06-Takziran
Di tengah teriknya matahari, Ayra harus berjalan dari kelas melewati aula, koperasi lalu asrama satu putra untuk sampai ke asrama yang ia tempati. Semerbak angin menerpa kerudung warna peachAyra, tapi itu tak membuat dahaganya hilang meski terasa sejuk.
"Mbak Ay!"
Ayra menoleh ke arah sumber suara. Maniknya menangkap sosok pria terduduk di bangku depan koperasi sembari tersenyum. "Iya, Mas?"
"Ndak jadi, Mbak," jawabnya sembari mengusap tengkuk pelan.
"Lho, Mas Hasan kenapa? Wajahnya kayak gugup gitu."
Hasan menghirup napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan hatinya yang tak karuan. "Mungkin karena lihat bidadari lewat," kekehnya.
Ayra tersipu. "Mas Hasan bisa gombal juga. Kalau cuma mau gombal, permisi, Mas. Udaranya panas, pengen cepet ke kamar."
Setelah mengucapkan salam, Ayra langsung mengambil langkah seribu dari hadapan Hasan. Ia tidak ingin terlalu jauh dengan pria itu. Entahlah, banyak ketakutan di benak Ayra.
Kepalanya terangkat ke atas, menatap langit biru dan silaunya matahari. Sekilas, ia pun melihat deretan pria tengah menatapnya dari balkon.
"Mbak, senyum, dong. Biar cantik."
"Hei, Mbak. Mbak?"
"Ih, si Mbak judes. Nanti keriput, lho, kalo manyun terus."
"Kenalan boleh ndak, Mbak?"
Telinga Ayra seakan tuli dengan suara siulan, atau godaan dari santri putra yang melihatnya dari balkon lantai dua. Kaki jenjang terbalut sarung coklat motif bunga melangkah dengan santai, kepala terangkat tak menunduk seperti santri lainnya yang berjalan di depanya.
"Mulutnya pada nggak dijaga. Dikira aku ini apaan?" gerutu Ayra. Kedua tangannya bersidekap di depan dada, memeluk dua kitab tipis yang baru saja dipelajari bersama gus muda.
Tubuhnya berasa jadi patung ketika matanya menangkap objek yang indah. Terduduk di kursi kayu mengenakan koko hitam dengan lengan dilipat sampai siku seperti biasa, membuat Ayra salah tingkah. Apalagi, saat kepalanya terangkat menatap Ayra dalam.
Senyuman itu tak bisa Arfan tahan lagi saat melihat gadis itu berdiri dari kejauhan. "Kamu cantik," katanya tanpa suara. Membiarkan Ayra sendiri yang membaca dari gerak bibirnya.
"Makasih," gumam Ayra. Dia tidak bodoh. Dia mengerti apa yang pria itu katakan meski tanpa suara.
"Mas!" Suara Bila terdengar dari dalam rumah.
"Mas Arfan!" teriak Bila untuk kedua kalinya. Mendengar suara Bila, Ayra melanjutkan langkahnya setengah berlari menuju asrama yang hanya berjarak 5 meter lagi dari tempat di mana ia berdiri tadi.
"Mas, aku panggil nggak nyaut. Kenapa?"
Arfan mendecak kesal melihat tingkah Bila tengah bersungut-sungut padanya. Ia juga kesal karena merasa terganggu dengan suara teriakan Bila yang bising itu. "Gara-gara kamu, nih."
"Lho, kok aku, sih, yang disalahkan? Aku salah apa coba?"
Arfan bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan Bila yang berkacak pinggang, menatap sang Kakak sebal. Ia tak peduli dengan celotehan-celotehangadis bertubuh tinggi yang terdengar seperti speaker butut. Apalagi suara Bila yang terdengar nyaring kalau berteriak.
"Mas!" teriak Bila kesal. Ia hendak menyusul kakaknya, tapi kalah cepat dengan Arfan yang sudah lebih dulu mengunci kamar rapat-rapat.
Entah sudah berapa senti bibir Bila manyun dan menggerutu tidak jelas, terus mengumpat, mengucapkan sumpah serapah pada kakak satu-satunya itu. Kakak tidak tahu dirilah, kakak durhakalah, Arfan nyebelin.
***
Ayra langsung melepaskan jilbab peach yang tadi ia kenakan begitu sampai di kamar. Kepalanya terasa panas karena terik matahari. Hendak menyimpan kerudung itu ke pintu lemari, tapi Ayra urungkan. Ia mendahulukan rasa dahaga yang sedari tadi menyerang tenggorokan.
