03-Pertemuan
Ajeng menghela napas berat setelah berulang kali mengguncangkan tubuh Ayra agar bangun, tapi hasilnya nihil. Ah, jika dia diberi pilihan antara menghafal alfiyah dan membangunkan gadis Bandung itu, Ajeng lebih memilih kitab karangan Ibnu Malik yang berisikan seribu bait nadzoman.
“Ay ... Ayra ... ayo, bangun! Salat tahajud dulu. Cepat bangun, Ayra!” Embusan napasnya terdengar kesal. Keringat sudah bercucuran di bagian kening sejak tadi. Hampir setengah jam Ajeng mencoba membangunkan gadis pemalas ini, dan Ayra hanya menggeliat pelan sambil bergumam tidak jelas.
“Ini dia, Mbak.” Hana datang dengan membawa gayung yang berisikan air. Dikelitik, digoyang-goyang tetap tidak bangun, tersisa satu cara yaitu dengan mencipratkan air ke wajahnya.
“Ayra, bangun!” titah Mbak Ajeng kesal sembari mencipratkan air dari gayung yang tadi Hana bawa.
“Hujan! Hujan! Hujan!” teriak Ayra. Ia segera bangun dan terduduk setelah merasakan air yang menerpa kulitnya.
Ayra menatap Ajeng dan Hana kesal. Tidur cantiknya harus terganggu karena mereka. Padahal, ia tengah bermimpi bertemu dengan Haikal. Semuanya hancur karena tiba-tiba saja ada hujan yang mengguyur. Setelah itu, terlihatlah wajah Ajeng dan Hana yang tengah tertawa dengan puas.
“Ada apa, sih, Mbak?” ujar Ayra sembari menguap. Tangannya mengucek-ngucek mata yang masih ingin terpejam.
Ajeng menarik napas sesaat. “Ayo, kita salat tahajud. Mumpung belum azan subuh.” Tangannya terulur untuk menarik Ayra yang hendak merebahkan tubuhnya lagi.
“Iya, iya.” Dengan malas, Ayra bangkit lalu mengikuti ke mana arah perginya Ajeng dan Hana. Sesekali ia menabrak apa yang ada di depannya. Entah itu pintu atau tiang-tiang bangunan karena matanya yang setengah terpejam.
“Ah, aku masih ngantuk,” gerutu Ayra kesal sambil mengusap-ngusap bagian kening yang terkena benturan.
“Ngantri.” Ayra bersender ke tiang bercat orange yang ada di depan kamar mandi. Cukup penuh dan membuatnya harus mengantri beberapa saat. Tak asing kan, jika seorang santri harus mengantri seperti ini? Bukan hal tabu lagi di Indonesia.
“Santri baru, ya, Mbak?” tanya seseorang yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Ayra tersenyum kecut, lalu masuk ke dalam tanpa menjawab.
“Aku tidak tahan di sini!”
Byurrr!!!
Terasa dingin dan menyejukkan saat air wudu menyentuh wajah Ayra. Serasa seperti air es yang dicairkan dari kutub utara setelah itu dibawa ke mari.
Seusai berwudu, Ayra segera mengambil mukena yang ada di kamar. Saat kaki kanannya masuk ke dalam musala, terdengar bacaan ayat suci Al-Quran yang membuat dada Ayra bergetar dan sesak. Ada seberkas kenyamanan ketika ayat demi ayat dilantunkan.
“Astaghfirullah,” katanya pelan. Sebulir air mata menetes tanpa orang lain ketahui. Ia menatap Al-Quran bersampul merah muda lalu menciumnya sejenak. “Aku sudah lalai, Ya Allah.” Bibirnya bergetar saat bergumam lirih.
“Masuklah!” titah Ajeng yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Ayra, menepuk bahu gadis itu dengan lembut.
“Hatimu akan damai jika terus istiqamah melakukan perintah Allah.”
***
Semua santri tampak berkumpul di mading yang ada di pinggir musala. Mereka tengah melihat pembagian beres-beres rutinan setiap hari jumat atau biasa disebut ro'an. Ada yang membersihkan kamar mandi, halaman belakang asrama, membersihkan di dalam asrama dan yang paling ditunggu adalah bagian beres-beres rumah Abi sama Umi. Kenapa ditunggu? Karena ....
