01-Keputusan Ayah
Kepala seorang Ayra Shirly Alnaira menunduk dalam. Ia yang biasanya berwajah ceria, senyum lebar menampilkan deretan putih dan dua gigi kelinci di depan, tapi kali ini masam, cemberut. Bahkan, langkah kakinya berjalan lemas mengekori Tuan Mahendra-Ayah Ayra- sampai merebahkan diri di sofa ruang tamu.
Ia mendesah kasar, menatap langit-langit yang berwarna putih. Tak berani menatap wajah ayahnya yang serius. Sepersekian detik, foto keluarga dengan ukuran besar menarik perhatiannya kali ini. Ada Nyonya Mahendra, Tuan Mahendra, Ayra, dan anak sulung keluarga Mahendra, Salman Khairul Azmi. Gadis itu merindukan sosok kakaknya yang selalu berada di pihaknya jika ada situasi seperti ini.
“Oh, kalian udah pulang.” Suara Nyonya Mahendra membuyarkan tatapan Ayra dan beralih padanya. Ia sengaja memasang wajah memohon pada mamanya.
Seakan mengerti situasi antara bapak dan anak, Nyonya Mahendra membuka suara lagi.
“Yah, Mama bawain jus alpukat kesukaan kalian. Diminum dulu, biar seger. Di luar panas, kan?”
Dua gelas yang terisi penuh dengan jus alpukat ia letakkan di depan suaminya dan Ayra.
“Sekolah Ayra sudah selesai, dari mulai ijazah dan segalanya, semua sudah beres. Jadi, Ayah mau kirim kamu ke Mranggen.”
Badan Ayra langsung tegap menghadap ayahnya dengan tatapan kaget, terkejut bukan main. Ia ingin protes saat itu juga, tetapi diurungkan begitu melihat sang mama memberi interupsi agar dirinya tetap diam. “Ngapain, Yah? Jauh banget,” timpal Nyonya Mahendra dengan kening mengkerut.
“Anak teman Ayah ada yang pernah mondok di sana. Jadi, Ayah juga mau Ayra mondok di sana.”
Kalau diilustrikan, begitu mendengar ucapan Tuan Mahendra seperti ada batu yang menghantam ke dalam hati Ayra. Ia berpikir, begitu fatalkah kesalahannya sampai dia harus jauh dari keluarga, dan tinggal di tempat yang menurut Ayra sangat kuno? Iya, kuno. Dengan pakaian yang panjang selutut, kerudung besar, mengenakan sarung bermotif, setiap hari hanya duduk mendengarkan ceramah.
“Yah, Mranggen, Demak itu jauh dari Bandung. Masa anak kita yang bungsu mau dijauhkan juga? Nggak cukup Salman yang di England, Ayra jangan ke mana-mana.”
Kepala Tuan Mahendra menatap istrinya dengan tajam. “Ini sebabnya Ayra seperti ini. Mama terlalu memanjakan dia, menuruti semua permintaan dia. Mau sampai kapan Ayra seperti ini? Usianya sudah sembilan belas tahun, dan dia harus mandiri. Asal Mama tahu, Ayah malu sekali di depan Bu Rika. Hanya karena prestasi Ayra selama tiga tahun di sekolah, Bu Rika menganggap semua tingkah Ayra biasa, Ma!”
“Ya, nggak sampai harus kirim Ayra ke pesantren juga, Yah. Kuliah dia bagaimana?”
Tuan Mahendra mengembuskan napasnya kasar, lalu mengambil oksigen serakus mungkin. Atmosfer ruang tamu bernuansakan hijau terasa menyesakkan dada.
“Kuliah kapan aja juga bisa dan Ayah ingin mendidik Ayra jadi wanita baik, bisa agama, mandiri, juga dewasa. Coba kalau kita biarkan terus menerus seperti ini, bagaimana ke depannya? Dan lagi, satu hal yang Mama mungkin lupa. Ayah ini imam keluarga ini, dan apa pun yang kalian lakukan, pasti Ayah yang tanggung jawab di akhirat. Mama mau Ayra jadi bumerang buat kita sendiri selaku orang tuanya? Semoga aja, dengan mengirim Ayra ke sana, belajar agama di sana, dan putri bungsu kita ini bisa jadi wanita solihah, surga yang Allah berikan untuk kita. Anak itu titipan, dan kita harus jaga dengan baik. Paham?”
Gadis yang menjadi bahan pembicaraan hanya bisa menunduk dalam. Lehernya hampir terasa patah kalau suara Tuan Mahendra tidak menginterupsi Ayra untuk menegakkan kepala.
“Dan satu hal lagi. Kalau kelakuan kamu masih sama seperti di sekolah, sampe berani ngerjain orang di sana, Ayah nggak segan-segan buat narik semua fasilitias kamu. Apalagi mencoba kabur, bisa aja Ayah hapus nama kamu dari daftar keluarga.”
