07-Eh, Kok Nyebelin?

Baru saja mushaf bersampul hijau tua tersimpan rapi di rak, tubuh Ayra limbung hampir jatuh kalau tidak menjaga keseimbangan. Begitu sampai keluar, tangannya langsung megempaskan cengkeraman lengan Hana dengan sekali hentakan.

Sembari mengusap-ngusap lengan yang memerah, Ayra berujar, “Apa sih, Han? Sakit tahu. Kayak aku bikin dosa aja.”
Cengiran bodoh Hana membuat gadis itu ingin memakannya bulat-bulat. “Sebagai teman yang baik, aku mau ajak kamu pulang. Gimana?”

Gerakan tangan Ayra terhenti sejenak, lalu menatap Hana dengan bola mata bersinar. “Yang benar?” Hana mengangguk mantap. “Tapi, ada apa pulang?” tanya Ayra lagi.

Bola mata Hana bergerak ke kanan dan kiri, mengamati sekeliling musala yang tampak sepi karena sebagian santri masih mengaji Al-Quran di ndalem bersama Umi.

“Teman SD-ku mau nikah lusa, makanya mau pulang,” jelas Hana. Ia melipat tangan di depan dada mengamati respon Ayra yang terlampau biasa, menganggukkan kepala.

“Tapi, kamu yang izin ke Umi, ya?” sambung Hana lagi. Wajahnya kini memelas dan tangan terkatup di depan dada.
Tubuh Ayra beringsut menjauhi Hana, kepalanya menggeleng pelan tanda penolakan. “Mana berani aku, Han. Kamu juga kan udah lama di sini,” tolak Ayra. Ia melangkah pergi meninggalkan Hana hendak melipat mukenanya yang hampir saja terkena cipratan air dari plafon.

Hana terus mengekori ke mana pun langkah Ayra pergi. Ke kamar mandi untuk cuci muka, ke atap untuk menjemur pakaian, sampai kembali ke kamar dan rebahan di sana. Sorot mata gadis itu masih memelas, membuat Ayra menghela napas pasrah.

“Iya, aku nyerah. Aku ikut kamu pulang, terus aku juga yang izin ke Umi.”
Hana yang semula duduk di lantai langsung memeluk tubuh teman sekamarnya itu dengan erat sembari menggumamkan kata terima kasih berulang kali. Sedangkan Ayra, ia meronta-ronta minta dilepaskan.

“Yuk, kita izin.” Tanpa permisi, Hana mengapit lengan Ayra begitu semangat.
“Iya, ayo,” sahut Ayra pasrah.

Setelah merapikan kerudung dan menggunakan peniti, keduanya siap untuk meninggalkan kamar. Tetapi sebelum itu, tatapan tajam Ajeng berikan di ambang pintu. Ia yang masih mengenakan atasan mukena pun berjalan menghampiri mereka.

“Ke mana?”

“Hana ngajakin aku pulang, Mbak.” Jawaban Ayra langsung dihadiahi satu sikutan dari Hana.

“Kenapa pulang?”

“Mbak, nanti aja tanyanya, ya. Aku sama Ayra mau izin dulu. Dadah Mbak ajeng yang cantik.” Giliran Hana yang menimpali. Ia sempat mencolek ujung gadu Ajeng sebelum menyeret Ayra keluar.

***

Setelah mengamati suasana tempat mengaji sepi, tak mendapati keberadaan siapa pun di sana. Hana pun memutuskan untuk ke ruang tamu tempat biasanya Umi Isna muroja’ah hafalan setiap pagi sesudah kegiatan mengaji santri sesudah salat subuh.

“Kamu jangan lupa sama yang aku ajarin barusan, ya,” peringat Hana dengan suara pelan.

Ayra mengangguk singkat. Ia masih sibuk menghafalkan kalimat-kalimat izin yang diajarkan Hana. Yang membuat dirinya kesulitan adalah bahasa Jawa.

“Oke, aku masuk duluan,” usul Hana.
Setelah beberapa menit berdiri di belakang lemari kayu yang mulai usang, Hana berjalan menggunakan lutut terlebih dahulu, diikuti Ayra di belakang. Keduanya sama-sama menunduk, dengan tangan mengepal di bawah.

Melihat kedatangan dua santrinya, kegiatan Umi Isna juga Arfan terhenti.

“Ada apa, Mbak?” Suara serak milik Arfan menjadi yang pertama kali terdengar.
Kepala Ayra mendongak ke atas, tatapannya langsung terkunci di satu titik. Bola mata warna cokelat yang begitu teduh dan membuat gadis itu nyaman untuk menatap dalam waktu lama.

“Mbak,” panggil Umi Isna.
Senggolan keras dari Hana membuat Ayra menoleh dan menampakkan ekspresi polos. Buru-buru mata Hana memberikan kode agar gadis itu segera membuka suara.
Desisan pelan terdengar dari bibir Ayra. Ia menepuk jidat, sebelum akhirnya berbisik di telinga Hana. “Lupa lagi, Han.”

Kalau boleh, Hana ingin menenggelamkan temannya itu ke dasar laut yang paling dangkal. Sedangkan Ayra, ia ingin mengumpat, meratapi kebodohanna itu. Buyar sudah yang tadi dihafalkan sampai mulut berbuih, hanya karena pria berkumis tipis itu.