Kepala Ayra menoleh ke sana ke mari mencari Hana dan Ajeng yang masih belum terlihat keberadaanya. Tak ada siapa-siapa. Lantai dua tempat kamarnya berada pun masih sepi.
"Tumben," ucap Ayra.
Hawa panas dirasakan Ayra, sampai ia mengibas-ngibaskan tangan dengan cepat. Tambah lagi rasa panas dari pipinya yang memerah bak kepiting rebus. Lambat laun, bibirnya terangkat membentuk lengkungan indah.
"Ayra!" teriak Hana dari ambang pintu, menatap Ayra aneh. Mata hitam pekatnya mengamati apa yang terjadi dengan teman satu kamarnya itu.
"Ada apa, sih? Teriak-teriak segala," ujar Ayra sebiasa mungkin.
Kepala Hana mengeleng pelan. "Kamu aneh. Kenapa tadi? Persis orang gila senyam-senyum sendiri."
Ayra hanya menyeringai tanpa dosa, menampakkan gigi yang putih dan lesung pipi.
"Besok kita ke rumah sakit jiwa aja, ya. Aku takut otak kamu hilang setengah."
Mata Ayra mendelik kesal ke arah Hana. "Enak aja. Kamu ngomong sembarangan. Aku waras gini ngapain ke rumah sakit jiwa. Kamu aja."
"Ada apa ini?" tanya Mbak Ajeng di ambang pintu. Matanya menatap ke arah Hana dan Ayra bergantian, meminta penjelesan.
"Ini, nih, Mbak. Ayra tadi senyam-senyum ndak jelas. Takut otak dia geser, makanya,aku ajak dia ke rumah sakit besok. Nggak salah, kan?" Hana terkikik geli setelah melihat perubahan wajah sebal Ayra.
Mbak Ajeng berjalan mendekati rak untuk menyimpan dua kitab tebal bertuliskan 'ianatutholibin sembari menghela napas sabar. Kelakuan dua gadis remaja yang notabene teman sekamarnya ini bikin kepala Ajeng makin pusing. Berharap keadaan kamar setelah selesai mengaji tenang, yang terjadi malah sebaliknya.
"Sudah, ah. Sebaiknya kalian ke kamar mandi. Bentar lagi salat zuhur. Kalian nggak mau telat, terus kena hukum, kan?"
"Nah, lho. Kenapa malah tiduran, Mbak?" tanya Ayra, melihat Ajeng yang merebahkan tubuhnya di kasur.
"Mbak datang bulan. Cepetan, gih. Di sana udah ngantri panjang banget."
Tangan Ayra buru-buru meraih kerudung yang tersampir di kursi, lalu pergi ke kamar mandi yang ada di bawah. Melewati lorong-lorong asrama yang sepi. Iya, sepi. Semua penghuninya berkumpul di depan kamar mandi untuk mengambil air wudu. Mata Ayra menatap deretan santri yang tengah mengantri dengan lelah. Panjang. Tumben baru pada wudu, biasanya udah pada duduk di musala. Firasat dihukum, nih, pikirnya.
***
Ayra berjalan gontai menuju kamar di lantai dua. Matanya sudah menunjukkan 5 watt, tak tahan untuk terus tetap terjaga. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul 9 malam. Masih siang untuk tidur. Menurut santri.
"Ngantuknya." Ayra bermonolog sendiri setelah beberapa kali menguap.
Baru saja menekan knop pintu, Ayra merasakan seseorang menepuk bahunya pelan. Dengan mata sayu, ia membalikkan badan untuk melihat si pelaku. Pertanda buruk melihat wajah Nana yang siap menerkam Ayra saat itu juga.
"Kamu.Turun!" Hanya itu yang keluar dari bibir Mbak Nana-ketua asrama-dingin. Gadis bertubuh mungil lalu berbalik dan meninggalkan Ayra berdiri di depan pintu.
Ayra menatap punggung Mbak Nana tak suka. Ia terus mengumpat tanpa henti sambil mengikuti di belakangnya. Jangan tanyakan lagi apa rasa kantuk masih ada atau tidak.
"Bisa kan, bicara baik-baik. Ngomong nggak ada lembut-lembut sama sekali," dumel Ayra lirih.