“Yah, aku di kamar mandi.”
“Kamu, sih, mending. Aku di halaman belakang. Bersihkan selokan yang ....” Tubuh gadis berbadan tambun bergidik saat membayangkan kotoran-kotoran dan sampah yang ada di selokan.
“Lalala ... yeyeye ... aku beres-beres di ndalem. Ah, semoga saja bisa melihat Gusnya.”
Beberapa santri ada yang mengeluh karena tugasnya yang berat ada juga yang senang karena bisa mencuri-curi kesempatan bisa melihat gus yang terkenal tampan dan ramah. Putra sulung dari Abi. Itu alasan kenapa ndalem selalu ditunggu santri untuk giliran ro'an di sana.
“Memangnya, Gus Arfan sudah pulang? Setahuku, dia masih di Turki,” sahut gadis kerudung hijau.
“Ah, kamu ketinggalan berita. Gus Arfan itu sudah pulang tadi malam,” timpal santri yang lain.
Dengan santainya, Ayra berjalan menghampiri kerumunan santri sembari menenteng gayung yang berisikan peralatan mandi seperti sabun, sikat gigi, shampo, dan lainnya. Ia menggaruk kepala bagian belakang dengan pelan, tak mengerti dengan jadwal yang terpangpang atau pun pembicaraan mereka.
“Kamu santri baru itu, kan? Biar aku jelaskan. Ini jadwal beres-beres mingguan atau ro'an. Setiap minggu bergilir. Cari saja namamu,” terang gadis yang berkerudung hijau tadi.
Ayra mengangguk paham. Matanya mulai mencari naman Ayra, berharap belum terdaftar. Terhitung satu hari genap di pesantren pun belum. “Ah, sial!” desahnya pelan.
“Yang kebagian di ndalem, ke mari! Kita akan bagi-bagi tugas!” teriak seorang santri senior yang mengenakan baju coklat. Entah siapa namanya, yang jelas Ayra hanya mengenal Hana di antara kerumunan itu.
“Kalian berempat nyapu halaman depan, kalian berdua nyapu dan kalian berempat termasuk murid baru itu ngepel. Sisanya nyetrika baju. Paham?”
Semuanya mengangguk pelan. Setelah itu, membubarkan diri agar segera memulai pekejaan. Ayra yang tak biasa memegang lap pel pun, hanya mendesah pelan dan pasrah. Ia tak membayangkan akan seperti ini kejadiannya. Ia pikir, tak ada acara bersih-bersih seperti ini.
“Kebetulan kita bareng. Ayo, pergi!” ajak Hana sembari tangan kanannya menenteng lap pel yang baru ia cuci, dan tangan yang lain mengapit lengan Ayra yang terkulai bebas.
***
Bibir Ayra terus komat-kamit kesal karena mendapatkan jatah ruang tamu yang luas. Bagi Ayra yang baru pertama kali memegang lap pel seumur hidupnya, ini merupakan hal sulit. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Dari pojok kanan dulu, atau kiri? Atau ... kamar yang ada di ujung ruangan?
“Ah, pojok kanan aja. Terakhir, di kamar itu,” ucapnya pasti.
Baru saja ia mulai, keringatnya sudah bercucuran di kening. Ayra sama sekali tidak pernah bekerja berat seperti ini. Anak manja sepertinya, mana mau mengerjakan yang menurutnya pantas dikerjakan pembantu.
“Aku ini bukan pembantu,” rutuk Ayra kesal. Tangannya terus mengepel lantai demi lantai. Ia ingin segera menyelesaikan tugasnya setelah itu pergi ke kamar.
Sebelum masuk ke ndalem, Ayra sempat bertanya pada Hana kenapa harus bersih-bersih di rumah Umi.
"Ini disebutnya pengabdian. Mencari ilmu dengan mengaji sungguh-sungguh, nah, menebus kebarokahan ilmu dengan mengabdi. Entah itu pengabdian ke pesantren atau mu'alim, pengajar di sini. Ya, ngalap barokah gitu."
