04-Dunia Baru Ayra
Hampir satu jam Ayra terduduk di kelas bersama yang lain sembari menahan kantuk. Sesekali ia menguap dengan tidak tahu malu di depan orang lain. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Tapi, ustaz yang mengampu kitab fiqih safinah belum juga datang.
“Sampai kapan, sih? Aku ngantuk tahu,” keluhnya pada diri sendiri.
Ayra duduk di barisan paling belakang, sendiri pula. Tak ada yang ia kenal di sini. Hana sekelas dengan Bila di kelas tsanawi atau menengah sedangkan Mbak Ajeng di kelas tertinggi, ulya.
Kalau tidak ingat petuah ayah waktu itu, mungkin ia sudah melakukan hal-hal aneh untuk mengerjai ustaznya itu.
"Assalamualaikum? Maaf, saya terlambat sekali, ya."
Suara itu membuyarkan lamunan Ayra. Matanya langsung menatap ke arah objek semua orang, dan tertegun. "Gus Arfan?" lirihnya.
Kepala Ayra langsung menunduk, pipinya terasa panas. Ia ingat lagi bagaimana pertemuan mereka kemarin. Jangan tanya lagi kondisi jantung Ayra sekarang. Berpacu lebih cepat dari biasa, perutnya terasa seperti ada yang menggelitik.
"Kita langsung mulai saja. Yang di belakang jangan menunduk," ucap Gus Arfan tegas dan penuh wibawa.
Semua orang menatap ke arah Ayra. Tak jarang dari mereka yang saling berbisik-bisik tentang Ayra, si santri baru di Ar-Risalah.
"Ma ... maaf, Gus." Kepala Ayra terangkat, matanya langsung tertuju ke arah Arfan. Manik mereka langsung bertemu. Entah ini nyata atau tidak, tetapi Ayra merasakan kenyamanan.
"Astagfirullah," gumam Arfan, mengusap wajahnya dengan kasar. Fokusnya ia kembalikan ke kitab kuning di atas meja, sesekali memerhatikan satu persatu santri yang kini menatap kitab masing-masing.
Kendalikan dirimu, Arfan.
***
Tungkai Ayra terasa lemas di setiap langkahnya. Kepala yang tertutupi kerudung segitiga instan terus menunduk, mengamati setiap tanah yang ia pijak. Pikiran Ayra melanglang buana ke sana ke mari. Entah itu tentang Haikal, atau masa depannya yang ia habiskan di dalam penjara suci.
Bangunan besar berukuran 14x19 meter ia lewati tanpa peduli dengan suara santri putra yang tengah duduk santai di sana sembari memegang benda bundar yang biasa disebut "hadroh".
"Ay," panggil seseorang dari arah depan.
"Lho, Mbak? Kok, ada di sini?" tanya Ayra, melihat kehadiran Ajeng dan Hana ada di koperasi bersama orang yang pernah ia temui hari itu. Langkahnya dipercepat mendekati koperasi.
"Mbak habis telepon ke rumah sekalian ambil titipan di Mas Hasan," timpal Ajeng lembut.
"Kalo aku ...."
"Aku nggak nanya kamu, Hana," potong Ayra cepat membuat Hana merengut.
Ayra terkikik geli melihat ekspresi wajah Hana. Tetapi itu tak lama, saat matanya tak sengaja menatap ke arah Hasan dan sebaliknya. Pria itu senyum sekilas lalu membuang muka. Apa ini perasaanku saja kalau dia suka padaku? Hari itu juga dia kayak gini.
"Mbak, kan di kantor juga ada hp umum. Kenapa harua ke sini?" tanya Ayra penasaran, matanya sesekali melirik ke arah Hasan yang tengah duduk di kursi.
"Ya, udah biasa, sih. Lagian, Bapaknya Mbak suka marah kalau telepon nggak lewat Mas Hasan."
"Lho, kenapa?"
"Aku, Mbak Ajeng sama Mas Hasan itu tetanggaan. Kami bertiga sama-sama orang Semarang, jadi Bapaknya Mbak Ajeng, ya, ngerasa aman aja kalau Mas Hasan yang jadi perantara. Ribet, kan?" sambung Hana. Alisnya ia naik turunkan beberapa kali, tersenyum ke arah Hasan.
"Oh," ucap Ayra sekenanya.