Sampai di tengah-tengah asrama yang sekarang menjadi pusat perhatian karena ada beberapa orang yang tengah berdiri di sana. Andai saja tadi zuhur bisa tepat waktu berjamaah dengan Umi Isna, Ayra yakin tak akan berada di sini sekarang.
"Kalian telat berjamaah. Sebagai hukumannya, angkat sebelah kaki kalian. Dan bacakan salawatnariyah sebanyak 33 kali. Jangan turunkan kaki sebelum selesai. Paham?" Mata Mbak Nana menatap santri yang dihukum satu persatu.
Baru saja bibir Ayra terbuka, sudah terkatup lagi mendengar suara Mbak Nana. "Tidak ada protes apa pun. Sekarang, cepat lakukan!" Nada bicaranya terdengar sarkas, dan dingin.
Kayak cenayang aja dia bisa tahu kalo aku mau protes, desis Ayra dalam hati.
Perlahan, sebelah kakinya terangkat. Diikuti beberapa santri lain yang terkena hukuman seperti Ayra. Meskipun berbeda-beda penyebabnya. Ada yang telat berjamaah seperti Ayra, telat mengaji, ataupun lupa piket.
"Allohummasholishalaatankaamilatanwasallimsalaamantaamman 'alaasayyidinamuhammadinilladziitanhallubihil 'uqoduwatanfarijubihilkurobuwatuqdhoobihilhawaaijuwatunaalubihir-rogho-ibu wahusnulhowaatimiwayustasqolghomaamubiwajhihilkariimiwa 'alaaaalihiiwashohbihiifiikulli lam hatinwanafasinbi 'adadikullima'luminlaka."
Salawat terus dibaca sampai 33 kali sesuai perintah. Meski sesekali kaki Ayra turun karena pegal, tapi ia buru-buru angkat lagi sebelum ketahuan Mbak Nana. Bisa panjang urusannya.
Mata Ayra memerhatikan satu persatu santri yang tengah melihatnya di hukum. Ada yang cekikikan, ada yang acuh, ada yang menatap kasihan. Berlebihan memang. Tapi, ini semua bertujuan untuk membuat santri jera dan mengikuti aturan. Dalam kata lain harus disiplin. Untuk apa ada peraturan jika harus dilanggar? Peraturan dibuat agar hidup di pesantren lebih terarah dan disiplin. Dan peraturan dibuat bukan untuk dilanggar melainkan untuk dipatuhi.
Seperti Al-Quran yang allah turunkan untuk menjadi pedoman hidup manusia. Banyak peraturan dan anjuran di dalamnya yang wajib dipatuhi umat manusia yang beriman.
Ayra tak sengaja melihat ke arah Hana tengah mengepalkan tangannya memberi semangat. Sesekali ia terkikik geli bersama Mbak Ajeng di balkon lantai dua.
Mentang-mentang tadi Hana langsung dapat tamu kayak Mbak Ajeng, jadi nggak dihukum. Monolog Ayra dalam hati.
Tettt ... tettt ... tettt ....
Bunyi bel sebanyak 3 kali bertepatan dengan selesainya Ayra menjalani hukuman. Ia bisa bernapas lega, merasa beruntung karena bel tadi bertanda Mbak Nana dipanggil abi sama umi ke ndalem. Jadi, ia tidak perlu mendengarkan Mbak Nana yang cerewet itu berceramah.
"Kalian bisa kembali ke kamar," tegas Mbak Nana sebelum meninggalkan mereka.
Ayra berjalan pincang ke pinggiran untuk mengistirahatkan kaki kanannya yang terasa pegal. "Ingin rasanya aku menjambak rambut Mbak Nana."
Matanya yang semula mengantuk hebat, lenyap begitu saja. Dan mungkin saja ia terjaga sampai malam. Ayra pun terus mengumpat menyalahkan Mbak Nana karena sudah menghilangkan rasa kantuk yang teramat berharga.
"Kita masak mie aja, yuk! Laper, tahu." Ajakan Hana langsung diiyakan oleh Ayra tanpa basa-basi lagi. Perutnya pun terasa lapar. Ia sendiri membutuhkan pelampiasan atas kekesalan pada si ketua asrama.
"Masa mie aja? Aku ke kantin, deh, beli pikset alias keripik setan sama saus. Ah, cabai rawit juga. Biar pedes-pedes manja gitu."
Hana mengangguk setuju. Kebetulan mereka penggila pedas tingkat tinggi. Cabai rawit sepuluh tidak ada apa-apanya.