Tangan Ayra terus menggosokkan lap pel ke lantai. Sesekali ia bergumam sabar, sembari bersenandung tidak jelas.
“Hahaha. Aku pikir, kamu nggak akan sanggup melakukannya,” ejek Hana.
“Diam kamu!” bengis Ayra. Matanya melotot ke arah Hana tajam. Lap pel yang ada di tangannya pun hampir saja melayang jika Mbak Ajeng tidak datang untuk mengecek.
“Jangan ngobrol terus. Kapan selesainya?”
Ayra dan Hana menyeringai bersamaan. Keduanya lalu kembali ke porsi pekerjaan masing-masing. Hana mendapat jatah ruang tengah dan satu kamar. Tak seluas dengan bagian Ayra.
“Ah, tinggal kamar itu. Lalu, selesai sudah pekerjaan ini.” Disekanya keringat yang sejak tadi bercucuran dengan bebas.
Ayra melangkahkan tungkainya, semakin dekat ke pintu kamar berwarna coklat yang ada di ujung ruangan. Knop pintu pun bergerak sebelum Ayra memegangnya. Tak lama kemudian, pintu berwarna coklat pun terbuka. Sosok pria pun tengah berdiri sembari membenarkan posisi kacamatanya.
Tanpa sengaja, mata mereka saling bertemu di satu titik. Bibir si pria menyunggingkan sebuah senyuman. Ada desiran halus yang terasa di hati pria bermata coklat itu.
“Ayra!” panggil Hana lirih. Tak ada jawaban apa pun. Hana buru-buru menghampiri Ayra. “Maaf, Gus. Dia masih santri baru di sini,” ujar Hana sambil menundukkan kepalanya.
Baik Ayra atau pria yang dipanggil Hana dengan sebutan ‘Gus’ itu pun belum menunjukkan respon apa pun. “Ayra,” panggil Hana keduanya kali. Barulah ia menengok ke arah Hana.
“Ada apa?”
Hana hanya menarik Ayra pergi setelah berulang kali meminta maaf pada pria yang ia panggil ‘Gus’. Sedangkan Ayra kebingungan tidak mengerti. “Hana, ada apa?”
"Dia santri baru itu?" Seseorang dengan balutan mukena putih tiba-tiba bertanya dan menghalangi langkah Ayra dan Hana.
"Iya, Ning," jawab Hana.
"Ah, kenalin. Namaku Qabilla Nurul Hanan anak Umi sama Abi yang paling cantik. Kamu cukup panggil Ning Bila aja." Tangannya terulur dan langsung disambut oleh Ayra.
"Ayra," balas Ayra.
"Bil," panggil pria tadi yang kini sudah duduk di kursi ruang tamu.
"Iya, Mas. Bila ke sana."
Wanita yang kerap di panggil Ning itu menoleh lagi ke arah Ayra dan Hana. "Nanti aku main ke kamarmu, ya. Ngobrol-ngobrol."
Ayra hendak mengangguk, tapi Bila langsung pergi menuju kakaknya yang sudah menunggu.
“Ini salahku. Seharusnya ngasih tahu dulu. Tidak ada santriwati yang boleh masuk ke dalam kamar Gus Arfan. Satu hal lagi. Jika kamu ketemu sama dia, tundukkan kepalamu. Mengerti?” Hana melanjutkan pembicaraan mereka yang terpotong setelah menggiring Ayra keluar dari ndalem.
“Ah, jadi pria tadi itu Gus Arfan.” Kepala Ayra mengangguk-ngangguk sembari membayangkan wajah Gus Arfan. Setiap detil wajahnya ia perhatikan. Sempurna menurut Ayra. Allah menciptakan orang itu sesempurna mungkin. Hingga, kaum hawa pun akan jatuh cinta dalam satu kali pandangan.
“Hey, kamu ngerti nggak?” ulang Hana lagi.
“Iya, iya. Aku ngerti, kok,” balas Ayra santai. Ia berlenggang pergi meninggalkan Hana yang berdiri di ambang pintu dapur. Tugasnya sudah selesai. Sesekali ia tersenyum membayangkan kejadian tadi yang menurut Ayra sangat indah. Pipi sang gadis langsung terasa panas membayangkan bagaimana kelanjutan pertemuan tadi jika si perusak Hana tidak datang dan mengacaukan.