"Oh, iya. Mas Hasan kapan ke Semarang?" tanya Ajeng, menghiraukan respon Ayra yang terlampau singkat.
"Besok kayaknya. Sekalian ngisi acara di sana bareng anak-anak hadroh juga. Habis acara baru pulang," terang Hasan.
"Oh, salam aja buat orang rumah, ya, Mas. Aku kangen pengen pulang."
"Bentar. Mas Hasan anak hadroh?"
"Ayra sayang, Mas Hasan ini bintangnya Ar-Risalah. Suara emas dia itu udah terkenal di seluruh penjuru Mranggen. Fansnya jangan tanya lagi, perempuan semua."
Pria yang tengah duduk itu pun tersipu malu mendengar penjelasan Hana tentang dirinya. Ayra mengangguk lagi, paham. Ia menatap Hasan sekilas, lalu membuang muka ke sembarangan arah.
Kebetulan kursi seberang Hasan kosong, Ayra langsung mengambil posisi duduk yang di sampingnya ada Hana tengah menekan layar ponsel berwarna putih. Ia tak peduli, fokus Ayra tertuju pada Ajeng. Sorot mata gadis berusia dua puluh tiga tahun itu seakan berbinar-binar saat berhadapan dengan lawan bicaranya, Hasan. Lain dengan pria itu yang tampak biasa saja.
Aku tidak bodoh. Tatapan Mbak Ajeng ke Mas Hasan memiliki arti lain yang lebih dari taraf biasa. Tidak mungkin kalau ini cinta segitiga?
"Ini gila," ucap Ayra pelan. Pelipisnya ia pijat secara perlahan.
"Iya, yang gila itu kamu. Ngomong sendiri," sahut Hana tanpa mengalihkan pandangan ke arah Ayra.
Hendak melayangkan satu cubitan ke arah Hana, tapi Ayra urungkan ketika mendengar Ajeng berdeham. "Iya, Mbak. Nggak jadi, kok."
Hasan tersenyum simpul melihat kelakuan Ayra. Memandang gadis yang memiliki lesung pipi dalam-dalam.
"Mbak, kita pulang, yuk. Panas, nih. Gerah banget, Ya Allah." Ayra mengibas-ngibaskan ujung jilbabnya.
"Ya, udah. Hana, udah belum?"
Hana menyodorkan benda persegi panjang ke Hasan lalu mengangguk.
"Mas, kami pulang dulu, ya. Assalamualaikum?"
Ayra terlebih dahulu meninggalkan koperasi tanpa menoleh ke arah Hasan. Ia tidak ingin mengetahui fakta yang sebenarnya, berharap apa yang tadi disimpulkan hanya sekadar prasangka.
"Ay, jurumiyah kamu sudah sampai bab apa?" tanya Ajeng begitu sampai di kamar yang berada di lantai dua.
Ucapan Mbak Ajeng membuat Ayra menunduk lesu. Kepalanya terasa amat penat jika harus dipaksakan untuk menghafal berbagai macam tulisan arab. Maklumi saja bagi seorang santri baru seperti Ayra. Meskipun hari itu ia sudah diberi wejangan, tetapi semua butuh proses.
“Mbak, bisa di-cancel nggak jadi tahun depan aja hafalannya? Kepalaku pusing. Gimana mau betah di sini, hafalan banyak banget.”
“Nih, Ay. Mbak dulu nangis-nangis, lho, hafalin jurumiyah nggak bisa-bisa. Tapi lama-lama bisa, kok, karena Mbak mulai terbiasa. Wajar kalau sekarang kamu mengeluh seperti itu. Belum lupa kan, apa yang Mbak omongin pas ada Ning Bila? Insyaallah, nggak susah-susah kalau kamu berusaha juga doa.”
Dilirknya jam dinding yang berawarna putih dengan malas. Ah, pantas saja Ayra menguap setelah mendengar penjelasan panjang dari Mbak Ajeng. Ini sudah pukul 12 siang dan rasa kantuk ingin tidur siang mulai terasa.
“Ay, ini waktunya salat zuhur. Ayo, kita ke kamar mandi terus wudu. Salat itu lebih baik dari pada tidur.”
Tak ada jawaban. Hanya terdengar helaan napas tenang dari Ayra. Separuh raga gadis itu sudah melanglang buana di alam mimpi yang bebas. Matanya sudah terpejam sempurna yang membuat Mbak Ajeng menggeleng-gelen heran.