“Mau izin ke mana, Mbak?” tanya Umi Isna lagi, ketika santri-santrinnya itu tak kunjung bersuara.

Kalau sudah begini, Hana mendesah pasrah. Dengan perasaan ragu-ragu, Hana menjawab, “Mau pulang dulu Umi, ada keperluan di rumah.”

“Keperluan apa, Mbak? Ambil kiriman? Atau sepupu, teman ada yang menikah?” tanya Arfan dengan nada sinis. Pria itu menegakkan badan, lalu menutup Al-Qur’an dan menyimpannya di meja.

Keringat dirngin mulai bercucuran menghujani tubuh Hana juga Ayra. Padahal pagi ini masih sejuk, tetapi sorot mata tajam Arfan seakan menjadi pemanas suhu ruangan kali ini.

Umi Isna terkekeh. Ia lalu memukul punggung tangan anak sulungnya. “Kamu ini, Fan. Jangan sangar gitu ke mereka. Lihat tuh, seperti mau kencing di celana tahu.”

“Ya, kan Arfan cuma mau nanya aja. Salah nggak?”

Beralih menatap santrinya dan menyuruh Umi isna untuk diam, Arfan membuka suara lagi, “Jadi, kepentingan apa, Mbak?”
Hana bungkam. Ia hanya menggerakkan kepala, entah tanda mengiyakan apa. Isi kepala gadis semrawut.

“Mbak, ngaji wajib nggak?” tanya Arfan.
“Mati aku,” batin Hana. Ia semakin menggenggam tangannya erat, lalu menganggukan kepalanya pelan.

Ayra yang baru pertama kali masuk ke ruang tamu dengan keperluan meminta izin, hanya bisa duduk di samping Hana dan mengamati satu persatu orang di sana. Bingung juga mau berkata apa. Sekaligus bingung menghubungkan antara izin dan pertanyaan Arfan seputar wajib atau tidaknya mengaji.

“Nah, itu tahu. Lalu, pentingan mana antara menghadiri pernikahan orang dengan mengaji? Datang ke sana niatnya semoga ketularan cepat ke pelaminan, begitu?”
Kalau boleh, Hana ingin lari terbirit-birit dari hadapan Arfan sejauh mungkin.

“Mbak, jangan lupa, ya. Utamakan yang lebih penting terlebih dahulu. Nah, sejauh ini paham, kan? Masa nggak paham, udah di sini bertahun-tahun. Jadi, terserah Mbak mau jadi pergi atau tidaknya,” pungkas Arfan. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke kursi tanpa mengalihkan tatapan dari sosok gadis itu, yang entah mengapa membuat degup jantung di dalam dadanya berdetak tak keruan.

Ia bersyukur karena Allah tak memberikan visual suara atas detak jantung. Kalau iya, habis sudah malu di depan Umi Isna.
Mata Ayra sedari tadi memang menatap lantai, tetapi hatinya terus bergerutu. “Gus Arfan rese juga, ya. Ganteng-ganteng nyebelin.”

Suara pintu didorong mengalihkan perhatian Arfan.

“Mas, izinin aja, sih. Pelit banget,” protes Bila begitu menutup pintu ruang tamu rapat-rapat.

“Dek, nggak usah ikut campur. Umi aja cuma mesen dari tadi, kamu datang-datang langsung sewot.”

Entah berapa senti bibir Bila manyun ke depan. Ia langsung memeluk tubuh Umi Isna dari samping, dan langsung disambut dengan elusan di puncak kepala.

“Saya nggak jadi pulang, Gus. Saya pamit.”
Begitu Hana hendak mengajak Ayra pergi, tetapi suara Ayra menghentikannya. “Kenapa nggak jadi? Kan mau izinnya ke Umi, bukan Gus Fahad,” lirih Ayra, tetapi masih bisa didengar orang lain.

Mata Hana memelotot, ia langsung mencengkram lengan Ayra kuat-kuat dan menarik paksa gadis itu untuk pergi. Tetapi, tenaga Ayra lebih kuat.

“Gus Arfan kan nggak punya hak untuk mengambil keputusan,” cetus Ayra. Wajahnya tampak polos saat menatap Umi Isna.

“Saya ini anak Umi dan Abi, jadi berhak,” balas Arfan tak mau kalah. Ia langsung menegakkan badan dan ujung bibirnya terangkat sedikit.

“Umi, Ning Bila, Gus Arfan, maafkan teman saya karena dia masih baru. Assalamualaikum?”

Dengan kekuatan penuh, Hana memaksa agar tubuh Ayra bangkit dan mengikutinya keluar dari ruang tamu yang cukup luas, tetapi menyesakkan saja.

Begitu sampai di kamar, ia langsung dihadiahi tatapan murka dari Hana. “Hehehe ... maafin, deh, kalau aku ngomong yang salah.”

Tubuh Hana langsung menelungkup di atas ranjang Ayra dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Ia tak menanggapi suara-suara Ajeng atau pun Ayra. Ah, dan juga Bila. Gadis itu baru saja datang, menyusul setelah kepergian dua santrinya dari rumah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top