkin tawa Hana sudah meledak. Ia hanya menutup mulut rapat-rapat takut keluar. Lain dengan Ajeng. Gadis itu hanya tersnyum simpul, padahal rongga mulutnya tengah kosong.

"Nanti juga ketemu lagi di jemuran, Ay. Nggak usah heboh gitu, deh," ucap Ajeng lembut.

Bukan Ayra namanya kalau gadis itu tidak merengek-rengek minta pulang.

"Sendal jepitku juga putus, Mbak. Ya Allah, derita macam apa ini," keluh Ayra. Seluruh wajahnya sudah tertutup anduk warna biru.

"Tapi, udah kan nyucinya?" tanya Hana. Ia berdiri mendekati Ayra sembari menenteng piring kosong bekas makannya.

Kepala Ayra mengangguk. "Pakai ember kamu dulu, ya."

Mata Hana langsung memelotot. "Terus, bajunya kamu taruh di mana?"

"Ya, di bawah rak sabun kayak yang lain juga," ucap Ayra hati-hati, takut Hana semakin murka.

"Kamu sama aja kayak mereka, Ay."

"Bedalah. Aku kan barusan bilang sama kamu, minjem ember. Kalau yang lain kan ambil seenaknya nggak bilang sama sekali," jawab Ayra kikuk. Ia menundukkan kepala tanpa berani menatap Hana.

"Udah, jangan berantem gini. Ay, makan dulu. Hana, simpen piringnya. Terus, mumpung besok hari libur, kita ke pasar. Gimana? Setuju nggak?"

"Berangkat!" seru Hana dan Ayra bersaman.

Mereka saling menoleh, lalu tertawa tanpa sebab. Melihat tingkah dua gadis itu yang aneh, Ajeng hanya bisa mengelus dada sembari menggelengkan kepala.

"Efek makan sama tumis kangkung kayaknya," simpul Ajeng sebelum menutup pintu kamar dan menuju kamar mandi untuk cuci tangan.

***

Masalah perizinan, biarkan Ajeng yang mengurusnya. Setelah melaksanakan salat duha rutin setiap pagi, yang biasanya pukul delapan langsung pergi ke kelas, tetapi kali ini Hana dan Ayra sudah siap dengan tas selempang untuk pergi ke pasar sesuai janji Ajeng kemarin.

"Han, pake rok aja, deh. Takut melorot kalau ke pasar pake sarung," saran Ayra dan langsung dijawab dengan gelengan kepala.

"Pertama, kita ini santri. Kedua, aku nggak punya rok."

Kedua bola mata Ayra berotasi malas. Ayolah. Meski pun sudah enam bulan tinggal di pesantren dan mulai terbiasa dengan kain sarung bermotif-motif itu, tapi terkadang selalu melorot di tengah jalan. Selalu dan selalu membuat gadis berdarah sunda itu bersungut-sungut.

"Kalau sarungku melorot, kamu tanggung jawab, ya."

"Ih, nggak mau. Pake sabuk aja, gih," usul Hana.

"Mana ada sabuk, Hana."

"Tali rapia, tuh." Tawa Hana langsung terdengar beriringan dengan masuknya Ajeng ke kamar. Di genggamannya tiga kertas putih bertuliskan surat izin keluar asrama yang ia dapatkan dari kantor.

Hendak memukul bokong Hana karena kesal, tetapi Ayra urungkan ketika tatapan tajam Ajeng menghunus matanya. Ia langsung pura-pura bersiul dan menatap langit-langit.

"Kita pergi sekarang aja, ya. Ninggalin kalian berdua di kamar, sama aja bohong."

Ajeng meraih tas selempang hitam persegi di atas meja belajar, lalu pergi meninggalkaan kamar. Diikuti dua orang gadis di belakangnya.

"Jalan kaki, Mbak?" tanya Ayra. Ini kedua kalinya pergi ke pasar, setelah dulu bersama Umi Isna.

"Iya, jalan. Deket, kok, nggak jauh."

Helaan napas pasrah terdengar dari bibir Ayra. Gadis itu tak banya bertanya lagi. Mengekori ke mana Ajeng pergi, sampai tersenyum simpul saat seseorang di koperasi menyapa mereka.