Sepeninggal Ayra, Hana berjalan sendiri ke pinggir kamar pengurus asrama untuk menyalakan kompor. Kebetulan, tadi saat turun ke bawah ia sudah membawa mieinstant. Sesekali Hana bersenandung mengobati rasa sepi. Angin malam berembus menerpa kerudung yang menutup kepalanya asal.
"Aku beli sausnya 6, pikset 4, cabainya 25. Gimana?" tanya Ayra. Hana yang tengah mengaduk-ngadukmie di dalam panci pun hanya melongo. Mie yang akan dimasak hanya satu bungkus, sedangkan pelengkapnya sebanyak itu.
"Nggak kurang banyak, tuh?"
"Oh, kurang banyak. Gampang. Tinggal beli lagi ke kantin."
Hana menepuk jidatnya asal. Kurang banyak dari mana? Segitu saja sudah banyak. Bisa-bisa besok dia mendadak diare gara-gara over pedas.
"Kalo aku sakit perut, kamu tanggung jawab."
Mendengar hal itu, Ayra malah tertawa. "Nggak mau, ah. Masa segituaja langsung diare, sih. Cemen," ledek Ayra. Tangannya mulai mempersiapkan bahan pelengkap yang tadi ia beli ke dalam mangkuk. Mata coklat Ayra sudah berbinar-binar melihat pikset, saus, dan cabai rawit menjadi satu.
"Lihat itu kayak lihat harta karun aja."
Bibir Ayra mengerucut kesal. Padahal, ia baru saja akan membayangkan betapa pedasnya mie yang akan mereka makan. Kepedasan sampai keringat bercucuran memiliki sensasi tersendiri.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya matang. Mereka membawa semangkuk mie yang berwarna merah itu ke depan musala. Di teras musala ada beberapa santri yang masih nongkrong. Duduk-duduk santai sambil ngobrol atau menggosip, menghafal kitab, bahkan muroja'ah Al-Quran.
"Ya Allah. Itu mie apa racun," pekik Mbak Nanda. Wajah Nanda tampak kaget melihat mie yang Ayra bawa. Kuahnya tidak bening seperti kebanyakan mie yang dimasak. Ini merah.
Ayra hanya menyeringai polos. Tangannya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. "Dia mau ngeracun, Mbak," sahut Hana. Ia mengambil posisi duduk di depan Mbak Nanda dengan satu sendok di tangan kanan.
"Yakin mau habis?" tanya Mbak Nanda sambil geleng-geleng. Ia bahkan lebih tertarik melihat dua manusia itu ketimbang alfiyahnya.
Ayra mengangguk yakin. Kepalanya terasa penat setelah mendapat hukuman seperti tadi dari Mbak Nana. Sebagai obat, Ayra memerlukan makanan pedas untuk menghilangkan rasa penat itu.
"Hati-hati sakit perut," sambung Mbak Nanda lagi.
"Itu ... hah ... sudah ... huhahhh ... risiko, Mbak." Ayra terengah-engah karena mulutnya kepedasan. Tangannya pun ia kibas-kibaskan dengan cepat membuat Mbak Nanda geleng-geleng kepala.
***
Ayra berjalan lemas menuju kamar setelah sepuluh menit berada di kamar mandi, menuntaskan masalah perut yang mendesak meminta di keluarkan. Tangannya terus memegangi perut yang terasa sakit. Sekujur tubuh Ayra terasa kehilangan tenaga setelah berulang kali ke kemar mandi. Efek semalam makan mie super pedas, ia pun mengalami diare.
"Ini sudah yang ke berapa, Ay?" tanya Mbak Ajeng khawatir. Wajah Ayra pun tampak pucat dan bibirnya kering, pecah-pecah.
Kepala Ayra menggeleng pelan. Ia tak ingat sudah berapa kali ke kemar mandi sejak bangun tidur.
"Kamu minum dulu biar nggak dehidrasi." Mbak Ajeng menyodorkan segelas air putih pada Ayra.
Hana yang baru datang dari warung untuk membeli obat, berusaha menahan tawanya melihat kondisi Ayra yang lemah di tempat tidur. "Ini Mbak obat diarenya. Lagian, sih, kamu sok-sokan tadi malem. Kena akibatnya, kan?"
Mata Ayra mendelik tajam ke arah Hana yang tengah duduk di kursi. Mbak Ajeng menatap Hana seakan berkata 'diam saja'.
"Kamu minum dulu obatnya, setelah itu istirahat. Nggak usah ngaji dulu, ya. Mbak udah diizinin, kok."