“Ma, udahlah. Sekeras apa pun penolakan aku atau pun Mama, keputusan Ayah nggak akan berubah. Ayra juga sadar, kelakuan aku selama ini memang jauh dari kesan dewasa. Dan Ayra yakin, keputusan Ayah memang yang terbaik buat Ay,” tutur Ayra pasrah.
Ia menghela napas panjang. Tak ada gunanya lagi untuk membantah keputusan mutlak ayahnya. Itu hanya akan memperburuk, bisa-bisa sebelum ke pesantren dirinya sudah ditendang dari keluarga. Ancaman Tuan Mahendra selama ini tidak pernah main-main, hanya anak bungsunya saja yang selalu main-main.
Jeda beberapa saat. Dihirupnya napas sedalam mungkin, menghilangkan rasa dada yang sedari tadi begitu sesak, menahan butiran air mata agar tidak keluar. “Mafin Ayra, Yah. Ayra selalu nyusahin kalian berdua,” lirihnya.
Tubuh Nyonya Mahendra beringsut mendekati Ayra, memeluk putrinya sehangat mungkin. Membiarkan gadis itu menangis. Punggungnya ia usap dengan halus, sembari membisikkan di telinga Ayra, “Mama nggak suka kamu nangis, cengeng. Ayra itu anak Mama yang cerewet.”
“Sudah, jangan adegan sedih terus. Kalian siap-siap saja, hari ini kita belanja kebutuhan bulanan rumah dan kebutuhan Ayra masuk pesantren,” ujar Tuan Mahendra. Ia langsung beranjak dari duduk, menuju kamar tidurnya.
***
Sebulan pasca ujian nasional SLTA selesai, Ayra kembali menginjakkan kakinya di halaman gedung bercat putih. Jika bukan karena guru fisika yang mengundang seluruh siswa kelas 12 jurusan IPA untuk kumpul, mungkin saat ini Ayra masih meringkuk di tempat tidur. Apalagi, tadi malam habis marathon drama Korea.
Suasana masih sama. Melewati gerbang ada Pak Tito yang selalu menyapa dengan ramah, parkiran yang penuh dengan kendaraan motor, mobil dan sepeda, gerbang kedua yang diiisi guru piket, suara riuh dari tiap-tiap kelas karena pas sekali jam istirahat.
“Heh, bengong aja. Kenapa?” tanya Nadin-teman sebangku Ayra sejak kelas satu SMA-secara tiba-tiba.
Ayra terlonjak kaget, mata hazelnya hampir keluar. Sedangkan Nadin? Gadis berkulit sawo matang itu hanya tersenyum bodoh. "Pagi-pagi udah bengong aja, sih, Neng."
Ayra hanya memberi isyarat dengan dagunya.
Nadin pun mengikuti arah pandangan Ayra, dan itu tepat pada pria yang tengah duduk di bangku, di bawah pohon beringin. Kebetulan, bangunan sekolah ini berbentuk ‘U’ dan di tengah-tengahnya ada pohon beringin yang sejuk, ditambah dengan bangku untuk bersantai. Biasanya, siswa di sini duduk santai sembari menikmati angin sejuk dengan buku untuk mengobati kejenuhan.
“Ay, ini udah tiga tahun kamu ngejar ....”
Wanita kuning langsat dengan balutan jeans dan tunik warna peach berlalu meninggalkan Nadin yang belum merampungkan kata-katanya, berjalan mendekati pria itu. Jantungnya seperti biasa, berdebar tidak karuan. “Hai,” sapa Ayra. Wajahnya ia buat seimut mungkin.
“Ah ... hai, juga,” jawab pria itu kikuk.
“Lama, ya, kita nggak ketemu. Kabar kamu gimana?”
“Aku baik,” jawab pria itu singkat. Matanya fokus kembali ke buku bersampul biru yang tengah ia baca sebelum Ayra datang.
“Mau kuliah di mana jadinya?” tanya Ayra. Ia mendudukan diri di samping Haikal.
“Masih belum tahu. Ay, duluan, ya. Firman nyariin aku kayaknya. Sampai nanti.”
Pria itu, Haikal, pergi meninggalkan Ayra terduduk di bangku dengan wajah mendung. Sikapnya yang belum berubah sampai sekarang, membuat Ayra sangat lelah. Ia tahu situasi, berusaha menahan panasnya mata yang ingin mengeluarkan butiran kristal.
Tiga tahun yang lalu, di tempat ini juga pertama kali Ayra bertemu Haikal dan jatuh cinta. Itu bukan waktu yang sebentar dan butuh perjuangan untuk bersabar menunggu Haikal. Banyak hal yang gadis itu korbankan, terutama perasaan. Bayangkan saja, ia mengejar Haikal dan pria itu selalu dingin. Ia selalu menganggap bahwa pria itu miliknya, tetapi Haikal tetap dingin.
“Ay, stop buat ngejar itu es batu. Mending sekarang, kita ke aula dulu aja buat dengerin ceramah." Tanpa permisi, Nadin langsung menarik paksa lengan Ayra, dan membuat gadis itu limbung.