“Ini anak. Baru aja kita ngobrol, sekarang sudah tidur. Nempel langsung tidur.” Ditariknya tangan Ayra dengan paksa agar bangun.
“Mbak, lima menit aja. Ayra ngantuk banget,” rengek Ayra dengan mata yang masih terpejam.
“Kamu harus bangun. Tuh, azan di masjid aja udah kedengeran. Kalau nggak, Mbak panggil Mbak Nana aja supaya kamu bangun.”
Tubuh Ayra langsung berdiri dengan sempurna di depan Mbak Ajeng yang membuat gadis itu menyeringai penuh kemenangan. Mendengar nama Mbak Nana disebut, membuat Ayra kalang kabut. Yah, bukan karena takut atau apa pun. Siapa pun santri di asrama ini akan sangat malas untuk berurusan dengan orang yang satu itu.
“Mbak nyebelin,” ketus Ayra. Kakinya dihentak-hentakkan kasar ke lantai saat Ayra meninggalkan Ajeng yang tengah tertawa puas di kamar. Hilang sudah keanggunan saat tawanya meledak begitu lepas.
Ayra mendengar sedikit cerita tentang betapa menyebalkan gadis yang menyandang status sebagai ketua asrama dua. Nana Dwi, gadis asal Klaten yang menggunakan selalu otoritasnya untuk bersikap sesuka hati. Entah itu enggan terjun di kamar mandi saat ro'an, atau pun dengan watak keras kepala dan ingin menang sendiri saat pendapatnya berselisih dengan orang lain. Tetapi, sungguh gadis itu cerdas. Dalam dua tahun, Al-Quran yang terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6666 ayat bisa ia hafal dengan lancar. Mungkin itu alasannya kenapa umi dan abi memercayakan asrama dua pada Mbak Nana.
***
Ayra tersenyum puas setelah berhasil menghafal dua bab sekaligus dalam kitab jurumiyah. Tak sia-sia dia seharian merenung, menangis karena kangen rumah. Meyakinkan dirinya dan berusaha ikhlas menerima takdirnya yang sekarang ini sebagai santri.
“Tumben Mbak Ajeng nggak ada di kamar. Biasanya jam segini sudah nongkrong dengan alfiyah di kasur.”
“Mbak Ajeng nggak ada di kamar sejak habis salat isya. Nggak tahu ke mana, tuh,” sahut Hana yang asyik membaca novel di pojokan kamar. Tangan kanannya meraih kripik pisang lalu dikunyah sampai halus.
“Padahal, tadi siang dia udah nagih hafal jurumiyahku.” Bibir merah muda yang tipis mengerucut. Tubuhnya ia dudukkan di atas kursi berlajar, lalu menunduk lesu.
“Memangnya sudah hafal berapa bab?” tanya Hana tak antusias. Matanya masih tak teralihkan dari deretan tulisan yang tengah ia baca.
Kepala Ayra masih menunduk di meja. Malas untuk menjawab pertanyaan dari Hana. Tak akan membuat setoran hafalannya menjadi lunas. Kira-kira begitu pemikirannya.
Embusan napasnya terdengar kasar saat mengangkat kepala untuk menatap dinding putih di hadapannya.
“Pengen pulang,” rengek Ayra saat melihat bingkai foto yang berisikan foto Ayra, Salman dan kedua orang tuanya sewaktu kecil.
“Itu rengekan yang keberapa, Ay, selama di sini?” Pertanyaan Hana hanya disambut dengan gelengan pelan dari Ayra.
“Semua penghuni Asrama harap segera keluar dari kamar masing-masing.” Kepala Ayra menoleh ke arah Hana yang duduk di pojokan dengan novelnya.
“Pasti ada sesuatu,” ujar Hana seraya berdiri dari duduknya. Lalu, menarik Ayra agar ke luar kamar, sesuai dengan instruksi dari Mbak keamanan asrama. Mbak Firda.
Di tengah-tengah Asrama, semua pengurus sudah kumpul dengan wajah kesal. Ditambah dengan Mbak Hasna yang duduk di tengah-tengah menjadi pusat perhatian. Kepalanya terus menunduk. Sesekali tubuhnya bergetar layaknya orang yang tengah menangis.
“Ada apa?” bisik Ayra pelan.