Setelah meminum obat yang diberikan Mbak Ajeng, perlahan mata Ayra menutup perlahan. Ia butuh istirahat setelah berkali-kali membuang tenaga di kamar mandi untuk membuang sisa-sisa makanan di dalam perut.
"Mbak, itu Ayra kenapa?" tanya Ning Bila. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di samping Ajeng.
"Dia diare, Ning. Semalem makan mie super pedas bareng Hana. Jadi, ya, gini."
"Iya, Ning. Sok-sokan banget, sih, dia. Piksetnya 4, saus 6, cabai rawit 25. Gila, kan? Nggak waras, kan? Perlu diperiksa otaknya ke rumah sakit jiwa," sambung Hana dengan nada kesalnya.
Ning Bila yang mendengarnya hanya melongo tidak percaya. "Aku setuju sama Hana. Kita bawa aja dia ke rumah sakit jiwa."
Hana terkikik geli mendengar ucapan Ning Bila. Ia sangat senang karena ada yang sejalan dengan pikirannya. Membenarkan bahwa teman satu kamarnya itu memang sudah gila dan patut untuk dibawa ke rumah sakit.
"Orang sakit malah dikatain gila," bela Mbak Ajeng yang membuat Hana dan Ning Bila kompak tertawa. Untung saja Ayra sudah tidur lelap. Jadi, dia tenang-tenang saja.
"Habisnya, sih, dia sok-sokan nggak bakal diare. Buktinya, kan?" Ucapan Hana dibenarkan Ning Bila dengan acungan jempol.
"Terserah kalian berdua aja. Mbak mau siap-siap ngaji dulu," timpal Mbak Ajeng menyudahi obrolan tidak berfaedah mereka.
***
Perlahan, mata Ayra terbuka. Ia menggeliat pelan di balik selimut. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Kaki pegal-pegal, dan perut seperti ada yang memeras. Dari ekor matanya, Ayra melihat jam yang bertengger di dinding.
"Sudah 3 jam aku tidur," desis Ayra pelan. Ia hendak bangun dari tidurnya, tapi tidak jadi melihat seseorang berhijab abu duduk di tepi ranjang.
"Kamu sudah bangun, Ay?"
Ayra menoleh ke sumber suara. Seorang gadis cantik tengah tersenyum ke arahnya. "Mbak, kok di sini?" tanya Ayra keheranan. Padahal ini jam mengaji. Tak seharusnya Ning Bila berada di kamarnya.
"Aku nggak tega tinggalin kamu sendiri."
Bibir Ayra mengulum senyum tipis setelah mendengar ucapan Bila.
"Oh, ya. Ini ada titipan bubur dari Umi. Tadi Umi nanyain kamu kenapa ndakmasak, malah yang piket. Ya, aku bilangin kamu diare." Bila memperlihatkan semangkuk bubur yang sudah dingin.
"Makan dulu, nih. Biar mendingan perutnya." Tangan Bila mengambil sesendok bubur lalu menyuapi Ayra dengan telaten.
Suap demi suap bubur sudah masuk ke dalam mulut Ayra. Tubuh Ayra pun perlahan mulai membaik. Merasakan ada sedikit tenaga yang mengalir. Berbeda dengan sebelumnya yang terasa sangat lemah.
"Kamu tadi kayak mayat hidup tahu, nggak? Pucat banget," ujar Bila, meletakkan mangkuk bubur yang tersisa setengahke atas meja.
"Nggak usah ngeledek, deh." Tangan Ayra mencubit perut Bila dengan pelan. Membuat sang empunya meringis kesakitan.
"Cubitan kamu sakit banget."
Ayra hanya tertawa puas melihat ekspresi Bila yang kesakitan.
"Bila," panggil Ayra pelan. Ia tampak ragu untuk menanyakan hal ini. Merasa bertanya-tanya apa kakak dari Ning Bila juga tahu tentang kondisnya sekarang atau tidak? Khawatirkah?
"Iya, Ay. Kenapa?"
Buru-buru Ayra menggelengkan kepalanya. Ia tak yakin juga jika pria itu sampai tahu kondisi salah satu santrinya. Lagi pula, ini jadwal untuk Arfan berada di kelas mengajar jurumiyah. Tak akan sempat kan mengurusi hal yang mungkin tidak penting untuknya.
Jangan berpikir terlalu jauh,Ayra! "Ih, kamu nggak jelas banget."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top