5
“Syarat?” Alisnya mengernyit kala mendengar kata syarat yang keluar dari mulut kakak dari sahabatnya itu. Ia memang materialistis tapi jika untuk mendapatkan uang dengan syarat yang neko-neko, dirinya harus berpikir seribu kali lipat.
“Iya. Kamu harus mau menjadi tunangan saya, meskipun hanya pura-pura, bagaimana?”
Serasa mendapat durian runtuh, mulut Bongbong menganga lebar. Kakak sahabatnya memang ganteng, tajir, tidak mungkin jika tidak memiliki kekasih. Ia jadi berpikir bagaimana dirinya yang selalu tampil apa adanya, seperti gembel di lampu merah.
Bongbong melihat ke diri sendiri, matanya menelusuri dari atas hingga bawah kakinya, penampilannya standar seperti gadis pada umumnya yang suka memakai celana jin dan kaos oblong.
“Kenapa? Kamu nggak setuju? Apa bayarannya kurang? 5x lipat gimana?” Pertanyaan beruntun dari Jay membuat Bongbong hanya bisa berkedip, tanpa menjawab. “Hello....” Tangannya berdada di depan wajah Bongbong.
“Iya, saya setuju.” Spontan Bongbong menjawab ketika dirinya tersadar dari lamunan.
Mereka berada di taman, banyaknya tanaman membuat taman itu tampak asri dengan hijau-hijau dedaunan yang tumbuh serta warna bunga yang menghias di setiap tangkainya. Yang membuat Bongbong tertarik untuk melihatnya adalah bunga Anggrek yang tumbuh menempel di pohon mangga, tampak cantik.
“Bagus. Pinjam KTP kamu!” pinta Jay sambil menengadahkan tangan kanannya.
“Huh?” Pertanyaan yang membuat dirinya terlihat seperti orang bodoh terucap tanpa sengaja.
“Kenapa? Belum punya KTP? Belum cukup umur?”
“Udah, kok.” Bongbong mengambil KTPnya yang tersimpan aman di dalam dompet. “ini!”
Jay mengeluarkan ponselnya, memfoto kartu KTP Bongbong, lalu mengembalikannya. “Sewaktu-waktu saya butuh, akan dijemput oleh pengawal saya!” Jay langsung pergi tanpa mengucap kata pamit.
“Makasih,” teriak Bongbong yang berharap Jay akan mendengar.
Tidak lama, satu pengawal mendatangi Bongbong dan memberikan sejumlah uang yang membuat Bongbong tercengang, tanpa berkedip.
Hari ini Bongbong dibuat terkejut oleh Jay dengan banyak peristiwa yang tidak pernah ia duga. Dipikirkan pun tidak. Ia memang menginginkan suami kaya, yang tujuh turunan tidak akan habis. Tapi, tidak seperti ini juga. Yang akan menjadi tunangan pura-pura oleh kakak dari sahabatnya sendiri.
Lalu dengan datangnya pengawal, memberikan nominal dengan angka enam digit itu membuat Bongbong berkipas-kipas ria, penuh senyum saat melihat jumlah angkanya.
“Pak, ini buat gue semua? Dari siapa?” Masih menghitung jumlah uangnya, ia senang menerima uang yang cukup untuk mencicil biaya skripsi.
“Dari Pak Jay, Mbak.” Pengawal itu pergi begitu saja setelah memberikan uangnya.
“Mimpi apa gue semalem? Ketiban duren di siang bolong begini,” ucapnya pada diri sendiri.
Memasukkan uangnya ke dalam tas, Bongbong bersenandung, berjalan menyusuri taman lorong menuju gerbang istana mewah ini. Ia melihat ke sekeliling rumah ini, berandai jika dirinya adalah pemilik rumah ini. Namun, itu hanya khayalan semata.
Orang miskin seperti dirinya tidak cukup mampu untuk mempunyai rumah bak istana seperti rumah sahabatnya. Yang mempunyai panjang lorong dari gerbang menuju pintu rumah sekitar 1 kilometer, bangunan kokoh, juga furnitur rumahnya membuat bibir Bongbong selalu menganga. Guci yang terpajang di ruang tamu sangat besar, muat untuk satu orang bersembunyi kala ada penagih hutang datang. Juga kolam renang luas yang terlihat dari kamar Fey. Serta taman luas yang membuat Bongbong tidak berkedip.
Ia berangkat kerja dengan hati riang gembira, serta menyapa sekuriti yang menunggu dengan senyum yang mengembang.
“Sekali-kalilah naik taksi, biar dikira banyak uang,” ucapnya pada diri sendiri. Ia naik taksi menuju tempat kerjanya.
Perjalanan yang hanya membutuhkan waktu 15 menit saat menaiki taksi itu membuat Bongbong kaget, karena angka yang tertera di argo tujuh puluh ribu rupiah.
“Itu beneran, Pak, segitu saya harus bayar?”
“Iya, Mbak,” jawab sopir taksi dengan sopan.
“Tau gitu gue naik ojek aja tadi, lumayan ngirit lima puluh ribu. Mahal banget tujuh puluh ribu,” racau Bongbong. Ia masih tidak rela uangnya masuk ke kantong sopir taksi yang terlihat lebih mampu, dibandingkan tukang ojek yang rela kepanasan maupun kehujanan untuk mencari sesuap nasi.
“Kenapa tadi naik taksi kalo gitu,” balas sopir taksi. Bongbong hanya melirik, dan langsung menutup pintu taksi menuju toko roti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top