“Stttt. Kita lihat saja.” Jari telunjuk Hana berada tepat di bibirnya yang tebal dan berwarna merah muda.
“Di pesantren kita ini, tidak diperbolehkan bagi santri untuk membawa ponsel pribadi. Awal masuk pesantren, ponsel diberikan ke pengurus. Jika libur panjang, baru ponsel akan dikembalikan. Tetapi, teman kalian ini sudah melanggarnya. Dengan berani, dia membawa ponsel dari lemari penyimpanan lalu dibawa ke kamarnya. Saat tengah malam, dia akan menelepon kekasihnya di kamar mandi. Sangat pintar untuk melakukan aksi seperti itu. Sayangnya, salah satu pengurus melihat aksi Hasna. Kalian tahu hukuman apa untuk pelanggar seperti dia?”
Hening. Semua orang menatap wanita yang baru saja berbicara panjang lebar dan Mbak Hasna bergantian. Ada beberapa orang yang menatapnya tidak percaya, ada juga yang wanita yang jadi pusat perhatian itu kasihan.
Malu? Pasti. Semua mata hanya tertuju pada si pelaku yang tengah terisak. Jari-jari tanganya terus ia mainkan untuk menenangkan.
“Hasna! Sekarang kamu harus meminta maaf pada semua orang. Lalu, berjanjilah untuk tidak mengulangi lagi.”
Hasna mengangguk paham. Dengan lemas, ia mendongakkan kepalanya, lalu berkata, “Saya ... saya ... saya meminta maaf atas ... atas kesalahan saya. Dan saya berjanji, tidak akan mengulangi hal yang ... hal yang sama lagi.”
Byurr ....
Tepat setelah Hasna merampungkan kalimatnya, Mbak Firda mengguyur tubuh Hasna dengan air dari ember hitam. Ini bukan berarti mempermalukan sang pelaku di depan semua orang, tetapi untuk memberikan pelajaran agar jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.
“Mbak Ajeng, tolong berikan ponsel itu pada Hasna agar segera dimusnahkan.” Suara Mbak Firda yang dingin dan datar menggelegar di tengah-tengah keheningan. Hanya terdengar isakan tangis dari Hasna, dan bisik-bisik dari mulut para santri.
Dengan kedua mata yang jelas dan normal, Ayra melihat Mbak Ajeng tengah memegang ponsel di tangannya sembari diacungkan ke atas. Wajah ayu itu tampak datar dan tak ada kesan ramah sedikit pun. Bahkan, mata yang seperti bulan sabit kala tersenyum pun entah hilang ke mana. Lain dengan Mbak Ajeng yang setiap hari Ayra lihat. Bulu kuduknya mendadak merinding.
Orang selemah lembut dan sebaik Mbak Ajeng, terkesan menyeramkan saat marah seperti ini. Bahkan, lebih menakutkan daripada Mbak Nana yang disegani oleh santri yang lain.
“Mbak Ajeng mirip macan betina yang terusik,” bisik Ayra di telinga Hana yang tertutupi hijab warna abu-abu motif bunga.
“Emang gitu. Kalau lagi marah, nakutin banget. Mbak Hasna udah bangunin singa betina dari kamar kita,” balas Hana yang diakhiri dengan tawa kecilnya.
Brakkk!!!
Ponsel yang tadi berada di tangan Mbak Ajeng, sudah hancur dalam satu kali lemparan. Semua orang tampak kaget. Bukan karena ponselnya yang jatuh, tapi karena seseorang yang sudah merebut secara paksa dan melemparnya dengan kasar.
“Gus Arfan,” ujar semua santri yang menyaksikannya dengan serempak.
“Semua pengurus masuk ke kantor pusat. Termasuk dengan pelakunya. Sekarang!” Ada penekan di akhir kalimat gus muda Ar-Risalah. Setelah itu, pria dengan kaus putih lengan pendek itu berlenggang pergi setelah meninggalkan keheningan di sana.
***
Ini asli, lho. Ketahuan bawa hp ke pesantren langsung di hukum kayak gitu. Tapi intinya, hukuman itu supaya kita taat sama aturan. Kita kapok, jadi penurut. Ada yang bilang, peraturan itu ada untuk dilanggar. Salah banget. Harusnya, peraturan itu bikin kita jadi terarah, juga tertib. 😃😃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top