Begitu sampai di aula-bangunan serba guna yang terletak di pojok sekolah -semua orang tampak sibuk masing-masing. Kedatangan Nadin dan Ayra pun mungkin hanya segelintar orang yang tahu.
“Bawa minyak aroma terapi atau balsem?” tanya Ayra dan Nadin hanya mengangguk sembari menyerahkan benda panjang, bulat yang sedari ia genggam pada Ayra.
“Buat?”
Ayra, gadis itu hanya menyeringai sambil berjalan menjauhi Nadin, mendekati kursi di depan yang nantinya menjadi pusat perhatian semua orang. “Ay,” panggil Nadin sambil menggelangkan kepala pelan dan berkacak pinggang.
Panggilan Nadin, dia abaikan. Penutup benda tadi dia buka, lalu mengoleskan secara merata di atas kursi sambil menahan tawa. Setelah selesai, Ayra kembali ke samping Nadin dan mengajaknya duduk di jajaran paling depan. “Kita lihat pertunjukan,” bisik Ayra.
“Maaf telat.” Suara bariton menggema, mengalihkan perhatian semua orang.
“Baiklah.” Pria botak dengan kisaran umur 40-an itu duduk, menyimpan beberapa map merah yang ia bawa ke atas meja.
Hidungnya mengendus-ngendus ke kanan dan ke kiri. “Kok, bau aroma terapi, ya?”
Semua orang hanya saling beradu pandang, terkecuali Ayra, Nadin dan beberapa orang yang menyaksikan aksi Ayra tadi. Mereka menahan tawa dengan telapak tangan.
“Kok?” Guru fisika itu langsung berlari meninggalkan aula terbirit-birit sembari memegangi bokongnya yang terasa panas.
Gelak tawa langsung menggelegar melihat bagaimana ekspresi guru fisika itu. “Ay, diapain?”tanya Sandi, teman sekelas Ayra.
“Parah! Dia olesin aroma terapi punyaku ke kursi sampai habis," jawab Nadin yang langsung disambut gelak tawa lagi. Kebetulan, teman sekelas Ayra mengumpul dan mereka langsung yakin kalau Ayra berulah lagi.
“Kegilaan dia makin akut, sumpah!” sambung Dian sambil geleng-geleng kepala.
“Ayra Shirly Alnaira, ikut Ibu.” Tiba-tiba saja, Bu Rika yang entah kapan datangnya langsung mengajak pergi Ayra dengan wajah tidak bersahabat. Gadis itu pergi, mengekori wanita bertubuh tinggi dengan balutan seragam coklat. Langkahnya santai, seolah tak ada rasa takut menghadapi guru BK itu.
Pintu berwarna coklat terbuka lebar. Tanpa harus diperintah lagi, Ayra langsung duduk di kursi, tepat di depan Ibu Rika. Ini bukan pertama kali, dan tidak terhitung lagi berapa kali Ayra keluar masuk BK.
“Iya, Bu, saya yang lakuin itu. Terakhir, kok. Setelah itu kan, saya pensiun jadi siswa.” Ayra tersenyum lebar, menampilkan dua gigi kelincinya di depan.
Bu Rika menghela napas berat sembari memijit pelipisnya yang mendadak terasa sakit. “Sudah berbagai hukuman Ibu kasih ke kamu, tapi tetep nggak ada efek jera. Mau nggak mau, Ibu pakai cara terakhir. Kalau sampai ada kegaduhan yang kamu perbuat, ijazah kamu Ibu tahan. Mengerti?”
Ayra mengangguk paham. “Sudah kan, Bu? Saya mau ke aula lagi kalau begitu.”
Gadis berjilbab merah itu berlalu meninggalkan Bu Rika sendiri. Sebentar. Ayra berhijab? Ya, dia memang berjilbab. Karena peraturan di sekolah, mewajibkan siswinya yang beragama muslim untuk mamakai jilbab. Dan lagi, Ayahnya, Tuan Mahendra, selalu mewajibkan pada Ayra atau pun Sarah mengenakan jilbab, ke mana pun. Terkecuali di rumah. Ya, katakanlah kalau Ayah Ayra disiplin dalam syariat agama.
***
Assalamualaikum? Halo readers, ❤️
Aku mau bilang, kalau Ayra dipublish lagi dari awal dan tentunya beda dengan yang kemarin. Sedikit, sih. Tapi insyaallah lebih banyak manfaat dari yang aku tulis. So, jangan lupa buat baca ulang. Pasti menarik.
Yang belum vote, ditunggu, ya.
Dan satu lagi, aku sebagai Author dari Ayra mau minta tolong, dong. Komen di sini gimana kesan-kesannya seudah baca Ayra sampe part 18? Hayo, gimana. Ditunggu, ya. Jangan lupa baca Ayra yang dikemas lebih fresh dan menarik tentunya.
Author Ayra ❤️😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top