***

Masing-masing dari mereka menenteng satu kantung keresek hitam berukuran sedang berisikan barang belanjaan. Dimulai dari sendal jepit, kerudung, kaus lengan panjang, baju kemeja atau tunik favorit Ayra. Ah, mereka juga belanja bulanan seperti sabun mandi, sabun cuci, dan lainnya.

Saat langkah mereka melalui deretan pedagang makanan kaki lima, sinyal lapar yang berasal dari perut berbunyi. Ayra yang paling kencang hanya menyeringai bodoh sembari menunjuk salah satu gerobak bakso di seberang.

"Iya, ayo," ajak Ajeng.

Setelah menyeberang jalanan, mereka langsung duduk di bangku yang kebetulan kosong.

"Mas, baksonya tiga. Pedas semua, ya." Mereka bertiga kompak menoleh ke kanan ketika orang lain menyebutkan pesanan yang sama.

Tangan Ajeng menunjuk salah seorang dari orang itu dengan perasaan antusia. "Lho, Mas Hasan? Eh, Gus Arfan, Ning Bila."

Ayra membalas lambaian tangan Bila, tetapi matanya menatap netra kecokelatan di samping gadis itu. Ia juga tersenyum kaku saat Hasan melontarkan senyuman.

"Kita gabung aja, gimana?" Usulan Bila adalah mutlak dan harus dituruti Bila. Kalau tidak, gadis itu bisa menggunakan berbagai cara agar kemauannya bisa terpenuhi.

"Ning Bila di sini aja bareng kita, biar mereka para pria berduaan di sana," timpal Hana sembari menunjuk dua bangku kosong di belakang mereka.

"Mang, baksonya jadi enam. Pedes semua, ya," ujar Bila mengulang pesanan.

Dan sekarang, posisi mereka adalah Hana dengan Ajeng dan di hadapan mereka ada Bila dan Ayra. Sedangkan kedua pria yang merangkap sebagai keamanan dari Bila, duduk di bangku belakang Ajeng menghadap para wanita.

***

"Dia cantik." Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Hasan. Entah sadar atau tidak, yang jelas Arfan langsung menoleh. Kedua alisnya terangkat menunggu penjelasana selanjutnya.

"Ayra," gumam Hasan.

Kali ini, Arfan menoleh kembali untuk menatap Ayra meski terhalang punggung Hana. Hatinya mencelos mendengar pengakuan sepupunya itu mengucapkan pengakuan. Kalau boleh, ia juga ingin mengatakan hal yang sama.

Itu bukan diri Arfan yang terang-terangan mengakui perasaan di depan orang lain. dulu saat menyukai Ajeng, tanpa sengaja adiknya tahu lewat buku agenda hitam. Bodohnya benda penting itu tergeletak di atas nakas.

"Eh, barusan ...." Hasan menggantung kalimatnya, menciptakan satu senyuman ketika gadis yang barus disebutkan namanya bangkit dan mengambil segelas air minum. Wajahnya mulai merah padam, tampak butiran air mata menggenang di pelupuk mata.

"Barusan bukan ngwaur, Fan," lanjut Hasan. "Itu Fakta kalau aku menyukai dia."

"Menurut kamu, aku pantas sama dia?" Hasan menoleh pada Arfan.

Ingin sekali Arfan mengatakan tidak sekencang mungkin, lalu menarik gadis itu ke pelukannya. Tetapi itu hal yang tak mungkin. Satu, karena akal sehatnya tak mengizinkan itu. Kedua, siapa dia yang lancang untuk memeluk Ayra? Belum halal.

Dengan berat hati dan penuh terpaksa, kepala Arfan mengangguk lemah. Bibirnya memaksa untuk tersenyum. "Iya, pantes."

Satu buah bakso kecil ditusuknya menggunakan garpu, lalu dimasukkan ke dalam mulut. Berkali-kali dikunyah sampai lembut, kemudian di telan. Ah, sampai disuapan terakhir pun, rasa sesak di hatinya masih terasa.

"Aku ini kenapa? Cemburu? Tapi ... siapa aku ini untuknya?" batin Arfan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top