“Tampan.” Satu kata yang Ayra gambarkan tentang pria itu. Pria yang akrab disapa santri-santri Ar-Risalah dengan panggilan ‘Gus Arfan’.
***
"Yuhuuuu! Mbak Ajeng, Bila bawa singkong goreng, nih."
Ning Bila. Gadis bungsu putri Kiai Falah ini langsung duduk di samping Ayra, sembari memakan singkong goreng yang masih panas.
"Ya allah, Ning. Kecilin suaranya, Mbak Ajeng lagi duha dulu," tegur Hana, mengambil satu potong singkong goreng.
"Mbak ustazah, maafin Bila," ucap Bila lagi. Matanya mengobservasi suasana kamar yang masih tampak sama seperti minggu lalu, saat ia terakhir ke mari.
"Wahhhhh ...." Matanya menatap takjub ke arah lemari Ayra. Bukan ke benda persegi warna coklat, tapi tepatnya poster sembilan orang pria tampan, boy grup jebolan agensi ternama di Korea.
"Kamu suka Korea, Ay? Kpopers?"
Anggukan kepala Ayra sebagai jawaban. Ia ikut memasukkan sepotong singkong goreng ke dalam mulutnya. "Kenapa, Ning? Biasa aja kali ekspresinya." Tangan kiri Ayra refleks mengusap wajah Bila kasar, membuat sang pemiliknya mendelik tajam.
"Ay, dia ini Ning kita, lho. Sopan dikit," tegur Hana.
"Nih, ya, Hana. Ning juga seorang manusia, dia juga pasti pengen punya teman yang tidak mendewakan atau menyanjung karena derajatnya. Ya, simpelnya pengen punya temen yang emang apa adanya, tanpa memandang status. Nah, kalo aku, ya, nggak suka membedakan status. Meskipun tetap ada batasan. Dengan aku kayak barusan, nggak ada kata canggung. Masa, sama temen harus canggung. Temen itu susah senang bareng, gila bareng, ketawa sedih bareng," terang Ayra, ia beranjak dari duduknya mengambil buku tebal berasampul merah di atas ranjangnya.
"Tuh, dengerin, Hana. Jangan cuma muka mulut terus bengong kaya gitu," timpal Bila membuat gadis asal Semarang itu refleks menutup mulut, dan mendelik tajam.
"Balik ke topik pembicaraan. Aku ndak nyangka, loh, bisa punya temen sealiran. Kalo ngomong tentang Korea bisa nyambung, nggak kayak kamu, Han. Malah melengos kalo aku bahas Korea."
"Yeeee, aku itu ngefans sama Rasulullah aja, bukan sama orang-orang yang sering joget di panggung itu."
Ayra terduduk sembari bersandar di tepian ranjang, memerhatikan obrolan Hana dan Bila. Sesekali mulutnya bergumam, melafalkan tulisan yang ia baca di buku sampul merah.
"Sudah ... sudah. Malah debat ndak jelas. Lebih baik ...." Mbak Ajeng yang masih mengenakan mukena warna putih melahap satu potong singkong goreng. "Ning ngafalin Alfiyahnya, kamu juga Hana. Berapa hari ndak setoran Al-Quran ke Umi? Tadi nanyain kamu."
Keduanya tersenyum lebar sembari beradu pandang.
"Ahhhhhhh ... susah banget, sih, ngafalinnya. Mending ngerjain soal matematika sama fisika, deh, kalo kayak gini," ucap Ayra dengan nada frustrasi. Buku yang ia pegang, ditutup secara paksa.
"Ay, tahu nggak penyebab kamu susah hafal?" tanya Ajeng, duduk di antara gadis yang usianya lebih muda.
"Seperti kisah Imam Syafi'i sewaktu menjadi santri. Di dalam kitab Al-Bajuri karangan Syekh Ibrahim Al-Bajuri, waktu itu beliau sama seperti kamu sekarang ini, hafal yang ini, yang tadi lupa. Sampai suatu saat Imam Syafi'i bertanya pada Syekh Waqi sebagai gurunya tentang masalah yang beliau alami."
