1

“Fey, buku pedoman skripsi gue ada di Elo, ‘kan?” tanya Bongbong yang sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Keduanya sedang berada di perpustakaan kampus.

“Ada, tapi di rumah. Besok aja gue bawa, gimana?” Fey menghampiri tempat duduk sahabatnya yang sudah hampir empat tahun menjadi sahabat dekatnya.

Ruang perpustakaan yang menjadi tempat favorit bagi Bongbong, kini hanya tinggal beberapa bulan lagi untuk merindukan momen-momen dirinya ketiduran di sini, atau tempat baca-baca novel ketika dosen absen mengajar.

Tata ruang yang membuat mahasiswanya betah berlama-lama di perpus, terutama bagi Bongbong adalah rindangnya pohon yang berada di depan perpustakaan, membuat perpustakaan seperti mempunyai daya tarik tersendiri untuk dikunjungi. Sejuk dan tenang, sorot sinar mentari tidak mengenai para pembaca yang duduk di bawahnya.

Tata letaknya, pemisahan antara buku materi, novel, atau buku pedoman juga disesuaikan dengan kegunaan dan fakultas dari bukunya.

‘Yaah ... mau gue pake entar sepulang kerja. Gue ambil aja, gimana? Biar bisa ngirit waktu buat ngerjain skripsi.” Kerlingan mata Bongbong membuat sang sahabat mencebikkan bibirnya. Menarik lengannya setelah melihat Bongbong selesai memasukkan buku-bukunya.

Mereka berada di ruang perpustakaan kampusnya, tempat favorit mereka berdua, karena di sinilah mereka menghabiskan waktu untuk maraton novel kesukaan atau untuk mengerjakan tugas dari dosen.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, Masih tersisa 2 jam menuju ke angka satu dan itu cukup untuk mengambil buku pedoman miliknya, lalu berangkat kerja karena satu arah ke tempat kerja dengan rumah Fey.

Mereka berjalan ke parkiran, di mana mobil Fey berada.  Luas bangunan kampusnya seperti lapangan golf, yang tertata apik dengan lima tiang penyangga saat memasuki kampus. Di belakangnya terdapat bangunan-bangunan yang sengaja dibangun mengeliling, di tengahnya terdapat lapangan basket dan voli yang menjadi satu, ada juga lapangan futsal dan tempat untuk berlatih taekwondo.

“Ntar, lo, berangkat kerja dari rumah gue malah deket, Bong!” seru Fey, sambil masuk ke dalam mobilnya.

“Iya, ‘kan, satu arah. Tapi, makasih banget, lho, berkat lo gue jadi bisa kerja part time seperti yang gue mau. Gue nggak tau lagi harus nyari kerja di mana. Lo tau sendiri, ‘kan, gimana keluarga gue.” Bongbong mengucapkan rasa terima kasihnya pada Fey, yang telah memberinya pekerjaan paruh waktu selepas kuliah. Ini adalah tahun ke dua semenjak ia lepas dari kerjaannya yang dulu, sebagai SPG.

Bongbong, si pemilik nama lengkap Bora Angelica adalah anak tak mampu yang masuk kuliah dengan jalur beasiswa karena kepintarannya. Kuliah di Universitas Swasta terbesar di Jakarta adalah impian anak kurang mampu seperti dirinya karena biaya yang mahal. Fasilitas yang sangat lengkap guna menunjang program pendidikan.

Dirinya selalu dipanggil Bongbong oleh orang yang sudah akrab dengannya. Tidak akan ada yang memanggilnya Bongbong kecuali orang tersebut adalah orang terdekat atau tetangganya.

“Iya, sans aja elah. Berapa kali lo bilang makasih ke gue?” Fey memasukkan mobilnya ke garasi. “Yuk, turun!”

Mereka turun dari mobil dan berjalan ke pintu utama dari rumah tersebut. Dalam perjalanan dari garasi menuju pintu utama, Bora terpeleset karena jalanan licin ada genangan air. Kakinya tergelecik, hingga tubuhnya terhuyung ke belakang. 

Seketika kakak kedua Fey yang berada di dekatnya langsung menangkap tubuh yang akan mendarat ke tanah dan berteriak secara spontan. “Awas!” Leyra menahan tubuh Bongbong yang hendak mencium tanah. Bukan tanah sebenarnya, tapi batu bata segi enam.

Jadi seperti di film-film saat adegan romantis, sang gadis menatap mata lelaki yang menolongnya dari musibah terjatuhnya tubuh itu ke tanah.

Bongbong terpesona melihat kegantengan kakak kedua Fey hingga tak berkedip. Izinkan diri ini memiliki jodoh seperti bintang film, Ya Tuhan, batinnya. Leyra memilliki potongan rambut mohawk dan berpawakan seperti bintang iklan L-Men. Banyak perempuan yang mengantre untuk bisa jalan dengannya.

Perempuan tidak tahu malu itu terus menatapnya tanpa berkedip. Ia lupa jika sedang ditahan oleh Leyra dengan sedikit membungkuk, dan gadis itu masih menatapnya hingga Fey ikut berkata saat kakaknya menaikkan kedua alisnya, menyadarkan lamunan Bongbong. 

“Bong,” panggilnya, berusaha menyadarkan sahabatnya.

Perempuan itu tersadar dirinya berada dalam pelukan Leyra langsung berdiri tegak, dan merapikan baju yang ia pakai. Matanya tak henti menatap lelaki yang sudah menolongnya.  “Iya.”

“Ayo!” ajak Fey, masuk ke dalam rumah. Lelaki itu menghentikan langkah adiknya, dan menarik tangan temannya.

“Temennya Fey, ya?” tanya kakaknya Fey, berniat mengajak kenalan.

Mulutnya sudah terbuka, Fey lebih dulu menarik tangan sahabatnya dari intaian sang kakak. “Dia temen Fey, dan udah punya pacar,” bohongnya pada sang kakak, sambil berjalan meninggalkannya. Lelaki berumur 28 tahun itu menyugar rambutnya, tersenyum melihat Fey dan Bongbong berlalu dari hadapannya.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top