Ayra, Hana, dan Bila duduk diam sambil menyimak. "Terus?" tanya Bila penasaran.
"Syekh Waqi meminta Imam Syafi'i untuk meninggalkan maksiat. Karena, ilmu itu bagaikan cahaya dan cahaya Allah tidak akan turun pada orang yang berbuat maksiat. Memang, manusia tidak ada sempurna bersih dari hal berbau maksiat atau dosa. Setidaknya kita berusaha untuk tidak berbuat dosa, maksiat. Mulai dari diri sendiri, benahi dari hal-hal yang kotor."
Ayra tercenung, memikirkan apa yang baru ia tangkap dari penjelasan Mbak kamarnya, Ajeng. Kalau ditanya perihal ikhlas tidaknya hidup di pesantren, jujur Ayra belum sepenuhnya ikhlas. Gadis itu sudah mengambil keputusan, tetap bertahan di sini dan membuat orang tuanya bahagia. Melewati semua hal baru di pesantren. Termasuk suka duka menghafal.
"Eh, Mbak. Masa aku lihat Mas Arfan ketawa-ketawa sendiri. Terakhir kaya gitu pas ...." Bila mengalihkan pembicaraan ke hal lain, melirik Ajeng sekilas lalu menutup mulut rapat-rapat. Ia terlampau senang melihat kakak satu-satunya tersenyum lebar seperti tadi. Tadi? Iya, setelah muroja’ah hafalan, sebelum Bila berkumpul di kamar Ayra, gadis itu sempat melihat kakaknya di ruang tamu senyum sendiri seperti orang gila.
Ayra yang tidak tahu apa-apa dan menunggu kelanjutan ucapan Bila, ikut menatap Ajeng yang tengah merapikan alat salatnya.
"Ning, udahlah. Itu kan perasaan Gus Arfan dua tahun lalu, dan mungkin sekarang sudah hilang. Lagian, Ning juga pasti tahu peraturan di sini. Ning atau ...."
"Ning atau Gus tidak diperbolehkan menikah dengan santrinya. Mbak mau ngomong gitu, kan? Aku bosen, lho, dengernya. Seolah aku ndak punya kebebasan sama sekali. Egois banget Umi sama Abi," sela Bila bersungut-sungut.
"Emangnya kenapa nggak boleh?" tanya Ayra.
"Jadi gini, lho. Abi sama Umi mau anaknya nikah sama Gus atau Ning dari pesantren lain. Itu berlaku buat Mbak Ayu sama Mbak Halla."
"Siapa mereka?"
"Itu anak Bu Lek yang rumahnya di depan asrama satu putri."
"Tapi menurutku, bisa aja jodoh kalian ini santri di sini juga. Toh, kita nggak ada yang tahu, dan masih jadi rahasia Allah. Kalau aku jadi kamu, Bil, pasti sudah protes dengan peraturan nggak logis itu." Argumen Ayra hanya dibalas dengan mengedikkan bahu oleh Bila.
"Sudah, jangan diteruskan. Ujungnya nanti ghibah, ndak baik," ucap Ajeng, berlalu meninggalkan mereka.
"Ah, andai Mbak Ajeng jadi Mbakku. Pasti mereka jadi pasangan paling cocok."
"Maksud kamu? Mbak Ajeng sama Kakakmu pernah pacaran gitu?"
Hana yang sedari tadi diam, refleks menepuk kening Ayra yang lebar. "Bukan pacaran, cuma Gus Arfan pernah suka sama Mbak Ajeng."
"Masku ndak mau pacaran sebelum nikah, banyak mudorot dari pada manfaat. Katanya mau langsung nikah aja, lebih indah pacaran sesudah halal," timpal Bila.
Kepala Ayra mengangguk paham, ia sendiri sekarang tiba-tiba merasa aneh. Dadanya mendadak terasa seperti ada yang menghantam dengan keras. Apa aku cemburu? Tidak mungkin, batin Ayra.
***
Update sebelum buka puasa, biar dibaca seudah buka puasa. 😆😉
Buat kalian, selamat menjalankan ibadah semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top